Penulis: Reno Muhammad
Jakarta,
Squadpost.com—Sedari 2011 hingga memasuki
pertengahan 2013 ini, Indonesia berubah jadi lahan subur bagi para musisi dunia
untuk meraup pundi-pundi kekayaan. Selain Aerosmith yang batal konser di
Jakarta pada 11 Mei mendatang, Squadpost mencatat beberapa nama besar yang
pernah manggung di Jakarta dan kota besar lain Indonesia, seperti Lenka, Joss
Stone, Air Supply, Rod Steward, Elton John, Santana, Iron Maiden, Misfits,
Paramore, Linkin Park, Sami Yusuf, Westlife, Sum41, 50cent, David
Foster, My Chemical Romance, Beyonce, dan banyak yang lain. Sebagian mereka
datang dengan jumlah bayaran yang luarbiasa besar. Padahal dalam waktu
bersamaan, ada begitu banyak soal finansial yang mendera negeri ini.
Pertanyaannya, selain
honor yang menggiurkan itu, apakah alasan mendasar para musisi di atas berkenan
menggelar konsernya di Indonesia? Pada edisi kali ini, Squadpost mencoba untuk
menjawabnya. Pertama, keterbukaan. Kendati majemuk, masyarakat kita nyaris tak
memiliki resistensi untuk apa pun hal yang masuk ke sini. Terutama jika sudah
berkenaan dengan selera, romantisme, dan hal yang baru sama sekali. Menjamurnya
pengguna jejaring sosial yang beragam jenis, adalah bukti nyata untuk itu.
Bahkan banyak
kalangan pengamat internasional yang meyakini, bahwa Indonesia kerap dijadikan
barometer dalam segala hal yang berkenaan dengan dunia tren atau produk. Jika
satu produk atau tren sudah bisa diterima di sini dengan baik, besar
kemungkinan pengaruhnya akan segera menjamur di banyak negara lain. Bukan
sebaliknya.
Kedua, selera dan
semangat bermusik yang beragam. Membacai daftar musisi di atas dengan ragam
jenrenya masing-masing, kita menjadi mafhum betapa sebenarnya selera musik
masyarakat Indonesia cenderung beragam dan berwarna. Bahkan tak sedikit di
antaranya yang berkualitas tinggi. Kita benar-benar terbuka untuk sekian banyak
jenre musik yang terus berkembang di dunia. J-Pop dan K-Pop adalah penanda
termudahnya.
Ketiga, akar musikal
yang mewaris secara kultural. Sejak masih belum bernama Indonesia, masyarakat
kita sudah bersentuhan lebih dulu dengan sekian macam jenis dan alat musik yang
tersebar di antero negeri. Maka tak heran, jika The Tielman Brothers dari
Maluku mencuat ke permukaan dan mengenalkan jenre Rock n’ Roll pada warga
dunia. Gesang untuk keroncong; Rhoma Irama untuk dangdut; Rahayu Supanggah
untuk world music.
Apa yang dilakukan
Rahayu Supanggah menarik dicermati. Jenis musik yang ia mainkan dilabeli world
music. Wajar saja, karena hampir semua jenis musik dunia sebagiannya ada di
sini. Kita punya alat musik jenis diatonik, juga pentatonik—yang lazim
dimainkan dengan menggunakan tangga nada pelog atau sléndro. Semua alat-alat
musik tersebut tersebar di setiap jengkal negeri ini dan bahkan masih bisa
ditemui penggunanya dengan mudah.
Musik Sebagai Spirit Hidup
Bukti nyata betapa
sejatinya Indonesia adalah surganya musik dunia, pernah ditunjukkan oleh
etnomusikolog, Rizaldi Siagian, melalui pentas kolaborasi akbar “Megalitikum
Kuantum” yang dihelat pada 29-30 Juni 2005 silam, dalam rangka memperingati
dirgahayu harian Kompas ke-40.
Merujuk pada pentas
musik luarbiasa itu, kita sebenarnya bisa menemukan akar sejarah dan kultural
bangsa yang besar ini. Kita punya khazanah musik berlimpah yang kemudian
mewaris-mengalir dalam darah tiap individu manusia Indonesia. Lantas apa pula
landasannya sehingga bangsa Indonesia mampu memiliki begitu banyak jenis alat
musik dan turunannya?
Dag Österberg (2005)
berargumen bahwa musik sebagai ekspresi dan kegiatan ekspresif berhubungan
dengan sifat-sifat alami tubuh manusia yang berfungsi sebagai media ekspresi
yang potensial dan bawaan lahir. Berdasar kajian sosio-antropologis,
bangsa-bangsa di Timur tak terkecuali Indonesia, punya disiplin tubuh yang
lebih menonjol. Kita cenderung ekspresif, reaktif, eksplosif terhadap banyak
hal dalam laku keseharian. Baik itu berkenaan dengan dunia material, astral, maupun
spiritual.
Menurut Rizaldi (2011), “Akor konsonan, yaitu susunan tiga nada vertikal yang
konvensional—seperti do, mi, sol, (c, e, g) dalam konsep harmoni
tradisional—dikonotasikan dengan keselarasan, kemapanan, dan kerukunan sosial,
sedangkan akor-akor disonan (harmoni modern yang bersuara miring seperti akor
jazz, misalnya) dikonotasikan sebagai konflik, perselisihan, dan permusuhan.
Benturan nada-nada yang rapat berjarak setengah langkah (100 cent) pada akor
disonan dianggap mewakili konfilk sosial.”
Sampai saat ini,
dalam banyak masyarakat tradisional Indonesia, musik masih merupakan sebuah
upaya pendekatan diri sejati kepada Yang Maha Indah—sekaligus usaha untuk
melakukan penyembahan dan penyerahan diri secara utuh-menyeluruh. Ragam musik
yang mereka ciptakan, sebenarnya jadi bagian tak terpisah dari bagaimana
harmoni kehidupan digambarkan. Hal inilah yang membuat siapa pun orang yang
mendengar musik apa saja yang ia gemari, jadi menimbulkan sensasi yang tak
tercandra. Seolah ada alam lain nun jauh di sana yang menampung segala ekspresi
dalam diri kita.
Bangsa Indonesia yang
memang terkenal sebagai masyarakat festival karena banyaknya ritus dalam kehidupannya,
jadi lebih akrab dengan ranah musik dari jenre musik apa saja. Artinya, kita
adalah juga masyarakat musikal. Masyarakat yang secara sadar atau tidak,
mengandungi potensi harmonisasi yang jadi syarat mutlak sebuah musik tercipta. Maka
dengan kata lain, musik yang dalam banyak ajaran kebijaksanaan diyakini sebagai
suara tuhan di bumi, jelas merupakan anugerah terbesar bangsa kita yang harus
disyukuri, ditekuri, dan dijadikan tolok ukur tumbuh kembangnya peradaban kita
selaku manusia Indonesia menuju puncak bahagia.
Penyunting: Kahfi Dirga Cahya
0 comments:
Posting Komentar