Anak laki-laki itu pandai berhitung. Hitungannya lebih cepat ketimbang kalkulator
pedagang. Kegigihannya dalam belajar ditunjukkannya dengan pola belajar yang
tak kenal lelah. Meski hanya diterangi lampu minyak, ia ngotot untuk menguras
otaknya dengan menghafal rumus-rumus.
Adegan di atas merupakan bagian dari film
9 Summer 10Autumns. Sebuah film drama
yang ceritanya diangkat dari sebuah novel Iwan Setyawan dengan judul yang sama Dari Aple ke the Big Aple. Disutradarai
oleh Ifa Isfansyah, film tersebut menggandeng sejumlah nama kawakan dalam dunia
perfilman Indonesia, seperti Fajar Nugros, dan Iwan Setyawan sebagai penulis
naskah.
Tak mau kalah dengan orang dibalik layar,
film ini juga dibintangi oleh Ihsan Tarore sebagai Iwan Setyawan, Alex Komang, Dewi
Riawan, Agni Prastitha, Dira Sugandi, Hayria Faturrahman, dan bintang cilik
pendatang baru sebagai Iwan kecil, Shafil Hamdi Nawara.
Film ini bercerita tentang perjalanan
hidup seseorang anak laki-laki, Iwan Setyawan "Bayek." Anak dari
seorang sopir angkot dan ibu yang tidak tamat Sekolah Dasar. Iwan yang
kelahiran Malang merupakan anak lelaki satu-satunya di keluarga yang punya cita-cita
sederhana: ingin punya kamar sendiri.
Selain penakut, Bayek adalah anak
manja. Sehingga di awal masuk sekolah, ibunya harus rela menunggunya belajar
sampai jelang pulang. Menjadi anak laki-laki tunggal di keluarga membuat
ayahnya yang sopir angkot menggantungkan harapan pada Bayek.
Bapaknya pun berharap ia bisa menjadi laki-laki sejati, kuat, dan berani menghadapi segala rintangan kehidupan, karena dia yang akan menjaga ibu dan saudara perempuannya ketika ayahnya sudah tiada. Kenyataannya, Bayek lebih senang membantu ibunya di dapur daripada membantu bapaknya memperbaiki angkot yang digunakannya mencari nafkah.
Bapaknya pun berharap ia bisa menjadi laki-laki sejati, kuat, dan berani menghadapi segala rintangan kehidupan, karena dia yang akan menjaga ibu dan saudara perempuannya ketika ayahnya sudah tiada. Kenyataannya, Bayek lebih senang membantu ibunya di dapur daripada membantu bapaknya memperbaiki angkot yang digunakannya mencari nafkah.
Meski Bayek dibesarkan oleh keluarga
yang serbakurang, ternyata ia cukup gigih dalam mencari ilmu. Saat malam tiba
ia memilih untuk menghabiskannya dengan menghafal rumus matematika. Pada suatu malam
saat semua tertidur dan ia masih terjaga, tiba-tiba ibunya terbangun karena mendengar
Iwan menghafal.
“Kamu ndak takut gelap, Yek? Ndak
takut hantu?”
“Iwan ndak takut hantu, Bu. Iwan cuma takut miskin," ujarnya.
Kerja keras Bayek pun berbuah manis. Ia
berhasil meraih peringkat pertama di kelas. Kepintarannya masih terbawa hingga
ia memasuki Sekolah Menengah Atas. Ia menjadi siswa berprestasi di sekolahnya, terkadang
ia menjadi guru pribadi teman-temannya. Ia juga tak luput berbakti di keluarga,
terutama kepada Bapaknya—dengan menjadi kondektur di angkotnya. Meski tidak terlalu
suka, Bayek tetap menjalaninya dengan semangat.
Kelulusan SMA pun menjelang. Bayek lagi-lagi
memetik buah yang pohonnya ditanam dengan kukuh. Ia diterima di IPB (Institut
Pertanian Bogor) tanpa ujian. Meski tinggal sejengkal lagi untuk meneruskan, banyak
masalah yang datang. Masalah besarnya datang dari sang bapak. "Bogor tidak
butuh kamu, tapi rumah ini yang butuh kamu," ujar bapaknya.
Namun lain dengan ibu Bayek yang
tetap menginginkannya melanjutkan sekolah hingga pendidikan tinggi. "Ibu mau anak yang lahir dari rahim ibu
harus hidup bahagia, walau pun ibu tidak tamat Sekolah Dasar, tapi kamu harus
sukses. Kalau kamu di sini terus kapan kamu sukses,” kata ibunya.
Seiring berjalannya waktu, hati bapaknya
pun mulai luluh. Ia mengikhlaskan Iwan pergi
kuliah ke Bogor. Bapaknya juga merelakan angkotnya yang selama ini telah
menghidupi mereka dijual untuk biaya hidup Bayek selama di Bogor.
Bayek bergegas mengarungi
kehidupannya yang baru di Bogor. Saat tiba di Bogor ia menemui pengalaman baru,
dan orang baru. Ia menggantungkan mimpi yang
sangat besar untuk sukses dan membahagiakan keluarganya. Resep saat ia kecil
dulu terus dipakainya untuk bisa memperbaiki nasib keluarganya. Kembali, berkat
kegigihannya, ia menjadi mahasiswa dengan predikat cumlaude.
Berbekal nilainya yang hampir
sempurna, Iwan memberanikan diri merantau ke Jakarta. Dengan cukup mudah ia pun
diterima bekerja di salah satu perusahaan di Ibukota. Kerja kerasnya kembali
dibuktikan saat ia bisa berhasil bekerja di sebuah perusahaan Multinasional di
New York, Amerika Serikat. Dari kota Apple
ke The Big Apple.
Sepuluh tahun mengembara di kota modern
itu membuat Bayek berhasil mengangkat derajat keluarganya. Namun, gemerlap dan
kemewahan New York tak mampu mengobati sebuah kenangan mendalam pada keluarga.
Apa yang telah dicapainya itu adalah
karena kegigihan serta cinta keluarga. Berkat itu pula ia tidak silau jabatan
di negeri orang. Bayek pun memilih kembali dan menjadi motivator untuk
masyarakat di tempat ia berasal, Batu, Jawa Timur.
Film karya Ifa Isfansyah ini begitu menarik
untuk ditonton. Layak menjadi inspirasi bagi banyak orang. Pemeran Iwan kecil,
Shafil, berlaga cukup piawai. Terbukti, ia mampu memperlihatkan karakter anak
laki-laki yang sangat penakut, dan sanggup mengolah perasaan tertekan karena
tuntutan bapaknya agar ia menjadi lelaki sejati.
Karakter Ihsan Tarore sebagai Iwan
Setyawan (Bayek) dewasa, berperan cukup baik. Terutama ketika memunculkan karakter penakut
dan giat dalam menjalankan sesuatu. Walaupun di awal cerita, ia terlihat
sedikit berlebihan saat memerankan lelaki yang lemah.
Film lokal seperti ini sebenarnya
menjadi buruan para penikmat film, khususnya keluarga. Selain untuk menikmati unsur
sinematografinya, film bergenre motivasi ini juga dapat menelurkan banyak makna
dalam kehidupan mereka. Sayang, keberadaan film sejenis ini di Indonesia masih berada di
‘kelas dua,’ terutama bagi para pelaku bisnis dan pengambil kebijakan terkait penyajian
film ke khalayak.
0 comments:
Posting Komentar