“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil
sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan,” tulis Pramudya Anananta Tur dalam
bukunya, Bumi Manusia.
Tujuh tahun setelah kepergiannya, karya-karya Pram masih terjaga dan hidup.
Banyak orang yang juga masih mendiskusikan karya-karyanya.
Seperti yang dilakukan sekumpulan
mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Acara yang
bertajuk Haul “Tujuh Tahun Kepergian Pramudya Ananta Tur”
digelar pada 30 April 2013 di Hall Gedung Student Center, UIN Syarif
Hidayatullah, Ciputat. Ini adalah acara kali kedua, setelah sebelumnya, 2009, pernah diadakan, tetapi dibubarkan oleh orang yang tidak senang acara tersebut.
Acara kali ini turut hadir beberapa
nama beken, seperti Abdullah Wong (Budayawan), Martin Aleida (Sastrawan), Hamza
Shal (Aktivis Budaya NU), Hilmar Farid (Sejarawan), Ade Faisal (Wartwan Gatra),
A.J Susmana (JAKER), Jibal Windiaz (Komunitas Kretek), dan juga Tetralogiska
band (cucu-cucu dari Pramudya)
Pram Di Mata Mereka
Mereka menjelaskan tentang Pram dari kacamata berbeda.
Martin yang juga sebagai dosen di IKJ mengatakan, “Banyak jejak-jejak sejarah
yang sudah hilang, kebesaran rentetan gerakan kebangsaan, dan perjuangan rakyat, dapat dilihat kembali dalam novel-novel Pram.” Lain pula dengan Hamzah Sahal
yang menyerukan para hadirin memanjatkan doa Al-Fatihah untuk Pram.
Sementara
itu bagi Farid, Pram adalah orangtua yang selalu merasa muda. Jibal ‘kretek’ yang saat itu mengenakan celana
pendek, beserta sandal gunung mengekspresikan Pram lewat puisi berjudul Pram dan Kretek. Rokok kretek
dan pram bagai dua sejoli yang saling mengikat.
Siapa
sangka, Pram yang lahir di
Blora, Februari 1925 lalu itu menjadi buah bibir di dunia kesusastraan Indonesia sampai sekarang. Karya-karyanya syarat akan makna
kehidupan. Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak langkah, Rumah Kaca, ini
adalah kumpulan pemikiran, renungan, sekaligus pengalaman hidupnya.
Di masanya, hampir seluruh hidupnya dicurahkan untuk
sastra. Pram sama
sekali tidak memiliki niat untuk mencari
hidup di dalam sastra. Baginya, menulis itu bukan hanya sekadar mengarang, tetapi juga menunjukkan
kebenaran hidup melalui sastra. Sebab cuma itu senjata sekaligus harta yang
menjadi pedang pula benteng—demi melawan ketidakadilan pemimpin di zamannya.
Sastra benar-benar mewarnai hidup Pram. Ia harus menggadaikan hari-harinya di
dalam jeruji besi sebagai tahanan hanya karena karya sastranya. Pertama kali
ia merasakan dinginnya hotel prodeo, yaitu saat Orde Lama. Memasuki Orde Baru,
ternyata ia juga harus rela diasingkan lagi. Ia didakwa sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Rezim Orde baru sangat antipati
terhadap Pram. Sampai-sampai harus membakar beberapa karya Pram, karena dianggap menyimpang dengan kepentingan politik
penguasa saat itu.
Sastra
Indonesia era Modern
Sudah menjadi rahasia umum,
novel asing lebih laris ketimbang novel lokal. Selain pendapatan
dari hasil penjualan yang laris-manis, mereka juga diuntungkan secara ranah
budaya. Pembaca kita—khususnya pembaca muda, cenderung kaget menerima kedatangan budaya asing, salah satunya melalui novel.
Saat acara berlangsung, Abdullah Wong memaparkan, “Kita kurang
promosi dalam memperkenalkan sastra lokal ketimbang sastra asing yang masuk.
Kurangnya wacana (khazanah), menyeabkan guru-guru sastra belum bisa
mereferensikan sastra di sekolah-sekolah, terutama di SMP dan SMU.”
Permasalahan
ini semakin bertambah pelik, karena penerbit-penerbit
di Indonesia merasa bersemangat untuk
menterjemahkan karya-karya asing. Mereka menganggap
novel asing
sudah lebih dulu popular.
Sehingga ini lebih mudah memunculkan atau menarik animo
pembaca. “Akhirnya, karya-karya klasik kita yang besar
tidak begitu mendapat tempat,”
tandas Wong.
Wong juga
mengatakan, “Sesungguhnya yang ingin di kehendaki dari dunia sastra adalah
menemukan jatidiri bangsa. Karena sastra menjadi bagian penting untuk menemukan
identitas manusia. Terutama Indonesia, yang berangkat dari kelokalannya.”
Sebenarnya orang-orang semacam Sukarno, Hatta, atau Syahrir adalah orang-orang yang terpukau dengan era-era kebarat-baratan ketika itu.
Tapi, belakangan ada alur sastra dilain
tempat yang terpukau lagi dengan khazanah lokal, seperti Sriwijaya, Majapahit, Borobudur
dan lain-lain. Sayang, titik awalnya justru dengan tendensius, tidak dengan primoldialisme.
Perkataan seperti, “Gue orang jawa nih. Orang jawa peradabannya
lebih besar,” atau “Orang
sunda, merasa peradabannya lebih besar.” Hal
itu justru semakin membuat chauvinisme masyarakat lebih meningkat. Sementara itu, karya sastra asing yang ada disini
epistemiknya, masyarakatnya, atau katakanlah kesadaran
lokalitasnya lebih menggigit. Salah satu contohnya, Harry Potter yang lebih terasa akan simbol-simbolnya—yang notabene
berada di ranah lokal negaranya,
Inggris. “Kalau
disini apa adanya, misal santet, teluh, atau pelet. Mestinya ada sastra yang bernilai seperti itu,” gagas Wong.
Novelis
seperti Putu Wijaya dan Seno Gumira pernah membicarakan hal serupa, namun redup
tertindas arus. Artinya para pendidik bangsa, guru-guru SMP, SMU atau bahkan dosen-dosen sastra tidak
memberikan transmisi penjelasan semacam ini secara utuh bahwa karya sastra
mestinya menjadi jembatan emas sekaligus
jalan untuk menemukan atau mengetahui identitas kita, identitas
kelokalan kita.
0 comments:
Posting Komentar