Pada 1883, pasca meletusnya Gunung Krakatau, tsunami merajalela dan meluluhlantakkan seluruh daerah yang dilaluinya. Tak terkecuali, salah satu kelenteng di bagian utara Tangerang atau sekitar 50 kilometer barat Jakarta, Tjo Soe Kong. Meski diterpa bencana alam yang dahsyat, klenteng ini mampu lolos dari maut. Kemujuran klenteng ini diabadikan dalam lagu 'Gambang Kramat' yang dimainkan oleh pemain Gambang Kromong sampai sekarang. Tidak diketahui secara pasti berapa umur klenteng ini, namun diperkirakan usianya sudah lebih dari dua abad.
Klenteng yang menjadi salah satu kekayaan wisata Provinsi Banten—yang dilestarikan sebagai cagar budaya ini dikenal pula sebagai Klenteng Tanjung Kait atau Klenteng Qing Shui Zhu Sui. Asal mula klenteng ini tak lepas dari jasa seorang tabib yang hidup di Zaman Dinasti Song bernama Tjo Soe Kong yang berasal dari Cuanciu, Provinsi Hokkian. Ia kerap kali membantu masyarakat sekitar tanpa menerima imbalan barang secuil pun.
Sehingga, ketika Tjo Soe Kong meninggal dunia, masyarakat sekitar yang berkerja sebagai petani tebu Tionghoa yang bermukim di Mauk, Tangerang, berinisiatif mendirikan sebuah klenteng yang saat itu masih berupa gubuk. Sejak saat itu, klenteng Tjo Soe Kong menjadi permulaan pusat komunitas masyarakat Tionghoa di Mauk, Tangerang.
Menjadi bagian penting dalam situs klenteng di Jakarta dan sekitarnya, selain Kongco Tjo Soe Kong ada pula di sebelahnya terdapat pemujaan Kongco Hok Tek Ceng Sin. Di tempat ini begitu banyak dilakukan perayaan dan sembahyang. Bahkan, para petani percaya bahwa dia sebagai dewa pelindung. Lain pula dengan kaum pedagang, yang menganggapnya sebagai roh suci yang memberikan rezeki dan keselamatan.
Perayaan-perayaan yang sering diselenggarakan biasanya berupa pertunjukkan wayang Po Te Hi. Perayaan ini berfungsi sebagai hiburan, pendidikan, dan kritik sosial. Banyak pula masyarakat Tionghoa yang menjadikannya sebagai sarana ritual untuk mengadukan nasib kepada para dewa tentang kegagalan hidup yang dijalani. Kemudian, ada Tari Naga yang diyakini menjadi bagian budaya pertanian dan panen. Konon, masyarakat Tionghoa percaya naga membawa keberuntungan. Terakhir, Tarian Barongsai, dengan piawai para penari barongsai ini melakukan aksinya di atas bara api tanpa merasakan perih pada telapak kaki mereka. Diiringi pula dengan keterampilan musik memukul genderang yang memukau, sehingga aksi ini sering kali mengundang decak kagum pada sesiapa saja yang menontonnya.
Keberadaan klenteng di Tangerang dapat dikatakan sudah mendarah daging dalam laku keseharian masyarakat Tangerang, yang jelas tidak dapat menampik peran serta etnis Tionghoa dalam struktur sosial kemasyarakatannya. Lebih dari itu, kultur masyarakat Tangerang juga terbentuk oleh etnis Tionghoa yang mukim di Tangerang sejak peristiwa berdarah Chinezenmoord—yang menjadi sejarah kelam berdirinya Batavia pada abad ke-18. Kecelakaan sejarah itu memang tak dapat dihapus dalam memori kolektif masyarakat Tionghoa. Tapi, belajar dari persitiwa yang menggiris hati itu, kita jadi tahu dengan dan untuk apa bangsa-negara Indonesia berdiri saat ini.
0 comments:
Posting Komentar