![]() |
La Casa Rosada atau The Pink House di Argentina |
Jakarta, Squadpost.com – Penunggang kuda bertopi lebar dengan pakaian panjang ke
bawah terus memacu kudanya dengan gigih. Tapak kudanya menjejak kekar di
tanah tandus itu. Mereka berkelana dari satu tempat menuju tempat lainnya.
Tangguh menantang aral.
Mereka adalah kaum Gaucho, Muslim
Spanyol yang bermigrasi ke Argentina.
Ratu Isabel I dari Spanyol
mengultimatum seluruh Muslim
Spanyol setelah perang untuk segera memilih dua pilihan. Melepas Muslim menjadi
Katholik atau keluar dari tanah Spanyol. Kaum Gaucho bersikukuh. Mereka tetap pada pendirian agamanya, dan memilih berpindah
ke tanah Tango.
Menyusuri Minoritas Muslim
Mengenal minoritas Muslim di tengah mayoritas non-Muslim merupakan ketertarikan sendiri bagiku. Terlebih Argentina yang penduduknya tak
banyak menyatakan diri sebagai Muslim, seperti Tanah Airku, Indonesia. Negara
dengan mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Pelahan aku menyusuri sekitaran kota.
Bersikukuh meskipun rasa lelah terus menghinggapi karena baru saja tiba di
negeri orang.
Aku terus bertanya dalam hati.
Rasanya ingin memuntahkan ribuan tanya yang tersimpan dalam benak. Seakan
kehausan di tengah gurun, mencari oase tentang
keadaan agamaku di Argentina.
Aku meneruskan langkahku menuju Ibu Kota
Argentina, Buenos Aires. Sebuah tempat peribadatan umat Muslim terbesar di Amerika Latin berdiri megah di
tengah-tengah jantung kota,
namanya Masjid Ray Fadh (Raja Fad). Masjid tersebut merupakan
sumbangsih Raja Saudi dan negara Muslim
lainnya.
Tak mau kehilangan kesempatan untuk
mengadukan rasa syukur kepada Allah, aku menyerahkan diriku bersujud di masjid
terbesar se-Amerika Latin tersebut.
Tak sampai di situ, aku memulai
petualangan lagi dengan menggebu-gebu. Tasbih menyeru dalam hati. Aku takjub
kala menginjakkan kaki di sebuah taman kota bernama Palermo Park. Di dalam
Palermo Park itu terdapat yard (semacam pendopo) yang arsitekturnya
bergaya Islam Spanyol.
Tepat di dalam yard, terdapat keramik yang
berasal dari seni arsitektur Islam Abad Pertengahan yang juga banyak ditemukan di peninggalan sejarah Spanyol seperti
di Mezquita Cathedral, di Cordoba, dan
Alhambra di Granada. Di lantai yard terdapat tulisan kaligrafi la ghalib ilallah (tiada pemenang selain Allah). Sayang,
keberadaannya semakin pudar. Salah satunya karena sering terinjak-injak dan ketidaktahuan masyarakat
Argentina akan makna tulisan tersebut. Bagi mereka itu hanya seni
belaka.
Masuknya sentuhan Islam Spanyol di
Argentina ini sebenarnya dibawa oleh bangsa Spanyol yang
saat itu berada di bawah kekuasaan Ratu Isabel I dan Raja Ferdinand II.
Pada 1492, Alhambra yang saat itu menjadi basis kerajaan Islam terakhir di dunia, diporak-porandakan Isabel dan Ferdinand. Mereka kemudian
menghancurkan berbagai peninggalan Bangsa Muslim, kecuali buku-buku tentang pengobatan dan karya seni
seperti keramik.
Atas kemenangannya, Spanyol kemudian
berekspansi ke seantero dunia. Mereka membawa beberapa
peninggalan Islam itu yang kemudian diletakkan di tanah baru. Argentina adalah
salah satunya.
Muslim Gaucho
Gaucho tak pernah bisa dilepaskan
dari keberadaan Islam di Argentina. Meskipun telah punah, Gaucho tetap memiliki
tempat tersendiri bagi Muslim di Argentina.
Gaucho hidup di padang rumput sebagai
penggembala sapi. Mereka gemar memelihara jenggot, juga senang
menggunakan jubah. Kuda kerap menjadi tunggangan mereka. Sepintas, penampilan mereka itu mirip betul dengan koboi. Ya… koboi a
la Argentina.
Banyak tradisi mereka yang diserap rakyat
Argentina hingga sekarang. Salah satunya yaitu gaya minumnya. Alat untuk minum Gaucho bernama mate yang berisi serbuk herbal,
dicampur air hangat, dan diminum secara bergantian sebagai simbol persaudaraan, juga persahabatan. Jika ditawarkan untuk meminumnya, maka
kita harus menerima. Jika tidak, sama seperti menolak persaudaraan dan persahabatan.
Ada pun tradisi lain Gaucho, yakni
cara makan daging yang mengalir di nadi masyarakat Argentina. Cara memasaknya,
daging dipanggang menggunakan kayu. Kemudian disusun bertumpuk setelah diiris-iris. Sungguh menggugah selera.
Ternyata, tradisi itu juga dapat ditemukan
di beberapa restoran di Brazil dan Meksiko. Mereka mengadaptasi cara mengolah daging panggang seperti yang diajarkan Gaucho
dulu. Rasanya, lidah
seperti menari-nari. Setelah menikmati daging itu,aku memasukkannya sebagai salah satu makanan favoritku.
Islam kini
Kedatangan Muslim ke tanah Argentina dimulai pada pertengahan Abad-19. Imigrasi pertama datang dari Syria sekira 1850 sampai 1860. Mereka mencari penghidupan yang lebih baik
dibandingkan di bawah kekaisaran Ottoman yang pada saat itu cenderung otoriter.
Gelombang imigrasi berikutnya datang di antara
tahun 1870 pada saat Perang Dunia I. Di antara rentang tahun 1919 dan 1926 para imigran itu datang lagi. Saat itu kekuatan negara
Barat sedang getol-getolnya menancapkan pengaruh kolonialisasi di Timur Tengah, yang dulunya berada di bawah kekaisaran Ottoman.
Meskipun Islam sudah dapat diterima
oleh mayoritas masyarakat Argentina, tapi keberadaan masjid, mushala, dan perempuan berjilbab masih sulit ditemukan.
Salah satu keunikan yang aku temukan
yaitu ketika selesai shalat
berjamaah. Beberapa perempuan melepas jilbabnya, dan yang lain tidak. Pilihan
itu berdasarkan kesiapan mereka sendiri.
Bagi kebanyakan orang Argentina,
agama bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan, terlebih menjadi masalah. Mungkin karena
Muslim di Argentina pernah mengalami masa
yang sulit.
Gambaran tentang Islam sendiri jauh
dari predikat baik. Mereka menganggap bahwa Islam masih erat keterkaitannya
dengan teroris—yang sering melakukan pengeboman dan merusak kenyamanan. Hal ini
dipengaruhi oleh media yang masih memberitakan Islam secara tidak seimbang. Meskipun begitu, pada akhirnya terbantahkan karena banyak imigran Muslim yang sebagian besar dari Suriah (Syria) dan Lebanon
berperilaku sopan, lembut, dan baik.
Salah seorang temanku, Leticia,
wartawan Argentina, sempat mengatakan hal serupa.
“Di mata saya, Islam itu sangat buruk sekali. Tapi setelah membaca dan melihat
ulang, saya sadar, ternyata Islam tidak seperti itu,” ujarnya.
Untunglah, kini mereka sadar bahwa
Islam itu hangat dan lembut, serta menyadari kekeliruannya tentang kejelekan
Islam.
Masyarakat di Argentina tak berbeda
dengan Asia. Mereka hangat dan dekat. Parasku yang memang Indonesian face sempat
membuat mereka bingung karena tak seperti orang Spanyol, Amerika, dan negara
sekitarnya. Mereka tak tahu di mana Indonesia. Justru mereka lebih mengenal
Malaysia.
Aku terhenyak, “Ternyata Indonesia jauh dari pikiran orang-orang luar
negeri.”
Dibalik itu semua, hatiku terketuk
dan kembali mendapat pelajaran baru. Aku sangat terkesan mengingat
bagaimana Islam mampu menyebarkan ajarannya hampir ke antero dunia.
Argentina, begitu menggugah hati.
Meskipun Muslim di sana minoritas, masyarakatnya tetap menghargai
keberagaman yang ada. Muslim tetap hidup berdampingan tanpa harus sesak napas karena stigma negatif.
Penyunting | Kahfi Dirga Cahya