Berlaku Adil Sejak dalam Pikiran

2013/05/02


Seorang  terpelajar harus juga belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan,” tulis Pramudya Anananta Tur dalam bukunya, Bumi Manusia. Tujuh tahun setelah kepergiannya, karya-karya Pram masih terjaga dan hidup. Banyak orang yang juga masih mendiskusikan karya-karyanya.

Seperti yang dilakukan sekumpulan mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Acara yang bertajuk Haul “Tujuh Tahun Kepergian Pramudya Ananta Tur” digelar pada 30 April 2013 di Hall Gedung Student Center, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Ini adalah acara kali kedua, setelah sebelumnya, 2009, pernah diadakan, tetapi dibubarkan oleh orang yang tidak senang acara tersebut.

Acara kali ini turut hadir beberapa nama beken, seperti Abdullah Wong (Budayawan), Martin Aleida (Sastrawan), Hamza Shal (Aktivis Budaya NU), Hilmar Farid (Sejarawan), Ade Faisal (Wartwan Gatra), A.J Susmana (JAKER), Jibal Windiaz (Komunitas Kretek), dan juga Tetralogiska band (cucu-cucu dari Pramudya)

Pram Di Mata Mereka
Mereka menjelaskan tentang Pram dari kacamata berbeda. Martin yang juga sebagai dosen di IKJ mengatakan, “Banyak jejak-jejak sejarah yang sudah hilang, kebesaran  rentetan gerakan kebangsaan, dan perjuangan rakyat, dapat dilihat kembali dalam novel-novel Pram.” Lain pula dengan Hamzah Sahal yang menyerukan para hadirin memanjatkan doa Al-Fatihah untuk Pram.

Sementara itu bagi Farid, Pram adalah orangtua yang selalu merasa muda. Jibal kretek yang saat itu mengenakan celana pendek, beserta sandal gunung mengekspresikan Pram lewat puisi berjudul Pram dan Kretek. Rokok kretek dan pram bagai dua sejoli yang saling mengikat.
Siapa sangka, Pram yang lahir di Blora, Februari 1925 lalu itu menjadi buah bibir di dunia kesusastraan Indonesia sampai sekarang. Karya-karyanya syarat akan makna kehidupan. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak langkah, Rumah Kaca, ini adalah kumpulan pemikiran, renungan, sekaligus pengalaman hidupnya.

Di masanya, hampir seluruh hidupnya dicurahkan untuk sastra. Pram sama sekali tidak memiliki niat untuk mencari hidup di dalam sastra. Baginya, menulis itu bukan hanya sekadar mengarang, tetapi juga menunjukkan kebenaran hidup melalui sastra. Sebab cuma itu senjata sekaligus harta yang menjadi pedang pula benteng—demi melawan ketidakadilan pemimpin di zamannya.

Sastra benar-benar mewarnai hidup Pram. Ia harus menggadaikan hari-harinya di dalam jeruji besi sebagai tahanan hanya karena karya sastranya. Pertama kali ia merasakan dinginnya hotel prodeo, yaitu saat Orde Lama. Memasuki Orde Baru, ternyata ia juga harus rela diasingkan lagi. Ia didakwa sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Rezim Orde baru sangat antipati terhadap Pram. Sampai-sampai harus membakar beberapa karya Pram, karena dianggap menyimpang dengan kepentingan politik penguasa saat itu.

Sastra Indonesia era Modern
Sudah menjadi rahasia umum, novel asing lebih laris ketimbang novel lokal. Selain pendapatan dari hasil penjualan yang laris-manis, mereka juga diuntungkan secara ranah budaya. Pembaca kita—khususnya pembaca muda, cenderung kaget menerima kedatangan budaya asing, salah satunya melalui novel.

Saat acara berlangsung, Abdullah Wong memaparkan, “Kita kurang promosi dalam memperkenalkan sastra lokal ketimbang sastra asing yang masuk. Kurangnya wacana (khazanah), menyeabkan guru-guru sastra belum bisa mereferensikan sastra di sekolah-sekolah, terutama di SMP dan SMU.

Permasalahan ini semakin bertambah pelik, karena penerbit-penerbit di Indonesia merasa bersemangat untuk menterjemahkan karya-karya asing. Mereka menganggap novel asing sudah lebih dulu popular. Sehingga ini lebih mudah memunculkan atau menarik animo pembaca. “Akhirnya, karya-karya klasik kita yang besar tidak begitu mendapat tempat,tandas Wong.
Wong juga mengatakan, “Sesungguhnya yang ingin di kehendaki dari dunia sastra adalah menemukan jatidiri bangsa. Karena sastra menjadi bagian penting untuk menemukan identitas manusia. Terutama Indonesia, yang berangkat dari kelokalannya.”

Sebenarnya orang-orang semacam Sukarno, Hatta, atau Syahrir adalah orang-orang yang terpukau dengan era-era kebarat-baratan ketika itu. Tapi, belakangan ada alur sastra dilain tempat yang terpukau lagi dengan khazanah lokal, seperti Sriwijaya, Majapahit, Borobudur dan lain-lain. Sayang, titik awalnya justru dengan tendensius, tidak dengan primoldialisme.

Perkataan seperti, Gue orang jawa nih. Orang jawa peradabannya lebih besar, atau “Orang sunda, merasa peradabannya lebih besar.” Hal itu justru semakin membuat chauvinisme masyarakat lebih meningkat. Sementara itu, karya sastra asing yang ada disini epistemiknya, masyarakatnya, atau katakanlah kesadaran lokalitasnya lebih menggigit. Salah satu contohnya, Harry Potter yang lebih terasa akan simbol-simbolnyayang  notabene berada di ranah lokal negaranya, Inggris. Kalau disini apa adanya, misal santet, teluh, atau pelet. Mestinya ada sastra yang bernilai seperti itu,” gagas Wong.

Novelis seperti Putu Wijaya dan Seno Gumira pernah membicarakan hal serupa, namun redup tertindas arus. Artinya para pendidik bangsa, guru-guru SMP, SMU atau bahkan dosen-dosen sastra tidak memberikan transmisi penjelasan semacam ini secara utuh bahwa karya sastra mestinya menjadi jembatan emas sekaligus jalan untuk menemukan atau mengetahui identitas kita, identitas kelokalan kita. 
Share this Article on :

0 comments:

Posting Komentar

 
© Copyright KonBlok 2013 - 2014 | Design by KonBlok.