Cinderella dari Pulau Dewata

2013/05/03

Sepatu merupakan alas kaki yang sering kita gunakan di tiap kesempatan, entah itu di sekolah, kantor, pesta. Kiprah sepatu bermula dari lukisan Mesir Kuno di Thebes, Mesir, sekitar abad ke-15. Dalam lukisan itu digambarkan seorang pengrajin yang duduk di kursi pendek. Ada juga pengrajin yang sibuk bekerja membuat sandal, sedangkan seorang lagi sedang menjahit sepatu. Sandal dibuat dari bahan-bahan seperti kain, daun palem, papirus, kulit, atau bahan serupa yang dianyam

Baru pada 1800-an sepatu mulai diproduksi secara masal untuk kali perdana, dan mulai bermunculan pabrik-pabrik sepatu ternama seperti Nike, Adidas dan sebagainya.

Semakin berkembang zaman, model sepatu pun kian beragam. Dilengkapi dengan bahan yang warna-warni dan dapat menarik perhatian. Tak hanya merk ternama saja yang dapat mengeluarkan sepatu berkelas internasional. Kini, nampaknya mereka harus mengencangkan ikat pinggang untuk bersaing dengan para pelaku industri sepatu rumahan. Produksi sepatunya dikerjakan langsung oleh pengrajin andal dan dirancang langsung oleh pemilik usaha dengan segala imajinasi terbaru. Sehingga hasil produksi mereka pun tidak menyerupai sepatu yang berada di pasaran.

Seperti yang dilakukan Ni Luh Putu Ary, perempuan asli Bali ini punya kisah menarik dengan sepatu semasa ia kecil. Jika pangeran mencari pasangan sepatu kaca yang pas dengan kaki Cinderella. Lain dengan Ni luh. Semasa remaja, ibunya lebih mementingkan pendidikan, sehingga ia harus menggunakan sepatu yang kebesaran dan hanya diganjal oleh kain. Sejak saat itu Ni luh mulai bermimpi membeli sepatu yang pas di kakinya.

Setamat SMA, ia bekerja di perusahaan tekstil di Jakarta. Gaji pertama pun segera ia belikan sepatu impian seharga Rp 15.000. Namun, sepatu yang ia beli tidak nyaman dipakai. Jemari kakinya merasakan lecet dan sakit. Tapi pengalamannya itu kemudian malah membuat ia cinta dengan sepatu. Kecintaannya akan sepatu, membuat ia terpacu untuk memiliki usaha sendiri dengan merk Nilou.

Untuk membedakannya dengan yang lain, Ni Luh membuat sepatu dengan tinggi 10-12 cm. Menurutnya, semakin tinggi sepatu itu, akan semakin nyaman dipakai, meski sudah dipakai seharian.

Usaha perdananya ini langsung sukses menembus pasar internasional. Tak tanggung-tanggung, sejumlah selebriti Hollywood pernah menggunakan karya Ni luh, seperti Julia Roberts dan Tara Ried. Saat Nilou sedang dalam menanjak pamornya, datanglah tawaran dari agen Australia dan Perancis, sehingga produksi sepatunya harus diproduksi secara massal dengan iming-iming sejumlah besar saham. Tawaran menggiurkan ini ternyata malah ditolak Ni Luh karena kecintaannya pada sepatu. Ia tak mau sepatu hasil karyanya diproduksi dengan prinsip kapital.

Namun sayang, penolakan itu berdampak buruk pada usahanya. Ternyata Nilou telah dipatenkan oleh perusahaan lain tanpa sepengetahuannya. Sehingga, ia tidak dapat hak apa pun, dan harus gulung tikar.

Tak mau terus berada dalam kegamangan, Ni luh mencoba bangkit kembali dengan membuka toko baru bernama Niluh Djelantik. Satu persatu keping kegagalan itu ia satukan. Setahun berjalan, produksi sepatunya kembali melanglang buana ke pelbagai negara Eropa, bahkan label baru itu berhasil menembus Globus Switzerland pada 2011, yang merupakan salah satu retailer terkemuka Eropa.

Ni Luh telah mengubur dalam-dalam kisah jatuh bangun usahanya ketika masih berlabel Nilou. Bahkan, keputusannya mendirikan Niluh Djelantik justru membuahkan hasil manis. Kini, sembilan tahun sudah Ni Luh melanglang buana di ranah sepatu. Ni Luh terus memupuk cita-cita untuk terus mempromosikan karyanya ke kancah internasional, dengan tetap menjaga eksklusifitas. Bagi Ni Luh, setiap perempuan yang mengenakan sepatu buatannya adalah selebritis. 

Share this Article on :

0 comments:

Posting Komentar

 
© Copyright KonBlok 2013 - 2014 | Design by KonBlok.