Baru pada 1800-an sepatu mulai diproduksi secara masal untuk kali perdana, dan mulai bermunculan pabrik-pabrik sepatu ternama seperti Nike, Adidas dan sebagainya.
Semakin
berkembang zaman, model sepatu pun kian beragam. Dilengkapi dengan bahan yang warna-warni dan dapat menarik perhatian. Tak hanya merk ternama saja yang dapat mengeluarkan sepatu berkelas
internasional. Kini, nampaknya mereka harus mengencangkan ikat pinggang untuk bersaing
dengan para pelaku industri sepatu rumahan. Produksi sepatunya
dikerjakan langsung oleh pengrajin andal dan dirancang langsung oleh pemilik usaha dengan segala
imajinasi terbaru. Sehingga hasil produksi mereka pun tidak menyerupai sepatu yang berada di
pasaran.
Seperti yang dilakukan Ni Luh Putu Ary, perempuan asli Bali ini
punya kisah menarik dengan sepatu semasa ia kecil. Jika pangeran mencari pasangan sepatu
kaca yang pas dengan kaki Cinderella. Lain dengan Ni luh. Semasa remaja, ibunya
lebih mementingkan pendidikan, sehingga ia harus menggunakan sepatu yang
kebesaran dan hanya diganjal oleh kain. Sejak saat itu Ni luh mulai bermimpi membeli
sepatu yang pas di kakinya.
Setamat SMA, ia bekerja di perusahaan tekstil di Jakarta. Gaji pertama pun segera ia belikan
sepatu impian seharga Rp 15.000. Namun, sepatu yang ia beli tidak
nyaman dipakai. Jemari
kakinya merasakan lecet dan sakit. Tapi pengalamannya itu kemudian malah membuat ia cinta
dengan sepatu. Kecintaannya
akan sepatu, membuat ia terpacu untuk memiliki usaha sendiri dengan merk Nilou.
Untuk membedakannya
dengan yang lain, Ni Luh membuat sepatu dengan tinggi 10-12 cm. Menurutnya, semakin tinggi sepatu itu, akan semakin
nyaman dipakai, meski sudah dipakai seharian.
Usaha perdananya
ini langsung sukses menembus pasar internasional. Tak tanggung-tanggung, sejumlah selebriti Hollywood
pernah menggunakan karya Ni luh, seperti Julia Roberts dan Tara Ried. Saat Nilou sedang dalam menanjak pamornya, datanglah tawaran dari agen Australia dan Perancis, sehingga produksi sepatunya harus diproduksi secara massal dengan iming-iming
sejumlah besar saham. Tawaran menggiurkan ini ternyata malah ditolak Ni Luh karena kecintaannya pada sepatu. Ia tak mau sepatu hasil karyanya diproduksi dengan prinsip kapital.
Namun sayang, penolakan itu berdampak buruk pada usahanya. Ternyata Nilou
telah dipatenkan oleh perusahaan lain tanpa sepengetahuannya. Sehingga,
ia tidak dapat hak apa pun, dan harus gulung tikar.
Tak mau terus
berada dalam kegamangan, Ni luh mencoba bangkit kembali dengan membuka toko baru
bernama Niluh Djelantik. Satu persatu keping kegagalan itu ia satukan. Setahun berjalan, produksi sepatunya kembali melanglang buana ke pelbagai negara Eropa, bahkan label baru itu berhasil
menembus Globus Switzerland pada 2011, yang merupakan salah satu retailer terkemuka Eropa.
Ni Luh telah mengubur dalam-dalam kisah jatuh
bangun usahanya ketika masih berlabel Nilou. Bahkan, keputusannya mendirikan Niluh Djelantik justru membuahkan hasil
manis. Kini, sembilan tahun sudah Ni Luh melanglang buana
di ranah sepatu. Ni Luh terus memupuk cita-cita untuk terus mempromosikan karyanya ke kancah internasional, dengan tetap menjaga eksklusifitas. Bagi Ni Luh, setiap perempuan
yang mengenakan sepatu buatannya adalah selebritis.
0 comments:
Posting Komentar