Surga Musik Dunia

2013/05/06

Penulis: Reno Muhammad

Jakarta, Squadpost.com—Sedari 2011 hingga memasuki pertengahan 2013 ini, Indonesia berubah jadi lahan subur bagi para musisi dunia untuk meraup pundi-pundi kekayaan. Selain Aerosmith yang batal konser di Jakarta pada 11 Mei mendatang, Squadpost mencatat beberapa nama besar yang pernah manggung di Jakarta dan kota besar lain Indonesia, seperti Lenka, Joss Stone, Air Supply, Rod Steward, Elton John, Santana, Iron Maiden, Misfits, Paramore, Linkin Park, Sami Yusuf, Westlife, Sum41, 50cent, David Foster, My Chemical Romance, Beyonce, dan banyak yang lain. Sebagian mereka datang dengan jumlah bayaran yang luarbiasa besar. Padahal dalam waktu bersamaan, ada begitu banyak soal finansial yang mendera negeri ini.

Pertanyaannya, selain honor yang menggiurkan itu, apakah alasan mendasar para musisi di atas berkenan menggelar konsernya di Indonesia? Pada edisi kali ini, Squadpost mencoba untuk menjawabnya. Pertama, keterbukaan. Kendati majemuk, masyarakat kita nyaris tak memiliki resistensi untuk apa pun hal yang masuk ke sini. Terutama jika sudah berkenaan dengan selera, romantisme, dan hal yang baru sama sekali. Menjamurnya pengguna jejaring sosial yang beragam jenis, adalah bukti nyata untuk itu.

Bahkan banyak kalangan pengamat internasional yang meyakini, bahwa Indonesia kerap dijadikan barometer dalam segala hal yang berkenaan dengan dunia tren atau produk. Jika satu produk atau tren sudah bisa diterima di sini dengan baik, besar kemungkinan pengaruhnya akan segera menjamur di banyak negara lain. Bukan sebaliknya.

Kedua, selera dan semangat bermusik yang beragam. Membacai daftar musisi di atas dengan ragam jenrenya masing-masing, kita menjadi mafhum betapa sebenarnya selera musik masyarakat Indonesia cenderung beragam dan berwarna. Bahkan tak sedikit di antaranya yang berkualitas tinggi. Kita benar-benar terbuka untuk sekian banyak jenre musik yang terus berkembang di dunia. J-Pop dan K-Pop adalah penanda termudahnya.

Ketiga, akar musikal yang mewaris secara kultural. Sejak masih belum bernama Indonesia, masyarakat kita sudah bersentuhan lebih dulu dengan sekian macam jenis dan alat musik yang tersebar di antero negeri. Maka tak heran, jika The Tielman Brothers dari Maluku mencuat ke permukaan dan mengenalkan jenre Rock n’ Roll pada warga dunia. Gesang untuk keroncong; Rhoma Irama untuk dangdut; Rahayu Supanggah untuk world music.

Apa yang dilakukan Rahayu Supanggah menarik dicermati. Jenis musik yang ia mainkan dilabeli world music. Wajar saja, karena hampir semua jenis musik dunia sebagiannya ada di sini. Kita punya alat musik jenis diatonik, juga pentatonik—yang lazim dimainkan dengan menggunakan tangga nada pelog atau sléndro. Semua alat-alat musik tersebut tersebar di setiap jengkal negeri ini dan bahkan masih bisa ditemui penggunanya dengan mudah.

Musik Sebagai Spirit Hidup

Bukti nyata betapa sejatinya Indonesia adalah surganya musik dunia, pernah ditunjukkan oleh etnomusikolog, Rizaldi Siagian, melalui pentas kolaborasi akbar “Megalitikum Kuantum” yang dihelat pada 29-30 Juni 2005 silam, dalam rangka memperingati dirgahayu harian Kompas ke-40.

Merujuk pada pentas musik luarbiasa itu, kita sebenarnya bisa menemukan akar sejarah dan kultural bangsa yang besar ini. Kita punya khazanah musik berlimpah yang kemudian mewaris-mengalir dalam darah tiap individu manusia Indonesia. Lantas apa pula landasannya sehingga bangsa Indonesia mampu memiliki begitu banyak jenis alat musik dan turunannya?

Dag Österberg (2005) berargumen bahwa musik sebagai ekspresi dan kegiatan ekspresif berhubungan dengan sifat-sifat alami tubuh manusia yang berfungsi sebagai media ekspresi yang potensial dan bawaan lahir. Berdasar kajian sosio-antropologis, bangsa-bangsa di Timur tak terkecuali Indonesia, punya disiplin tubuh yang lebih menonjol. Kita cenderung ekspresif, reaktif, eksplosif terhadap banyak hal dalam laku keseharian. Baik itu berkenaan dengan dunia material, astral, maupun spiritual.

Menurut Rizaldi (2011), “Akor konsonan, yaitu susunan tiga nada vertikal yang konvensional—seperti do, mi, sol, (c, e, g) dalam konsep harmoni tradisional—dikonotasikan dengan keselarasan, kemapanan, dan kerukunan sosial, sedangkan akor-akor disonan (harmoni modern yang bersuara miring seperti akor jazz, misalnya) dikonotasikan sebagai konflik, perselisihan, dan permusuhan. Benturan nada-nada yang rapat berjarak setengah langkah (100 cent) pada akor disonan dianggap mewakili konfilk sosial.”

Sampai saat ini, dalam banyak masyarakat tradisional Indonesia, musik masih merupakan sebuah upaya pendekatan diri sejati kepada Yang Maha Indah—sekaligus usaha untuk melakukan penyembahan dan penyerahan diri secara utuh-menyeluruh. Ragam musik yang mereka ciptakan, sebenarnya jadi bagian tak terpisah dari bagaimana harmoni kehidupan digambarkan. Hal inilah yang membuat siapa pun orang yang mendengar musik apa saja yang ia gemari, jadi menimbulkan sensasi yang tak tercandra. Seolah ada alam lain nun jauh di sana yang menampung segala ekspresi dalam diri kita.

Bangsa Indonesia yang memang terkenal sebagai masyarakat festival karena banyaknya ritus dalam kehidupannya, jadi lebih akrab dengan ranah musik dari jenre musik apa saja. Artinya, kita adalah juga masyarakat musikal. Masyarakat yang secara sadar atau tidak, mengandungi potensi harmonisasi yang jadi syarat mutlak sebuah musik tercipta. Maka dengan kata lain, musik yang dalam banyak ajaran kebijaksanaan diyakini sebagai suara tuhan di bumi, jelas merupakan anugerah terbesar bangsa kita yang harus disyukuri, ditekuri, dan dijadikan tolok ukur tumbuh kembangnya peradaban kita selaku manusia Indonesia menuju puncak bahagia.


Penyunting: Kahfi Dirga Cahya
Share this Article on :

0 comments:

Posting Komentar

 
© Copyright KonBlok 2013 - 2014 | Design by KonBlok.