Review Website kompas.com

2014/02/20




Situs resmi berita www.Kompas.com memiliki rubrikasi yang lengkap, mulai dari berita Nasional, Internasional, Regional, Megapolitan, Bisnis, Olahraga, Sains, Travel, Oase, Edukasi, Infografis, Video dan More.

Di sisi kiri ada berita terkini, terpopuler dan terkomentari. Di bagian tengah ada headline beserta tampilan gambarnya, kemudian topik pilihan. Sedangkan di sisi kanan ada beberapa space untuk iklan. Di bagian bawah terdapat Kompas Foto, Kompas Video hingga saham dan valas. Untuk tampilan depan sebuah web. agaknya ini terlalu penuh, memang baik karena lengkap, tetapi jika dipandang dari segi estetika, kurang indah. 


Konten www.Kompas.com juga aktual, penting, bermanfaat dan update sehingga otomatis menjadi “SEO Friendly”. Karena kontennya menarik sehingga banyak yang me-like, men-share dan men-tweet di media sosial. Pembaca cenderung ingin berbagi informasi kepada khalayak luas. Kemudian tulisan-tulisannya merupakan asli oleh wartawan www.Kompas.com sendiri, shooting sendiri, bukan jiplakan atau copy-paste. Ya jadi konten yang digunakan website berita ini asli, berkualitas dan berguna bagi banyak orang dan tidak sama dengan website berita yang lain.

Untuk meta tag, meta descriptionnya lengkap sehingga mudah di cari oleh mesin pencari. Sesuai dengan berita-berita yang terkandung, tidak manipulasi dengan menggunakan kata kunci yang tidak sesuai. Untuk kecepatan website ini, cukup baik, tidak terlalu membuang waktu untuk buffering.




Adiv Si Raja Pisang Ijo

2013/05/12


Penulis: Diah Puspita Primandani Putri

Jakarta, Squadpost.com—Di saat anak muda pada umumnya sibuk berkutat dalam gelombang arus dunia mode dan tren terbaru, tidak halnya dengan pemuda yang satu ini. Bermodal tekad dan kreativitas ia berkecimpung dalam dunia bisnis yang penuh pertaruhan dan risiko. Kreativitasnya berkembang pesat, hingga pisang pun menjadi sasarannya.

Kini, membangun suatu usaha bukan lagi milik orang dewasa semata. Adiv Hazazi yang lahir pada 14 September 1992 ini telah membuktikan bahwa usia bukan hambatan utama memulai usaha. Ia telah berhasil mencicipi keuntungan di usaha kuliner yang dirintisnya. Meski umur usahanya masih delapan bulan, omzet yang ia raih telah mencapai angka Rp 12.000.000 – Rp 13.000.000 sebulan.

Jumat siang (11/06/2013), Squadpost berkesempatan untuk menyambangi tempat usaha Adiv  di kawasan Sungai Sambas, Jakarta Selatan. Adiv yang berpenampilan santai dengan meggunakan kaos bola berwarna putih serta celana model chino warna beige,  menyapa kami sambil menyunggingkan senyumnya.

Sejak kecil, anak pertama dari kedua bersaudara ini, bisa dibilang berada dalam keluarga berkecukupan secara finansial. Tapi, ia tak mau terus merongrong keuangan orangtuanya. Mental usahanya sudah tumbuh sejak ia duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama, karena terinspirasi setelah menonton acara kuliner yang mengangkat tema pengusaha sukses.

“Kayaknya keren deh jadi pengusaha di waktu muda. Bisa sukses dan masuk televisi,” ujar Adiv yang gemar naik gunung ini.

Meski ide untuk memulai usaha sudah bermunculan, Adiv belum begitu mengerti untuk melakukan apa. Sampai kemudian setelah lulus SMA, ia mengetahui usaha saudaranya di bidang pakaian dengan format pre-order via BBM (Blackberry Massenger) yang sudah mencapai omzet ratusan juta. Detik itulah semangatnya terpantik untuk memulai langkah.

The Beginning of Young Enterpreneur
“Sebenarnya, Adiv melihat produk yang dijual merupakan produk yang membuat orang benar-benar tertarik. Makanya Adiv memilih usaha yang memang banyak dicari orang,” jelasnya mengenai pilihan usahanya.

Adiv yang berdarah Minang dan Betawi ini dianugerahi kecermatan membaca peluang. Seperti pengakuannya, usaha yang kini dibangunnya berkat temannya yang lebih dulu memiliki usaha di bidang kuliner, pisang hijau. Sayang, temannya tidak melanjutkan usahanya. Alhasil, Adiv yang harus menjalaninya sendiri.

Padahal hampir setiap hari pisang hijau itu dicari orang, bahkan sampai ke kalangan selebriti, dan malah pernah diliput sebuah majalah di Ibukota. Melihat peluang usaha itu di masa depan, Adiv pun mengambil kursus pada temannya itu selama sebulan penuh. Setelah menghitung biaya pembelian gerobak dan beberapa peralatan lain untuk melengkapi usahanya, modal awal yang ia perlukan mencapai kisaran Rp 15.000.000.

“Waktu itu modal awal pinjam dari Tante. Karena saat itu nyokap sedang merenovasi rumah, jadi dananya habis buat itu. Tapi itu semua langsung Adiv ganti dalam waktu lima bulan,” ucapnya.

Setelah menguasai kemampuan membuat pisang hijau, Adiv mencoba membuka usaha perdananya saat Ramadhan di kawasan Cipete, “Mengakui punya usaha sih nggak malu. Cuma waktu awal sempat gengsi dorong-dorong gerobak. Tapi bodo amatlah, jalanin aja. Lagian ‘kan sudah keluar modal banyak. Mending kalau gengsi nggak usah dari awalnya,” jelas Adiv yang bercita-cita jadi astronot.

“Mungkin waktu pas puasa, jadinya ramai. Setelah itu sempat sepi selama sebulan. Makanya Adiv cari-cari tempat yang kira-kira banyak dikunjungi orang. Sampai akhirnya ketemu tempat yang sekarang ini,” ucapnya sumringah.


Mata Elang
Meski memilih usaha pisang hijau, Adiv menawarkan sesuatu yang baru. Jika biasanya pisang hijau disajikan dengan bubur sumsum, kali ini Adiv mengganti bubur sumsum menjadi saus fla dengan varian rasa: stroberi, cokelat, blueberry, vanili dan durian.

Harga seporsi yang dijajakan adalah Rp 8.000, “Ya, Adiv sih nggak mau mahal-mahal. Karena ini pangsa pasarnya anak muda,” jelasnya.

Selama lima bulan memutar roda usaha, kini modal awalnya telah kembali. Kini, Adiv sudah menambah empat gerobak lain yang merupakan hasil franchise dari teman-temannya. Cabang-cabangnya tersebar ke beberapa tempat di Jakarta, antara lain: Fatmawati, Pondok Labu, Depok (Gunadarma) dan Cipete. “Malah, rencananya saya mau nambah gerobak lagi nih,” ungkapnya.

Adiv mengaku pada Squadpost bahwa selama delapan bulan awal ia sempat keteteran mengurusi keuangan. Setelah tantenya ikut membantu, keuangannya pun mulai tertata kembali.

“Maklumlah anak muda, kadang uang yang masuk ke kantong suka terpakai sendiri.”

Berbekal semangat dan ketekunan, Adiv mengurusi usahanya dari A-Z secara otodidak. Ditambah dukungan dari orangtuanya yang terkadang sering memberi saran. Padahal untuk mengurusi bisnisnya ini, ia harus rela cuti kuliah di Jurusan Sastra Inggris, Gunadarma.

Pada saat sesi wawancara, pisang hijau yang ia beri nama Sang Jo ini laris manis diborong oleh para remaja. Konsep gerobak yang dapat dibawa dengan rancangan pisang berwarna hijau mengenakan kacamata dan topi khas anak muda, membuat daya tarik tersendiri bagi konsumennya, “Desain itu untuk menunjukkan kalau yang punya usaha adalah anak muda.”
“Selain enak banget dan harganya murah, pisang hijaunya juga beda. Aku paling suka rasa blueberry,” ucap Nadia, salah satu konsumen Sang Jo.


Target
Adiv memasang target dua tahun untuk dapat melebarkan sayap usahanya. Bahkan ia berkeinginan agar produknya bisa dikenal di luar negeri, “Tapi itu ‘kan masih jauh. Jadi jalanin saja yang sekarang,” jelasnya.

Meski sudah banyak dikenal orang, Adiv tetap meracik sendiri semua bahan-bahan pisang hijaunya. Terutama saus fla yang nikmat itu. Ia mengaku, saus fla itulah yang membuatnya semakin enak.

Tak banyak anak muda yang berani memulai usaha dari nol. Bahkan Adiv justru lebih memilih berjualan di gerobak, tinimbang memiliki tempat yang besar. Baginya lebih baik memiliki cabang banyak, daripada satu tempat besar.

Sekarang Adiv sudah mempekerjakan empat karyawan yang ia gaji Rp 500.000 dan Rp 750.000/bulan. Tiap gerobak yang mangkal di suatu tempat biasanya hanya membutuhkan izin kepala RT (Rukun Tetangga) setempat atau kepada orang yang menyewakan lahan kosong. Biaya yang ia keluarkan untuk itu berkisar Rp 150.000.

Sampai sekarang media promosi yang ia gunakan hanya melalui akun Twitter: @sangjoooo, dan dari mulut ke mulut para konsumen yang sudah mencicipi rasa pisang hijau racikannya. Selama delapan bulan berjalan, terhitung sudah 200 porsi ia terima dalam bentuk pesanan. Adiv juga sering ikut serta dalam acara-acara di sekolah atau kampus.

Di mata karyawannya, Adiv merupakan sosok yang baik dan ingin terjun langsung melayani pembeli, “Dia mau pegang pisau untuk memotong pisang, ngelayanin pembeli langsung,” ucap Sadewo, salah satu karyawan Adiv di Sang Jo.

Gerobak Sang Jo Adiv mulai menjajakan produknya sedari pukul 11.00 siang. Biasanya Adiv menyediakan 50 porsi perhari. Sistem pengambilan setorannya pun setiap sehari sekali.
Jika dihitung-hitung, keuntungannya pergerobak dapat mencapai Rp 4.000.000 sebulan. “Intinya, kalau mau usaha nggak usah mikir gagal atau nggak laku. Optimis saja,” pesan Adiv.

Obrolan kami pun ditutup dengan seporsi pisang hijau rasa vanila dan cokelat. Ternyata benar, saus fla yang adalah ‘kunci’ utama Sang Jo ini benar-benar lembut. Manisnya pas, ditambah toping oreo dan keju. Sangat cocok untuk anak muda yang menyukai makanan bercitarasa manis.



Menyibak Islam di Argentina

Penulis: Dini Fitria
La Casa Rosada atau The Pink House di Argentina
Jakarta, Squadpost.com – Penunggang kuda bertopi lebar dengan pakaian panjang ke bawah terus memacu kudanya dengan gigih.  Tapak kudanya menjejak kekar di tanah tandus itu. Mereka berkelana dari satu tempat menuju tempat lainnya. Tangguh menantang aral.

Mereka adalah kaum Gaucho, Muslim Spanyol yang bermigrasi ke Argentina.

Ratu Isabel I dari Spanyol mengultimatum seluruh Muslim Spanyol setelah perang untuk segera memilih dua pilihan. Melepas Muslim menjadi Katholik atau keluar dari tanah Spanyol. Kaum Gaucho bersikukuh. Mereka tetap pada pendirian agamanya, dan memilih berpindah ke tanah Tango.

Menyusuri Minoritas Muslim
Mengenal minoritas Muslim di tengah mayoritas non-Muslim merupakan ketertarikan sendiri bagiku.  Terlebih Argentina yang penduduknya tak banyak menyatakan diri sebagai Muslim, seperti Tanah Airku, Indonesia. Negara dengan mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Pelahan aku menyusuri sekitaran kota. Bersikukuh meskipun rasa lelah terus menghinggapi karena baru saja tiba di negeri orang.

Aku terus bertanya dalam hati. Rasanya ingin memuntahkan ribuan tanya yang tersimpan dalam benak. Seakan kehausan di tengah gurun, mencari oase tentang keadaan agamaku di Argentina.

Aku meneruskan langkahku menuju Ibu Kota Argentina, Buenos Aires. Sebuah tempat peribadatan umat Muslim terbesar di Amerika Latin berdiri megah di tengah-tengah jantung kota, namanya Masjid Ray Fadh (Raja Fad). Masjid tersebut merupakan sumbangsih Raja Saudi dan negara Muslim lainnya.

Tak mau kehilangan kesempatan untuk mengadukan rasa syukur kepada Allah, aku menyerahkan diriku bersujud di masjid terbesar se-Amerika Latin tersebut.

Tak sampai di situ, aku memulai petualangan lagi dengan menggebu-gebu. Tasbih menyeru dalam hati. Aku takjub kala menginjakkan kaki di sebuah taman kota bernama Palermo Park. Di dalam Palermo Park itu terdapat yard (semacam pendopo) yang arsitekturnya bergaya Islam Spanyol.

Tepat di dalam yard, terdapat keramik yang berasal dari seni arsitektur Islam Abad Pertengahan yang juga banyak ditemukan di peninggalan sejarah Spanyol seperti di Mezquita Cathedral, di Cordoba, dan Alhambra di Granada. Di lantai yard terdapat tulisan kaligrafi la ghalib ilallah (tiada pemenang selain Allah). Sayang, keberadaannya semakin pudar. Salah satunya karena sering terinjak-injak dan ketidaktahuan masyarakat Argentina akan makna tulisan tersebut. Bagi mereka itu hanya seni belaka.

Masuknya sentuhan Islam Spanyol di Argentina ini sebenarnya dibawa oleh bangsa Spanyol  yang saat itu berada di bawah kekuasaan Ratu Isabel I dan Raja Ferdinand II. Pada 1492, Alhambra yang saat itu menjadi basis kerajaan Islam terakhir di dunia, diporak-porandakan Isabel dan Ferdinand. Mereka kemudian menghancurkan berbagai peninggalan Bangsa Muslim, kecuali buku-buku tentang pengobatan dan karya seni seperti keramik.

Atas kemenangannya, Spanyol kemudian berekspansi ke seantero dunia. Mereka membawa beberapa peninggalan Islam itu yang kemudian diletakkan di tanah baru. Argentina adalah salah satunya.

Muslim Gaucho
Gaucho tak pernah bisa dilepaskan dari keberadaan Islam di Argentina. Meskipun telah punah, Gaucho tetap memiliki tempat tersendiri bagi Muslim di Argentina.

Gaucho hidup di padang rumput sebagai penggembala sapi. Mereka gemar memelihara jenggot, juga senang menggunakan jubah. Kuda kerap menjadi tunggangan mereka. Sepintas, penampilan mereka itu mirip betul dengan koboi. Ya… koboi a la Argentina.

Banyak tradisi mereka yang diserap rakyat Argentina hingga sekarang. Salah satunya yaitu gaya minumnya. Alat untuk minum Gaucho bernama mate yang berisi serbuk herbal, dicampur air hangat, dan diminum secara bergantian sebagai simbol persaudaraan, juga persahabatan. Jika ditawarkan untuk meminumnya, maka kita harus menerima. Jika tidak, sama seperti menolak persaudaraan dan persahabatan.

Ada pun tradisi lain Gaucho, yakni cara makan daging yang mengalir di nadi masyarakat Argentina. Cara memasaknya, daging dipanggang menggunakan kayu. Kemudian disusun bertumpuk setelah diiris-iris. Sungguh menggugah selera.

Ternyata, tradisi itu juga dapat ditemukan di beberapa restoran di Brazil dan Meksiko. Mereka mengadaptasi cara mengolah daging panggang seperti yang diajarkan Gaucho dulu. Rasanya, lidah seperti menari-nari. Setelah menikmati daging itu,aku memasukkannya sebagai salah satu makanan favoritku.

Islam kini
Kedatangan Muslim ke tanah Argentina dimulai pada pertengahan Abad-19. Imigrasi pertama datang dari Syria sekira 1850 sampai 1860. Mereka mencari penghidupan yang lebih baik dibandingkan di bawah kekaisaran Ottoman yang pada saat itu cenderung otoriter.
Gelombang imigrasi berikutnya datang di antara tahun 1870 pada saat Perang Dunia I. Di antara rentang tahun 1919 dan 1926 para imigran itu datang lagi. Saat itu kekuatan negara Barat sedang getol-getolnya menancapkan pengaruh kolonialisasi di Timur Tengah, yang dulunya berada di bawah kekaisaran Ottoman.

Meskipun Islam sudah dapat diterima oleh mayoritas masyarakat Argentina, tapi keberadaan masjid, mushala, dan perempuan berjilbab masih sulit ditemukan.

Salah satu keunikan yang aku temukan yaitu ketika selesai shalat berjamaah. Beberapa perempuan melepas jilbabnya, dan yang lain tidak. Pilihan itu berdasarkan kesiapan mereka sendiri.

Bagi kebanyakan orang Argentina, agama bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan, terlebih menjadi masalah. Mungkin karena Muslim di Argentina pernah mengalami masa yang sulit.

Gambaran tentang Islam sendiri jauh dari predikat baik. Mereka menganggap bahwa Islam masih erat keterkaitannya dengan teroris—yang sering melakukan pengeboman dan merusak kenyamanan. Hal ini dipengaruhi oleh media yang masih memberitakan Islam secara tidak seimbang. Meskipun begitu, pada akhirnya terbantahkan karena banyak imigran Muslim yang sebagian besar dari Suriah (Syria) dan Lebanon berperilaku sopan, lembut, dan baik.

Salah seorang temanku, Leticia, wartawan Argentina, sempat mengatakan hal serupa.

“Di mata saya, Islam itu sangat buruk sekali. Tapi setelah membaca dan melihat ulang, saya sadar, ternyata Islam tidak seperti itu,” ujarnya.

Untunglah, kini mereka sadar bahwa Islam itu hangat dan lembut, serta menyadari kekeliruannya tentang kejelekan Islam.

Masyarakat di Argentina tak berbeda dengan Asia. Mereka hangat dan dekat. Parasku yang memang Indonesian face sempat membuat mereka bingung karena tak seperti orang Spanyol, Amerika, dan negara sekitarnya. Mereka tak tahu di mana Indonesia. Justru mereka lebih mengenal Malaysia.

Aku terhenyak, “Ternyata Indonesia jauh dari pikiran orang-orang luar negeri.”

Dibalik itu semua, hatiku terketuk dan kembali mendapat pelajaran baru. Aku sangat terkesan mengingat bagaimana Islam mampu menyebarkan ajarannya hampir ke antero dunia.

Argentina, begitu menggugah hati. Meskipun Muslim di sana minoritas, masyarakatnya tetap menghargai keberagaman yang ada. Muslim tetap hidup berdampingan tanpa harus sesak napas karena stigma negatif.

Penyunting | Kahfi Dirga Cahya

Alam Terkembang Dini Fitria

2013/05/10

Penulis: Kahfi Dirga Cahya & Dyah Puspita Primandani Putri



Jakarta, Squadpost.com— Rinai hujan masih tersisa saat seorang perempuan muda berparas cantik nan anggun datang menyambangi Squadpost di bilangan Selatan Jakarta, pada Selasa malam lalu (7/5). Menggunakan busana bernuansa oranye dengan blue jeans dibalut kerudung warna hitam, ia menyapa kami dengan seulas senyum manis, dilengkapi dua lesung di pipinya.

Obrolan hangat di tengah dinginnya malam bersama Dini Fitria ini diawali dengan cerita semasa kecilnya yang ia habiskan di Padang, tanah kelahirannya. Bagian demi bagian ia tuturkan dengan detil. Ditambah gaya bahasanya yang mudah dimengerti, semakin membuat Squadpost nyaman berlama-lama mengulik kehidupan pembawa acara Jazirah Islam di salah satu stasiun televisi swasta ini.

Terlahir sebagai anak terakhir dari lima bersaudara, sejak kecil Dini hidup di lingkungan yang menyukai dunia baca-tulis. Laiknya anak kecil pada umumnya, ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Namun, siapa sangka mahasiswi jebolan Universitas Andalas (UNAND), Padang, jurusan Teknik Pangan ini malah mendulang sukses di ranah pertelevisian.

Ayahnya yang seorang dosen dan suka menulis untuk surat kabar, semakin membuka kemudahan bagi Dini untuk melongok dunia sedari kecil. Saat masih duduk di Sekolah Dasar, ia sudah mulai menulis serta mengikuti lomba di berbagai surat kabar, bahkan tulisannya pun pernah dimuat majalah Si Kuncung saat itu.

Menjelang usia dua puluhan, Dini berkeinginan mengikuti jejak kakak-kakaknya yang sudah merantau. “Tadinya aku tuh mau kuliah di Jogjakarta. Alasannya sih karena Mama pernah tinggal di sana,” jelasnya. Setamat Sekolah Menengah Atas, ia mengikuti ujian di jurusan Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jogjakarta dan jurusan Psikologi Universitas Islam Indonesia. Keduanya lolos seleksi.

Namun takdir berkata lain. Nampaknya Dini memang harus bersabar untuk dapat melebarkan sayapnya ke tempat yang lebih jauh. Hingga akhirnya ia dinyatakan lolos UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Nasional) dan kuliah di UNAND.

“Aku kecewa ketika masuk UNAND. Begini toh teknik pangan. Oke deh, daripada aku menyesal banget, akhirnya aku menerima saja,” jelas Dini pada Squadpost. Ia sadar, ternyata tidak mudah menjalani kehidupan menjadi mahasiswi di bidang yang tidak dikehendaki.

Media pembalasan rasa yang tidak tersampaikan itu, ia salurkan pada dunia penyiaran. Kitaran tahun 2000-2005, Dini menjadi penyiar radio di 101 Arbes Fm, radio lokal Padang yang saat itu memang sedang populer. Sedari itu bakat menulisnya kembali bangkit. Ia menulis sebuah skenario drama radio bertajuk "Diary Kamu," dengan konsep the best true story. Kisah yang diberikan para penggemar Arbes, kemudian disariulang oleh Dini untuk dijadikan sebuah drama radio. Mulai sedari mengisi suara, mencari pemain, hingga narasi ia kerjakan sendiri.

Setamat kuliah 2004, Dini memang sudah berkeinginan keluar dari Padang. Menurut pengakuannya, merantau dalam keluarganya merupakan salah satu kebiasaan. Ia pun ingin merasakan bagaimana hidup di tanah orang dengan mandiri, “It’s time to choose my future,” ujarnya semangat.

Dengan membawa pakaian a la kadarnya serta modal kemampuan menulis dan ijazah sarjana teknik pangan, Dini mantap melangkah pergi jauh dari tanah asalnya menuju Jakarta. Tiba di Jakarta, 12 Januari 2005, ia menumpang tinggal di rumah kakak pertamanya yang sudah lebih dulu mukim di Jakarta. “Aku coba cari pekerjaan di Jakarta susah-susah gampang, rasanya aku mau pulang” kenangnya.


Gabung Bersama Keluarga Besar Trans Corp

Sempat ditolak, pada saat melamar kerja untuk posisi penyiar radio di bilangan Kuningan, Jakarta. Tak butuh waktu lama, dewi fortuna menghampirinya. Sekitar bulan Maret di tahun 2005, ia bergabung bersama TRANS TV. Saat itu, Dini mencoba melamar bagian reporter divisi news tapi malah ditempatkan di bagian production assistant.

“Pertama kali menjadi wartawan berat banget, harus kerja berangkat pagi, pulang malam. Terus pola hidup yang berubah dari kuliah ke kerja jadi pengaruh juga. Apalagi jadi wartawan itu enggak gampang, rasanya kepengin pulang saja ke Padang. Tapi pas melintasi pemadam kebakaran di Ciputat dan membaca motto mereka (Pantang Pulang Sebelum Padam), semangatku pun terpantik untuk 'pantang pulang sebelum menang,'” jelasnya.

Jelang dua tahun bekerja di TRANS TV, Dini pun bergabung di program Reportase dan Jelang Siang. Latarbelakang pendidikan yang tidak berbau broadcast, membuat ia kian menggebu mencari ilmu. Sebagai pembelajar yang baik, Dini mampu menyeimbangkan sinergi kerja para jurnalis yang memang sudah memiliki dasar ilmu komunikasi.

Pada 2006 setelah Trans Corp mengakuisisi Tv 7, yang kelak pada 2007 diubah menjadi TRANS7, Dini langsung masuk ke dalam daftar nama yang akan mengurusi TRANS7. Karena televisi baru, di dalam TRANS7 Dini dapat bereksplorasi lebih banyak. Ia diberikan kesempatan berkarya untuk membuat bermacam-macam program.

Program pertama saat memulai debutnya di TRANS7 sebagai reporter adalah Bolang (Bocah Petualang). Program ini mengangkat tema kehidupan anak di daerah. Setelah itu pada 2008-2009 ia pindah ke program Dunia Air dan Binatang (Dubi) sebagai asisten produser. Kemudian, Dini mengurusi program film pendek mengenai Cerita Kisah Anak Nusantara. Dalam program ini ia menyumbangkan bakat menulisnya untuk skenario-skenario yang ia buat dengan mengangkat cerita dari kebijaksanaan lokal.

Baru pada 2010 Dini menelurkan Jazirah Islam, program yang ia besut sendiri ide, konsep, dan temanya. Semua ia kerjakan sedari nol hingga sekarang mulai banyak digemari publik.

Jazirah Islam
"Aku mikir saat itu. Ramadhan selalu mengangkat acara yang berbau negeri-negeri Islam. Menurutku itu membosankan. Aku mau membuat sesuatu yang berbeda. Tentang minoritas Muslim di tengah mayoritas non-Muslim. Bagaimana mereka bisa bertahan hidup dengan masjid yang tidak ada suara azan, jilbab yang susah dicari,” ucapnya mengenai sejarah berdirinya Jazirah Islam.

Mengurus program yang berkenaan mengenai dunia Islam cukup berpengaruh bagi Dini. Terlebih dalam lingkup spiritualitasnya. Hal yang paling sentimentil selama mengurusi program Jazirah Islam, yaitu pada saat ia menjadi saksi bagaimana proses seorang non-Muslim berpindah agama menjadi Islam. “Waktu kemarin aku liputan di Amerika Latin dan bertemu dengan perkumpulan Muslim di Meksiko yang aura negaranya terkenal keras, aku memperagakan cara menggunakan jilbab. Saat aku pulang, seorang ibu non-Muslim memelukku dan berbisik bahwa ia ingin menjadi Muslim. Sontak aku merinding dan terharu,” kenangnya.

Pengalaman seperti itu tidak hanya satu-dua kali saja ia alami, bahkan hampir di banyak perjalanannya ia menemukan hal serupa. “Kalimat syahadat di sana tuh bagi mereka sangat syahdu. Kayaknya aku yang sudah diberi hidayah belum bisa memaksimalkannya. Shalat aja masih sering ditunda,” ungkapnya gamblang. Sejak menjadi jurnalis dan kemudian mengelola Jazirah Islam, total 16 negara yang sudah ia sambangi. Masing-masing terdiri dari negara Asia, Eropa dan Amerika Latin.

Konsisten
Delapan tahun sudah Dini tetap konsisten bekerja untuk Trans Corp tanpa pernah berniat pindah haluan ke stasiun televisi lain. Era di mana karyawan lebih banyak diikat secara kedinasan seperti saat ini, Dini sama sekali tidak tergiur dengan gaji yang berlipat-lipat ditawarkan perusahaan televisi lain. Baginya, iklim dalam dunia pertelevisian akan selalu berputar, lingkungan, orang sekitarnya.

“Sebagai karyawan Trans Corp, aku mendapat kesempatan besar untuk berkembang lagi. Sekarang aku banyak belajar dan bisa mengaplikasikannya dengan karya yang telah aku buat,” ungkapnya.

Saat masuk pada 2005, Trans Corp memang terkenal dengan sistem perekrutan karyawan ikatan dinas. Saat Squadpost menanyakan hal ini kepadanya, Dini yang kelahiran Padang 31 tahun lalu berpendapat, “Trans Corp selalu mengajari karyawannya tentang development broadcast. Namun, terkadang setelah mereka mendapatkan ilmunya, mereka keluar atau seringnya dibajak oleh televisi lain. Jujur, itu sangat merugikan. Jadi, menurut aku wajarlah Trans Corp membuat sistem seperti itu.”

Sistem ikatan dinas saat pertama kalinya ia masuk dengan sekarang, sangat jauh berbeda. Pada 2005 sistem itu hanya berlaku selama tiga bulan, kemudian enam bulan menjadi karyawan percobaan. Di waktu tersebut menjadi penentuan lulus atau tidak dalam bidang yang didalami. Setelah sembilan bulan kemudian, baru diangkat menjadi karyawan tetap. Sistem yang sekarang justru mengharuskan karyawan ikatan dinas menjalani masa kerja selama lima tahun. Jika selama masa itu, ia berhenti atau keluar, maka akan diberi sanksi.

Berkarya dan Aktif
Menjalani hidup sebagai perempuan muslim, sempat membuat hambatan saat Dini memulai karirnya di dunia pertelevisian. Tapi ia tak peduli hingga kini perjuangannya itu pun dapat ia buktikan. "Menurutku perlu banyak perempuan berkarya dan aktif,” imbuh Dini.

Menggapai sukses dalam berkarir jelas dibutuhkan semangat dan perjuangan. Bagaimana Dini yang merupakan anak bungsu harus berani mengambil keputusan merantau demi menggapai masa depannya. Hanya bermodal semangat, kini kiprahnya dalam dunia pertelevisian bisa dibilang sedang berada di titik puncak. Bahkan pada 2011 silam, ia pernah ditahbis sebagai "The Best Employee TRANS7.“ Semua butuh proses. Aku selalu menghargai proses, dan selalu belajar dari tiap liputan. Karena menjadi jurnalis bukan soal pintar dan hebat, melainkan bagaimana pada saat di lapangan kita dapat beradaptasi dengan cepat.”

Di ujung percakapan, Dini sempat memberikan beberapa masukan bagi kaum muda yang ingin bekerja di dunia kreatif. Menurutnya, jadikan setiap pengalaman adalah guru dan teruslah berkarya. “Kalau aku selalu bangga dengan apa yang sudah dilakukan. Aku berkarya dan melakukannya dari hati. Makanya, kenapa aku bisa sampai seperti sekarang, berkat kecintaanku pada tiap pekerjaan yang kukerjakan. Jadilah yang terbaik di peran kita masing-masing. Because nice to be important, but more important to be nice,” begitu pesan yang meluncur dari bibirnya yang kemerahan.


Penyunting: Reno Muhammad

Terbang Tinggi Bersama Anggun

2013/05/08


Penulis: Diah Puspita Primandani Putri
Jakarta, Squadpost.com—Pada usianya yang baru tujuh tahun, ia telah berani memulai karir menyanyi di panggung hiburan—meski hanya dibayar dengan imbalan sebungkus nasi saja. Kini, gadis kecil berdarah Jawa itu dikenal dengan nama Anggun Cipta Sasmi (39). Selama tiga dekade lebih karirnya, sukses menembus kacah internasional. Tak tangung-tanggung, semua karyanya mampu menembus industri  musik mancanegara dan album-albumnya diganjar penghargaan Gold dan Platinum di beberapa negara Eropa.

The Story Begins
Menginjak usia sembilan tahun, Anggun mulai menciptakan lagu-lagunya sendiri dan mulai merekam album anak-anak, Dunia Aku Punya (1986). Namun, album ini kurang meledak di pasaran. Meski gagal pada album pertama, semangat Anggun tak meredup. Justru, karir anak pertama Darto Singo dan Dien Herdiana ini malah meroket melalui single ‘Mimpi’ pada 1989.

Bahkan majalah Rolling Stone mendaulat bahwa lagu itu sebagai salah satu dari 150 lagu Indonesia Terbaik sepanjang masa pada edisi #56 terbitan Desember 2009. Kemudian disusul sederet lagu lain seperti ‘Tua-Tua Keladi’ dan ‘Takut,’ Anggun muda berhasil menggapai puncak popularitasnya. Karyanya pun mendapat apresiasi dalam sebuah penghargaan musik, yang menetapkan Anggun sebagai Artis Indonesia Terpopuler pada 1990-1991. 

Berturutan setelah itu, ia merilis kembali sebuah album Anak Putih Abu-Abu (1991), yang disusul Nocturno (1992). Semua album dan singlenya terjual laris manis di pasaran dan merajai tangga lagu di Indonesia. 

Transisi
Pada 1992, Anggun mulai bertemu dengan jodohnya saat ia sedang mengadakan tur konser di Banjarmasin. Pria berkebangsaan Perancis yang merupakan seorang insinyur, Michel Georgea, berhasil mencuri hati lady rocker ini. Di usia yang tergolong  muda, Anggun berani memutuskan untuk melangkah ke jenjang pernikahan di saat karirnya sedang di atas angin.

Meski begitu, ketenarannya tidak meredup. Bahkan ia menunjukkan keseriusannya lewat studio rekaman yang dibangunnya, PT Bali Cipta Record. Bersama studio ini Anggun turun langsung mengurusi pembuatan album terbarunya Anggun C. Sasmi... Lah!!! (1993), dengan single pertamanya, ‘Kembalilah Kasih (Kita Harus Bicara),’ yang kembali mencetak sukses. Bahkan video lagu  ini mampu menembus MTV Hongkong.

Berbekal mimpi menjadi penyanyi bertaraf internasional, Anggun mencoba peruntungan baru ke Eropa, dengan menjual perusahaan rekamannya untuk modal awal memulai karir di negara asing. Bersama suaminya Anggun pun bermukim di Britania, Inggris.

Di Eropa, Anggun harus membangun kembali karirnya dari nol. Selama setahun ia rajin mengirimi demo lagunya ke beberapa studio rekaman di Britania dan mendatangi beberapa klub untuk memperkenalkan dirinya sebagai penyanyi yang bersuara khas.

Menjalani hidup di negera orang memang tak mudah. Uang hasil penjualan perusahaan rekamannya yang masih tersisa, lambat laun habis sedikit demi sedikit demi memenuhi kebutuhan hidup. Ditambah, semua demo rekamannya sama sekali tidak mendapat tanggapan.

Fakta itu mengantarkannya pada satu kesimpulan: karirnya takkan sukses di Inggris. Anggun pun berniat pindah ke negara Eropa lainnya, Belanda. Namun mengingat tanah asal suaminya adalah Perancis, akhirnya mereka pun mukim di negeri ayam jantan itu.

Dua tahun menjalani kehidupan di Perancis, Anggun seolah dipertemukan oleh dewi fortunanya, yaitu seorang produser besar Perancis, Erick Benzi, yang juga  pernah menggarap album beberapa penyanyi kenamaan seperti Celine Dion, Jean Jacques Goldman, Johny Hallyday.

Tanpa teding aling-aling, ia ditawari untuk rekaman album. Erick Benzi mengaku terpikat dengan karakter suara Anggun yang memiliki jenis suara kontralto yang tebal serta teknik improvisasi vokal yang unik. Atas bantuan Erick, Anggun direkrut oleh Columbia Records di Perancis. Tak hanya itu, ia juga berhasil mendapat kontrak Sony Music Internasional untuk lima album, berkat keikutsertaannya pada audisi yang diadakan oleh Sony Music Internasional di Manila, Filipina.

Masa Emas
Anggun memulai debut pertamanya dengan merilis album berbahasa Perancis yang bertajuk Au nom de la lune. Ada sesuatu yang berbeda pada albumnya, yaitu perpindahan jalur musik rock yang selama bertahun-tahun ia geluti menjadi musik pop romantis dan sensual yang ditambah dengan sentuhan bunyi-bunyian instrumen tradisional Indonesia.

Single pertamanya ‘La neige au sahara’ tercatat sebagai salah satu lagu yang paling sering diputar di Perancis pada 1997. Album ini pun sukses mereguk penjualan lebih dari 150.000 kopi di Perancis dan Belgia, serta meraih penghargaan Diamon Expert Award. Keberhasilan ini menjadikan Anggun sebagai seorang artis Indonesia  yang meletakkan namanya sejajar dengan artis-artis Perancis lain.

Merujuk pada kesuksesan album itu, Anggun merilisnya kembali dalam versi Bahasa Inggris bertajuk Snow on The Sahara. Album ini resmi liris di 33 negara Eropa, Amerika, Asia, dan sukses menempati peringkat pertama di Italia, Spanyol, dan beberapa negara Asia. Di Amerika Serikat yang merupakan kiblat musik dunia, Snow on The Sahara rilis pada Mei 1998 oleh Epic Records.

Meski melejit di beberapa negara, Snow on The Sahara terhitung gagal di Amerika, karena hanya terjual 200.000 keping dan tidak mampu menembus tangga lagu Billboard.

Setelah sukses meraih mimpi menjadi penyanyi internasional, Anggun malah kehilangan keseimbangan hidupnya. Pada 1999 ia resmi bercerai dengan Michel Georga. Namun Anggun menunjukkan karakternya sebagai lady rocker. Kisah perceraiannya ini tak membuatnya terpuruk. Justru ia malah melahirkan album kedua, Desirs Contraires. Sayang album dengan single andalan ‘Un geste d’amour’ ini hanya mampu terjual 30.000 kopi di Perancis. 

Kiprahnya dalam dunia tarik suara memang tidak main-main. Terbukti dari sepanjang tahun 1997-sekarang, Anggun tetap eksis dan konsisten dalam dunia yang membuat namanya melejit bagai roket. Tiap tahun ia rutin mengeluarkan album. Terhitung sudah 17 album yang ia hasilkan selama meniti karir di Perancis.

Meski pindah kewarganegaraan, Anggun bukan termasuk kacang yang lupa kulitnya. Jiwanya tetap berada dan untuk di Indonesia. Pada 25 Mei 2006 silam, ia menggelar konser terbesarnya di Indonesia bertajuk ‘Konser Untuk Negeri’ yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center (JCC), dengan 5000 lembar tiket ludes terjual.

Masa emas itu masih terus ia rasakan, bahkan sampai 2012.  Ia merilis Echoes dengan single andalan ‘Echo (You and I)’ yang diluncurkan di Perancis. Demi mempromosikan lagu terbarunya, Anggun kembali mengadakan tur  konser ke beberapa kota di Perancis, Swiss, dan Kaledonia Baru, termasuk konser tunggal di Gedung Le Trianon, Paris, 13 Juni 2012. Di penghujung 2012 ia sempat diajak oleh Schiller untuk tur di 10 kota Jerman.

Titik Balik
Jika mengingat penampilan Anggun pada masa awal karirnya sebagai penyanyi rock, ia dikenal dengan penampilan yang tomboi dan khas yang menggunakan baret miring dan celana pendek, jaket paku-paku serta ikat pinggang besar, yang sempat menjadi tren pada awal 1990-an. 

Namun, sejak sukses menjadi penyanyi internasional, penampilannya kini berubah 180 derajat menjadi lebih feminin dan seksi, melalui penampilan khas perempuan Indonesia dengan rambut hitam panjang yang ia biarkan tergerai, dilengkapi warna kulitnya yang sawo matang.

Keindahan rambut hitamnya itu pernah mendapat apresiasi dari majalah Herworld sebagai inspirasi perempuan berambut lurus  panjang selama dekade 2000-an. Masih belum cukup. Anggun juga berada di peringkat 18 dalam daftar ‘100 Wanita Terseksi di Dunia’ versi majalah FHM Perancis.

Kecintaannya terhadap dunia musik dan menyanyi seolah sudah mendarah daging dalam tubuhnya. Meski banyak artis di posisinya yang mengambil kesempatan melebarkan sayapnya ke bidang lain, tapi bagi Anggun, musik adalah panggilan jiwanya. 

Kini, Anggun yang menjadi salah satu juri dalam ajang pencarian bakat X Factor Indonesia, sedang menggarap album Best of: Design of A Decade 2003-2013, dengan menampilkan 17 lagunya dalam kurun waktu satu dekade belakangan ini. Anggun pun terus melambung jauh, terbang tinggi.


Editor: Silviana Sapitri
 
© Copyright KonBlok 2013 - 2014 | Design by KonBlok.