Anak yang Takut Miskin

2013/05/02


Anak laki-laki itu pandai berhitung.  Hitungannya lebih cepat ketimbang kalkulator pedagang. Kegigihannya dalam belajar ditunjukkannya dengan pola belajar yang tak kenal lelah. Meski hanya diterangi lampu minyak, ia ngotot untuk menguras otaknya dengan menghafal rumus-rumus.

Adegan di atas merupakan bagian dari film 9 Summer 10Autumns. Sebuah film drama yang ceritanya diangkat dari sebuah novel Iwan Setyawan dengan judul yang sama Dari Aple ke the Big Aple. Disutradarai oleh Ifa Isfansyah, film tersebut menggandeng sejumlah nama kawakan dalam dunia perfilman Indonesia, seperti Fajar Nugros, dan Iwan Setyawan sebagai penulis naskah. 

Tak mau kalah dengan orang dibalik layar, film ini juga dibintangi oleh Ihsan Tarore sebagai Iwan Setyawan, Alex Komang, Dewi Riawan, Agni Prastitha, Dira Sugandi, Hayria Faturrahman, dan bintang cilik pendatang baru sebagai Iwan kecil, Shafil Hamdi Nawara.

Film ini bercerita tentang perjalanan hidup seseorang anak laki-laki, Iwan Setyawan "Bayek." Anak dari seorang sopir angkot dan ibu yang tidak tamat Sekolah Dasar. Iwan yang kelahiran Malang merupakan anak lelaki satu-satunya di keluarga yang punya cita-cita sederhana: ingin punya kamar sendiri. 

Selain penakut, Bayek adalah anak manja. Sehingga di awal masuk sekolah, ibunya harus rela menunggunya belajar sampai jelang pulang. Menjadi anak laki-laki tunggal di keluarga membuat ayahnya yang sopir angkot menggantungkan harapan pada Bayek. 

Bapaknya pun berharap ia bisa menjadi laki-laki sejati, kuat, dan berani menghadapi segala rintangan kehidupan, karena dia yang akan menjaga ibu dan saudara perempuannya ketika ayahnya sudah tiada. Kenyataannya, Bayek lebih senang membantu ibunya di dapur daripada membantu bapaknya memperbaiki angkot yang digunakannya mencari nafkah.

Meski Bayek dibesarkan oleh keluarga yang serbakurang, ternyata ia cukup gigih dalam mencari ilmu. Saat malam tiba ia memilih untuk menghabiskannya dengan menghafal rumus matematika. Pada suatu malam saat semua tertidur dan ia masih terjaga, tiba-tiba ibunya terbangun karena mendengar Iwan menghafal.

“Kamu ndak takut gelap, Yek? Ndak takut hantu?”
“Iwan ndak takut hantu, Bu. Iwan cuma takut miskin," ujarnya.

Kerja keras Bayek pun berbuah manis. Ia berhasil meraih peringkat pertama di kelas. Kepintarannya masih terbawa hingga ia memasuki Sekolah Menengah Atas. Ia menjadi siswa berprestasi di sekolahnya, terkadang ia menjadi guru pribadi teman-temannya. Ia juga tak luput berbakti di keluarga, terutama kepada Bapaknya—dengan menjadi kondektur di angkotnya. Meski tidak terlalu suka, Bayek tetap menjalaninya dengan semangat.

Kelulusan SMA pun menjelang. Bayek lagi-lagi memetik buah yang pohonnya ditanam dengan kukuh. Ia diterima di IPB (Institut Pertanian Bogor) tanpa ujian. Meski tinggal sejengkal lagi untuk meneruskan, banyak masalah yang datang. Masalah besarnya datang dari sang bapak. "Bogor tidak butuh kamu, tapi rumah ini yang butuh kamu," ujar bapaknya.

Namun lain dengan ibu Bayek yang tetap menginginkannya melanjutkan sekolah hingga pendidikan tinggi.  "Ibu mau anak yang lahir dari rahim ibu harus hidup bahagia, walau pun ibu tidak tamat Sekolah Dasar, tapi kamu harus sukses. Kalau kamu di sini terus kapan kamu sukses,” kata ibunya.

Seiring berjalannya waktu, hati bapaknya pun mulai luluh.  Ia mengikhlaskan Iwan pergi kuliah ke Bogor. Bapaknya juga merelakan angkotnya yang selama ini telah menghidupi mereka dijual untuk biaya hidup Bayek selama di Bogor.

Bayek bergegas mengarungi kehidupannya yang baru di Bogor. Saat tiba di Bogor ia menemui pengalaman baru, dan orang baru. Ia menggantungkan mimpi  yang sangat besar untuk sukses dan membahagiakan keluarganya. Resep saat ia kecil dulu terus dipakainya untuk bisa memperbaiki nasib keluarganya. Kembali, berkat kegigihannya, ia menjadi mahasiswa dengan predikat cumlaude.

Berbekal nilainya yang hampir sempurna, Iwan memberanikan diri merantau ke Jakarta. Dengan cukup mudah ia pun diterima bekerja di salah satu perusahaan di Ibukota. Kerja kerasnya kembali dibuktikan saat ia bisa berhasil bekerja di sebuah perusahaan Multinasional di New York, Amerika Serikat. Dari kota Apple ke The Big Apple.

Sepuluh tahun mengembara di kota modern itu membuat Bayek berhasil mengangkat derajat keluarganya. Namun, gemerlap dan kemewahan New York tak mampu mengobati sebuah kenangan mendalam pada keluarga.

Apa yang telah dicapainya itu adalah karena kegigihan serta cinta keluarga. Berkat itu pula ia tidak silau jabatan di negeri orang. Bayek pun memilih kembali dan menjadi motivator untuk masyarakat di tempat ia berasal, Batu, Jawa Timur.

Film karya Ifa Isfansyah ini begitu menarik untuk ditonton. Layak menjadi inspirasi bagi banyak orang. Pemeran Iwan kecil, Shafil, berlaga cukup piawai. Terbukti, ia mampu memperlihatkan karakter anak laki-laki yang sangat penakut, dan sanggup mengolah perasaan tertekan karena tuntutan bapaknya agar ia menjadi lelaki sejati.

Karakter Ihsan Tarore sebagai Iwan Setyawan (Bayek) dewasa, berperan cukup baik.  Terutama ketika memunculkan karakter penakut dan giat dalam menjalankan sesuatu. Walaupun di awal cerita, ia terlihat sedikit berlebihan saat memerankan lelaki yang lemah.

Film lokal seperti ini sebenarnya menjadi buruan para penikmat film, khususnya keluarga. Selain untuk menikmati unsur sinematografinya, film bergenre motivasi ini juga dapat menelurkan banyak makna dalam kehidupan mereka. Sayang, keberadaan film sejenis ini di Indonesia masih berada di ‘kelas dua,’ terutama bagi para pelaku bisnis dan pengambil kebijakan terkait penyajian film ke khalayak. 

Share this Article on :

0 comments:

Posting Komentar

 
© Copyright KonBlok 2013 - 2014 | Design by KonBlok.