Menyibak Islam di Argentina

2013/05/12

Penulis: Dini Fitria
La Casa Rosada atau The Pink House di Argentina
Jakarta, Squadpost.com – Penunggang kuda bertopi lebar dengan pakaian panjang ke bawah terus memacu kudanya dengan gigih.  Tapak kudanya menjejak kekar di tanah tandus itu. Mereka berkelana dari satu tempat menuju tempat lainnya. Tangguh menantang aral.

Mereka adalah kaum Gaucho, Muslim Spanyol yang bermigrasi ke Argentina.

Ratu Isabel I dari Spanyol mengultimatum seluruh Muslim Spanyol setelah perang untuk segera memilih dua pilihan. Melepas Muslim menjadi Katholik atau keluar dari tanah Spanyol. Kaum Gaucho bersikukuh. Mereka tetap pada pendirian agamanya, dan memilih berpindah ke tanah Tango.

Menyusuri Minoritas Muslim
Mengenal minoritas Muslim di tengah mayoritas non-Muslim merupakan ketertarikan sendiri bagiku.  Terlebih Argentina yang penduduknya tak banyak menyatakan diri sebagai Muslim, seperti Tanah Airku, Indonesia. Negara dengan mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Pelahan aku menyusuri sekitaran kota. Bersikukuh meskipun rasa lelah terus menghinggapi karena baru saja tiba di negeri orang.

Aku terus bertanya dalam hati. Rasanya ingin memuntahkan ribuan tanya yang tersimpan dalam benak. Seakan kehausan di tengah gurun, mencari oase tentang keadaan agamaku di Argentina.

Aku meneruskan langkahku menuju Ibu Kota Argentina, Buenos Aires. Sebuah tempat peribadatan umat Muslim terbesar di Amerika Latin berdiri megah di tengah-tengah jantung kota, namanya Masjid Ray Fadh (Raja Fad). Masjid tersebut merupakan sumbangsih Raja Saudi dan negara Muslim lainnya.

Tak mau kehilangan kesempatan untuk mengadukan rasa syukur kepada Allah, aku menyerahkan diriku bersujud di masjid terbesar se-Amerika Latin tersebut.

Tak sampai di situ, aku memulai petualangan lagi dengan menggebu-gebu. Tasbih menyeru dalam hati. Aku takjub kala menginjakkan kaki di sebuah taman kota bernama Palermo Park. Di dalam Palermo Park itu terdapat yard (semacam pendopo) yang arsitekturnya bergaya Islam Spanyol.

Tepat di dalam yard, terdapat keramik yang berasal dari seni arsitektur Islam Abad Pertengahan yang juga banyak ditemukan di peninggalan sejarah Spanyol seperti di Mezquita Cathedral, di Cordoba, dan Alhambra di Granada. Di lantai yard terdapat tulisan kaligrafi la ghalib ilallah (tiada pemenang selain Allah). Sayang, keberadaannya semakin pudar. Salah satunya karena sering terinjak-injak dan ketidaktahuan masyarakat Argentina akan makna tulisan tersebut. Bagi mereka itu hanya seni belaka.

Masuknya sentuhan Islam Spanyol di Argentina ini sebenarnya dibawa oleh bangsa Spanyol  yang saat itu berada di bawah kekuasaan Ratu Isabel I dan Raja Ferdinand II. Pada 1492, Alhambra yang saat itu menjadi basis kerajaan Islam terakhir di dunia, diporak-porandakan Isabel dan Ferdinand. Mereka kemudian menghancurkan berbagai peninggalan Bangsa Muslim, kecuali buku-buku tentang pengobatan dan karya seni seperti keramik.

Atas kemenangannya, Spanyol kemudian berekspansi ke seantero dunia. Mereka membawa beberapa peninggalan Islam itu yang kemudian diletakkan di tanah baru. Argentina adalah salah satunya.

Muslim Gaucho
Gaucho tak pernah bisa dilepaskan dari keberadaan Islam di Argentina. Meskipun telah punah, Gaucho tetap memiliki tempat tersendiri bagi Muslim di Argentina.

Gaucho hidup di padang rumput sebagai penggembala sapi. Mereka gemar memelihara jenggot, juga senang menggunakan jubah. Kuda kerap menjadi tunggangan mereka. Sepintas, penampilan mereka itu mirip betul dengan koboi. Ya… koboi a la Argentina.

Banyak tradisi mereka yang diserap rakyat Argentina hingga sekarang. Salah satunya yaitu gaya minumnya. Alat untuk minum Gaucho bernama mate yang berisi serbuk herbal, dicampur air hangat, dan diminum secara bergantian sebagai simbol persaudaraan, juga persahabatan. Jika ditawarkan untuk meminumnya, maka kita harus menerima. Jika tidak, sama seperti menolak persaudaraan dan persahabatan.

Ada pun tradisi lain Gaucho, yakni cara makan daging yang mengalir di nadi masyarakat Argentina. Cara memasaknya, daging dipanggang menggunakan kayu. Kemudian disusun bertumpuk setelah diiris-iris. Sungguh menggugah selera.

Ternyata, tradisi itu juga dapat ditemukan di beberapa restoran di Brazil dan Meksiko. Mereka mengadaptasi cara mengolah daging panggang seperti yang diajarkan Gaucho dulu. Rasanya, lidah seperti menari-nari. Setelah menikmati daging itu,aku memasukkannya sebagai salah satu makanan favoritku.

Islam kini
Kedatangan Muslim ke tanah Argentina dimulai pada pertengahan Abad-19. Imigrasi pertama datang dari Syria sekira 1850 sampai 1860. Mereka mencari penghidupan yang lebih baik dibandingkan di bawah kekaisaran Ottoman yang pada saat itu cenderung otoriter.
Gelombang imigrasi berikutnya datang di antara tahun 1870 pada saat Perang Dunia I. Di antara rentang tahun 1919 dan 1926 para imigran itu datang lagi. Saat itu kekuatan negara Barat sedang getol-getolnya menancapkan pengaruh kolonialisasi di Timur Tengah, yang dulunya berada di bawah kekaisaran Ottoman.

Meskipun Islam sudah dapat diterima oleh mayoritas masyarakat Argentina, tapi keberadaan masjid, mushala, dan perempuan berjilbab masih sulit ditemukan.

Salah satu keunikan yang aku temukan yaitu ketika selesai shalat berjamaah. Beberapa perempuan melepas jilbabnya, dan yang lain tidak. Pilihan itu berdasarkan kesiapan mereka sendiri.

Bagi kebanyakan orang Argentina, agama bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan, terlebih menjadi masalah. Mungkin karena Muslim di Argentina pernah mengalami masa yang sulit.

Gambaran tentang Islam sendiri jauh dari predikat baik. Mereka menganggap bahwa Islam masih erat keterkaitannya dengan teroris—yang sering melakukan pengeboman dan merusak kenyamanan. Hal ini dipengaruhi oleh media yang masih memberitakan Islam secara tidak seimbang. Meskipun begitu, pada akhirnya terbantahkan karena banyak imigran Muslim yang sebagian besar dari Suriah (Syria) dan Lebanon berperilaku sopan, lembut, dan baik.

Salah seorang temanku, Leticia, wartawan Argentina, sempat mengatakan hal serupa.

“Di mata saya, Islam itu sangat buruk sekali. Tapi setelah membaca dan melihat ulang, saya sadar, ternyata Islam tidak seperti itu,” ujarnya.

Untunglah, kini mereka sadar bahwa Islam itu hangat dan lembut, serta menyadari kekeliruannya tentang kejelekan Islam.

Masyarakat di Argentina tak berbeda dengan Asia. Mereka hangat dan dekat. Parasku yang memang Indonesian face sempat membuat mereka bingung karena tak seperti orang Spanyol, Amerika, dan negara sekitarnya. Mereka tak tahu di mana Indonesia. Justru mereka lebih mengenal Malaysia.

Aku terhenyak, “Ternyata Indonesia jauh dari pikiran orang-orang luar negeri.”

Dibalik itu semua, hatiku terketuk dan kembali mendapat pelajaran baru. Aku sangat terkesan mengingat bagaimana Islam mampu menyebarkan ajarannya hampir ke antero dunia.

Argentina, begitu menggugah hati. Meskipun Muslim di sana minoritas, masyarakatnya tetap menghargai keberagaman yang ada. Muslim tetap hidup berdampingan tanpa harus sesak napas karena stigma negatif.

Penyunting | Kahfi Dirga Cahya
Share this Article on :

0 comments:

Posting Komentar

 
© Copyright KonBlok 2013 - 2014 | Design by KonBlok.