Beasiswa luar negeri menjadi buruan hampir setiap orang--baik yang cinta dengan pendidikan atau pun mereka yang mendambakan kehidupan lebih baik. Atas nama beasiswa, mereka berlomba menginjakkan kaki di tanah seberang demi mengusung misi tertentu: mendongkrak taraf perekonomian yang lebih baik, atau sampai pada jejalan keliling negeri sasarannya.
Yusran Darmawan, salah seorang penulis buku Indonesia Jungkir Balik (2012), yang juga sedang menimba ilmu Pascasarjana di Communication and Development Program, Ohio University, Athens, United States, menuturkan peliknya menjadi mahasiswa beasiswa di luar negeri. Setelah berjibaku dengan tugas-tugasnya sebagai mahasiswa, ia juga harus tetap hidup dalam kondisi serbapas.
Mitos. Inilah kata yang tepat mengaitkan perihal beasiswa luar negeri dan seluk-likunya. Pada edisi "Mendidik Manusia" kali ini, Yusran akan mengisahkan empat mitos beasiswa di Amerika. Simak ceritanya!
"Mitos-Mitos Pencari Beasiswa Amerika"
SESEORANG
tiba-tiba saja menyapa. Ia mengajak diskusi tentang sekolah di luar negeri. Ia
bertanya banyak hal. Ia tidak membahas tentang tema-tema riset terbaru atau
perkembangan dalam satu bidang. Ia bertanya, tentang apakah dirinya bisa
mencari kerja tambahan di luar negeri? Apakah dirinya bisa membawa pulang
banyak uang setelah belajar?
Gara-gara
tulisan di blog (www.timur-angin.com), saya sering mendapat pertanyaan dari
para pencari beasiswa. Banyak pertanyaan yang lucu dan ajaib. Anehnya,
rata-rata meminta informasi tentang
link atau jaringan tentang beasiswa. Dipikirnya, saya tahu banyak
tentang jenis-jenis beasiswa. Yang juga aneh, seseorang di ujung Sumatera
mengirimkan email tentang dirinya yang harus menanggung keluarganya sejak
kecil, serta harapan agar bisa keluar negeri demi meningkatkan harkat dan
martabat keluarga. What?
Berdasarkan
banyak pertanyaan yang diajukan orang-orang, saya mencatat ada sejumlah
kesamaan ataupun anggapan dari para pencari beasiswa tentang studi di luar
negeri. Baiklah. Marilah kita mendiskusikannya satu per satu.
Pertama,
banyak pencari beasiswa yang mengira bahwa belajar di luar negeri adalah jalan
pintas untuk kaya-raya. Mereka pikir bahwa dengan keluar negeri, pasti akan
membawa banyak uang, sehingga kelak akan beli rumah, tanah, mobil, atau apa
saja. Anggapan ini tak selalu benar. Malah sering salah. Beberapa teman yang
belajar di Australia setahu saya, pulang membawa banyak duit. Namun ini tak
bisa digeneralisir. Untuk negara seperti Amerika Serikat (AS), anggapan ini
jelas salah besar.
Jumlah
beasiswa untuk satu orang terbilang pas-pasan. Berdasarkan observasi saya pada
penerima beasiswa, jumlah yang diterima hanya pas untuk bertahan hdup selama
sebulan. Separuh dari biaya bulanan, akan habis untuk biaya apartemen. Jika
membawa keluarga, sebagaimana saya, maka jumlah pengeluaran pasti akan
bertambah. Konsekuensinya adalah mesti hidup dengan biaya pas-pasan. Boro-boro mau jalan-jalan dan lihat
keindahan negara bagian lain, untuk makan saja sering harus masak indomie.
Simpanan? Hmm. Jika makan susah, apa masih bisa menabung?
Mungkin, ada
juga yang berhasil menabung. Namun biasanya ini dilakukan mereka yang luar
biasa ketat dalam hal anggaran. Mereka rela hidup sangat pas-pasan di negeri
orang demi untuk membawa duit. Maafkan. Saya tidak dalam posisi demikian. Saya
tak ingin memberikan makanan yang pas-pasan demi anak kecil saya hanya demi
membawa uang ke tanah air.
Kedua, mitos tentang kerja sambilan.
Banyak yang mengira bahwa di Amerika, pasti mudah mendapatkan kerja sambilan
dengan gaji tinggi, kemudian hidup kaya. Benarkah? Lagi-lagi ini salah. Soal
kerja sambilan selalu tergantung pada tinggal di kota mana. Tak semua tempat
memilii banyak lowongan kerja. Kalaupun ada lowongan, biasanya akan
diprioritaskan pada warga Amerika, bukan warga internasional. Ini yang sering
menjadi dilema sehingga kerja sambilan jadi sulit. Di tengah kondisi
pengangguran di Amerika yang mencapai angka 7 persen, akan sangat sulit
menemukan lowongan yang tidak diserbu warga setempat yang menganggur.
Bagi mahasiswa
internasional dan penerima beasiswa, hal yang juga jadi masalah adalah jenis
visa J1 yang tidak membolehkan pemegangnya untuk mencari beasiswa. Jika
ketahuan, maka sponsor beasiswa pasti akan memotong beasiswa. Sponsor beasiswa
pasti tahu sebab semua pengeluaran dan pemasukan akan dicatat rekening,
sekaligus laporan pajak. Mungkin bisa sembunyi-sembunyi, namun cara ini jelas
berisiko. Nah, apakah masih sempat bekerja sambilan?
Ketiga adalah mitos tentang
jalan-jalan. Banyak yang mengira bahwa ketika menjadi mahasiswa di Amerika,
maka akan berkesempatan untuk keliling kota-kota besar yang dahulu hanya bisa
dibayangkan. Benarkah? Menurut saya, anggapan ini tak selalu benar. Ada dua hal
yang mesti diperhatikan setiap kali akan melakukan perjalanan. Pertama adalah
waktu, dan kedua adalah uang.
Berdasarkan
pengalaman saya, waktu luang adalah sesuatu yang amat mahal bagi seorang
mahasiswa pasca-sarjana. Ketika kampus Ohio University menerapkan sistem
quarter, mahasiswa tak punya banyak waktu luang. Biasanya, penerima beasiswa
punya batas minimum kredit mata kuliah yang diambil.
Dengan sistem
kuliah didesain dengan sangat ketat, maka hari-hari seorang mahasiswa
pasca-sarjana adalah membaca buku, artikel, menulis paper review, menyiapkan
presentasi di kelas, menyiapkan bahan diskusi, serta menulis paper akhir.
Semester ini, waktu luang saya hanya ada di hari Sabtu dan Minggu. Itupun,
ketika masuk hari Minggu, saya akan mulai deg-degan karena harus menyelesaikan
tugas untuk seminggu berikutnya. Nah, jelas saya tak sempat memikirkan
jalan-jalan.
Cara murah
biasanya adalah melakukannya bersama teman-teman. Kita bisa menghemat sewa
hotel serta biaya perjalanan. Cara ini bisa dilakukan. Namun, cara ini tak bisa
dilakukan tiap saat. Dikarenakan semua orang sibuk, biasanya hanya bisa
dlakukan saat libur jelang semester. Itupun waktu jalan-jalan hanya bisa empat
atau lima hari. Jika lebih dari itu, saya memilih untuk tidak keluar kota. Saya
membayangkan rasa lelah serta butuh waktu untuk memulihkan tenaga demi
menghadapi kuliah.
Keempat adalah mitos bahwa kondisi di
luar negeri akan lebih menyenangkan ketimbang di tanah air. Menurut saya, ini
adalah hal yang keliru. Luar negeri tak selalu nyaman sebab kita harus
beradaptasi dengan segala situasi. Ketika salju pertama turun, saya sangat senang
dan tak bosan-bosan menyentuh salju. Saya suka heran-heran melihat ada butiran
es halus yang turun dari langit. Namun setelah lewat dua minggu, musim salju
mulai jadi mimpi buruk. Di tengah cuaca yang beku, harus bergegas menuju kampus
lalu tinggal di perpustakaan demi tugas. Salju membuat mobilitas terganggu.
Setiap keluar mesti memakai baju setebal astronot, lalu menahan dingin sembari
mengoleskan krim di bibir. Salju jadi mimpi buruk. Biasanya, saat salju turun,
saya lalu membayangkan betapa nyamannya di tanah air yang setiap saat musim
panas.
Kita juga
mesti adaptasi dengan makanan. Semua mahasiswa yang belajar di luar negeri
punya ketergantungan dengan makanan beku. Jenis-jenis ikan, daging, atau ayam
mesti dibekukan biar bisa diolah kapan saja. Saya termasuk pihak yang tidak
cocok dengan jenis-jenis makanan di sini. Saya hanya cocok dengan ikan, itupun
ikan di sini tak sesegar di tanah air. Lagian, ikannya hanyalah ikan air tawar.
Keempat adalah
mitos hidup tenang karena semua terjamin. Pada uraian di atas, saya sudah
menjelaskan semuanya. Saya juga khawatir dengan biaya kesehatan di Amerika.
Anak saya pernah dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Sakitnya bukan termasuk
sakit parah, hanya sedikit infeksi telinga. Dokter menyuruh membeli antibiotik
yang murah. Anak saya hanya 10 menit di rumah sakit. Sebulan kemudian, datang
tagihan untuk membayar 300 dollar untuk rumah sakit, dan 600 dollar untuk
dokter. Jika ditotal, tagihannya adalah sebesar 900 dollar atau kira-kira
sebesar sembilan juta rupiah. Padahal, di tanah air, sakit seperti itu hanya
cukup dibawa ke Puskesmas, dan tak harus bayar.
***
Saya mencatat
banyak mitos. Namun cukuplah empat argumentasi yang dibahas di atas. Setelah
dua tahun di Amrika Serikat, saya berkesimpulan bahwa tinggal di luar negeri
tak seindah yang diangankan para pencari beasiswa. Butuh daya tahan, kesabaran,
serta ketekunan untuk menyelesaikan studi.
Yang tak kalah
penting adalah mesti ada keikhlasan untuk menjalani semuanya sebagai ujian
untuk pematangan jiwa. Tanpa melihatnya sebagai sesuatu yang mengayakan batin,
maka semua tantangan itu bisa menjadi beban. Yang pasti, belajar di luar negeri
sangat baik untuk melatih mental agar tahan banting menghadapi semua masalah.
Melatih diri agar tidak cengeng menghadapi masalah. Sekian. Tabik!
Athens, Ohio, 27 April 2013
Sumber : Mitos-Mitos Pencari Beasiswa Amerika
0 comments:
Posting Komentar