![]() |
Rustriningsih (Kanan), Wakil Gubernur Jawa Tengah membantu Rr Hartati (Kiri) menyelesaikan sebuah jahitan |
Raden Saleh Syarif Bustaman. Pelukis
legendaris Indonesia yang sohor di mancanegara, berhasil ditemukan jejak
genetiknya oleh Squadpost di Semarang. Meski bukan dari garis keturunan
langsung, tapi dari Raden Roro Hartati (61), kami berhasil menggali kebijaksanaan
masa lalu yang ditanam oleh orangtuanya, yang kini seolah menjadi barang mahal
dalam laku keseharian kita di Indonesia. Berikut ini adalah hasil obrolan
ringan kami dengan beliau.
“Assalamu’alaikum.
Budhe Suko, saya mau minta tolong ngecilin celana panjangnya Abid nih. Baru beli
kok ternyata kebesaran," kata Rokhanah, warga kampung Kepatihan,
Semarang, kepada seorang tetangganya di kampung itu.
"Zaman sekarang ukuran celana jadi aneh. Hanya berdasar umur saja. Ya nanti segera saya garap, Jeng. Agak sore ya ngambilnya," jawab perempuan 61 tahun itu yang juga akrab disapa Bu Suko.
Ia kemudian kembali menemui tamunya, seorang perempuan yang sengaja datang bertandang. Bu Suko atau Rr Hartati, adalah satu-satunya ahli waris keluarga Raden Saleh Syarif Bustaman yang masih tinggal di Semarang.
Sedangkan perempuan yang bertamu adalah Rustriningsih, Wakil Gubernur Jawa Tengah, yang baru saja gagal mengikuti kontestasi pemilihan gubernur akibat oligarkhi partai.
Dua perempuan beda usia itu bercerita panjang lebar mengenai hidup masing-masing. Tak ada formalitas apalagi seremonial dalam perjamuan yang hanya menyediakan teh hangat dalam cangkir kecil itu.
"Kalau silsilah saya dengan Raden Saleh Syarif Bustaman itu, simpulnya ada di Eyang saya, RM Ngabehi Kertabasa Bustam. Jadi kalau dirunut, memang agak jauh, tapi kami satu garis darah dari Eyang Bustam," kata Hartati.
Untuk meyakinkan tamunya, Hartatik beberapa kali keluar-masuk mengambil gulungan kertas kuno yang warnanya sudah menguning dimakan usia. Gulungan berukuran besar, setara A4 itu adalah sambungan dari lembaran-lembaran kecil yang direkatkan dengan lem.
Ketika dibuka, ternyata berupa pohon silsilah. Jauh sebelum RM Ng Kertabasa Bustam yang menjadi puncak pohon silsilah itu. Dari pohon silsilah itu terlihat bahwa RM Ng Kertabasa Bustam memiliki sembilan anak yang mayoritas menjadi bupati di beberapa daerah di Jawa Tengah.
Salah satu anak yang tidak menjadi bupati adalah Raden Syarif Husain yang memperistri Syarifah Husain. Dari Raden Syarif Husain inilah lahir sosok Raden Saleh Syarif Bustaman (1811-1880), sosok pelukis yang namanya sejajar dengan Van Gogh dan Rembrand di Eropa. Raden Saleh adalah generasi keempat dari RM Ngabehi Kertabasa Bustam.
Adik kandung Raden Syarif Husein yang bernama RM Ngabehi Surodirjo yang akhirnya menurunkan keluarga Rr Hartati. Pertalian darah Rr Hartati dengan Raden Saleh Syarif Bustaman, berhulu dari kakek moyang yang sama, RM Ngabehi Kertabasa Bustam.
“Sejak kecil saya sudah tahu kalau Raden Saleh Syarif Bustaman itu masih terhitung kakek saya. Saya juga diceritakan kalau Eyang Raden Saleh itu dua kali berkunjung ke Eropa, dan sempat mendapat istri orang Belanda juga, namun tidak memiliki keturunan. Malah keponakannya yang mendapat suami orang Belanda yang memiliki keturunan. Salah satu keturunannya adalah Dr Dr Georg Hans Hundeshagen yang sempat mengirimi surat dan menanyakan apakah benar saya adalah keturunan dari RM Ngabehi Kertabasa Bustam?” sambung Rr Hartati.
Menurut sejarahwan Semarang, Djawahir Muhammad, Raden Saleh dua kali berkunjung ke Eropa dan mengajak serta istri dan keponakannya. Karena tak memiliki keturunan, ia mengizinkan keponakannya itu menikah dengan seorang Belanda. Dari pernikahan keponakannya itu, kemudian sampailah kepada garis Hans Hundeshagen tersebut.
“Raden Saleh sendiri tak memiliki keturunan. Hans ini merupakan keturunan dari keponakan Raden Saleh. Hans mencari Bu Hartati karena beliau adalah keturunan RM Ngabehi Kertabasa Bustam yang berada di Semarang,” timpal Jawahir.
Hartati sendiri adalah anak tunggal Raden Moch Ahmad. Ia menjadi satu-satunya ahli waris yang ada di Semarang—meski bukan satu-satunya orang yang masih hidup dan memiliki pertalian darah dengan Raden Saleh.
"Zaman sekarang ukuran celana jadi aneh. Hanya berdasar umur saja. Ya nanti segera saya garap, Jeng. Agak sore ya ngambilnya," jawab perempuan 61 tahun itu yang juga akrab disapa Bu Suko.
Ia kemudian kembali menemui tamunya, seorang perempuan yang sengaja datang bertandang. Bu Suko atau Rr Hartati, adalah satu-satunya ahli waris keluarga Raden Saleh Syarif Bustaman yang masih tinggal di Semarang.
Sedangkan perempuan yang bertamu adalah Rustriningsih, Wakil Gubernur Jawa Tengah, yang baru saja gagal mengikuti kontestasi pemilihan gubernur akibat oligarkhi partai.
Dua perempuan beda usia itu bercerita panjang lebar mengenai hidup masing-masing. Tak ada formalitas apalagi seremonial dalam perjamuan yang hanya menyediakan teh hangat dalam cangkir kecil itu.
"Kalau silsilah saya dengan Raden Saleh Syarif Bustaman itu, simpulnya ada di Eyang saya, RM Ngabehi Kertabasa Bustam. Jadi kalau dirunut, memang agak jauh, tapi kami satu garis darah dari Eyang Bustam," kata Hartati.
Untuk meyakinkan tamunya, Hartatik beberapa kali keluar-masuk mengambil gulungan kertas kuno yang warnanya sudah menguning dimakan usia. Gulungan berukuran besar, setara A4 itu adalah sambungan dari lembaran-lembaran kecil yang direkatkan dengan lem.
Ketika dibuka, ternyata berupa pohon silsilah. Jauh sebelum RM Ng Kertabasa Bustam yang menjadi puncak pohon silsilah itu. Dari pohon silsilah itu terlihat bahwa RM Ng Kertabasa Bustam memiliki sembilan anak yang mayoritas menjadi bupati di beberapa daerah di Jawa Tengah.
Salah satu anak yang tidak menjadi bupati adalah Raden Syarif Husain yang memperistri Syarifah Husain. Dari Raden Syarif Husain inilah lahir sosok Raden Saleh Syarif Bustaman (1811-1880), sosok pelukis yang namanya sejajar dengan Van Gogh dan Rembrand di Eropa. Raden Saleh adalah generasi keempat dari RM Ngabehi Kertabasa Bustam.
Adik kandung Raden Syarif Husein yang bernama RM Ngabehi Surodirjo yang akhirnya menurunkan keluarga Rr Hartati. Pertalian darah Rr Hartati dengan Raden Saleh Syarif Bustaman, berhulu dari kakek moyang yang sama, RM Ngabehi Kertabasa Bustam.
“Sejak kecil saya sudah tahu kalau Raden Saleh Syarif Bustaman itu masih terhitung kakek saya. Saya juga diceritakan kalau Eyang Raden Saleh itu dua kali berkunjung ke Eropa, dan sempat mendapat istri orang Belanda juga, namun tidak memiliki keturunan. Malah keponakannya yang mendapat suami orang Belanda yang memiliki keturunan. Salah satu keturunannya adalah Dr Dr Georg Hans Hundeshagen yang sempat mengirimi surat dan menanyakan apakah benar saya adalah keturunan dari RM Ngabehi Kertabasa Bustam?” sambung Rr Hartati.
Menurut sejarahwan Semarang, Djawahir Muhammad, Raden Saleh dua kali berkunjung ke Eropa dan mengajak serta istri dan keponakannya. Karena tak memiliki keturunan, ia mengizinkan keponakannya itu menikah dengan seorang Belanda. Dari pernikahan keponakannya itu, kemudian sampailah kepada garis Hans Hundeshagen tersebut.
“Raden Saleh sendiri tak memiliki keturunan. Hans ini merupakan keturunan dari keponakan Raden Saleh. Hans mencari Bu Hartati karena beliau adalah keturunan RM Ngabehi Kertabasa Bustam yang berada di Semarang,” timpal Jawahir.
Hartati sendiri adalah anak tunggal Raden Moch Ahmad. Ia menjadi satu-satunya ahli waris yang ada di Semarang—meski bukan satu-satunya orang yang masih hidup dan memiliki pertalian darah dengan Raden Saleh.
“Saya ini anak tunggal dan tidak memiliki keturunan. Karena Raden
Saleh dilahirkan di Semarang, wajar kalau keturunan jauhnya seperti Hans ini
kemudian mencari keturunan Mbah Bustam yang ada di Semarang,” lanjut Hartati.
Tidak Ada Darah Biru
Meskipun masih memiliki talian darah dan gen dengan Raden Saleh, sejak kecil Hartati diajarkan hidup sederhana oleh ayahnya, yang memperlakukan Hartati seperti orang kebanyakan.
"Ayah saya pernah bilang, secara kasat mata darah biru itu tidak ada. Raden itu juga tidak ada. Raden atau pun bukan, jika tak kreatif, tak bekerja, sama saja tak bisa makan," kenang Hartati.
Itulah sebabnya, sejak kecil Hartati sudah membekali diri dengan keterampilan menjahit. Keterampilan itu pula yang sempat ia tularkan kepada anak-anak yang ingin belajar menjahit.
"Saya sempat membuka kursus menjahit. Biayanya seikhlasnya, bahkan ada pula yang tak mampu membayar. Tapi itu dulu saat saya masih muda," katanya.
Hal yang tak pernah berubah dari putaran zaman adalah perubahan itu sendiri. Seiring tumbuhnya industri garmen di Indonesia, maka omzetnya sebagai penjahit terus turun dan turun terus. Hartati pun membelokkan keterampilannya dengan menerima vermak pakaian saja.
Berbekal sebuah mesin jahit merk President buatan 1960 peninggalan suaminya, ia tetap merasa nyaman dengan pergaulan bersama tetangganya sebagai penjahit. Meskipun pendapatannya sangat minim, Rp 2000 - Rp 5000 sekali vermak. Itu pun belum tentu seminggu sekali mendapat order.
Dicurangi Staff Pemkot Semarang
Obrolan dengan Rustriningsih berlanjut, sambil sesekali mereka menyeruput teh dari cangkir berbeda model yang kini tak lagi hangat. Hartati sempat mendengar bahwa Raden Saleh Syarif Bustaman sempat mendapatkan penghargaan dan diakui sebagai salah satu pejuang nasional lewat karya seni. Penghargaan itu diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 lalu.
"Tapi sampai sekarang tak ada satu pun orang pemerintahan yang datang ke sini sekadar melihat apakah benar saya memiliki pertalian darah dengan Raden Saleh," kata Hartati.
“Luarbiasa sekali. Padahal Bu Tatik ini adalah orang yang memiliki pertalian darah dengan pahlawan nasional kita, Raden Saleh. Meski hidupnya serba sederhana, namun beliau tetap mandiri, produktif, dan tak pernah mengeluh,” puji Rustriningsih.
Berdasarkan penelusuran Squadpost, penghargaan tersebut diserahkan Presiden SBY kepada wakil dari Pemerintah Kota Semarang. Saat itu yang berangkat ke Jakarta adalah Kasturi, seorang staff Dinas Pariwisata Pemerintah Kota Semarang.
Sesampai di Semarang, penghargaan itu diserahkan seluruhnya kepada Walikota Semarang, Soemarmo. Hartati tidak tahu, penghargaan itu berupa apa saja, karena berdasar informasi yang ia dengar, bukan hanya sekadar piagam. Mengetahui bahwa Soemarmo menyimpan penghargaan itu, Djawahir Muhammad yang juga budayawan Semarang, mencoba menyampaikan bahwa ada yang lebih berhak menyimpannya, yakni ahli warisnya. Namun Walikota bersikukuh tidak mau menyerahkan hingga ia ditangkap KPK karena korupsi, pada 2012 lalu.
"Saya akan coba menelusuri infomasi itu. Bu Tatik yang sabar saja. Seperti pesan almarhum Eyang Achmad, bahwa kita harus mandiri, kreatif, dan penuh ide," hibur Rustriningsih.
Selesai ngobrol, Rustriningsih menyempatkan diri membantu Hartati mengerjakan vermak celana untuk Abid. Baru kemudian ia minta izin pulang. Rustriningsih mengaku akan belajar banyak tentang kemandirian dan sikap menjaga harga diri dari keluarga pahlawan itu.
"Bu Hartati ini mengajarkan kepada kita tentang kesetaraan. Semua harus didasari cinta. Setidaknya sebagai ahli waris Raden Saleh, beliau tidak menyalahkan staff pemkot, karena bagi beliau, dengan cinta semua bisa berdiri sejajar dan memandang ke arah yang sama," imbuh Rustri.
Tidak Ada Darah Biru
Meskipun masih memiliki talian darah dan gen dengan Raden Saleh, sejak kecil Hartati diajarkan hidup sederhana oleh ayahnya, yang memperlakukan Hartati seperti orang kebanyakan.
"Ayah saya pernah bilang, secara kasat mata darah biru itu tidak ada. Raden itu juga tidak ada. Raden atau pun bukan, jika tak kreatif, tak bekerja, sama saja tak bisa makan," kenang Hartati.
Itulah sebabnya, sejak kecil Hartati sudah membekali diri dengan keterampilan menjahit. Keterampilan itu pula yang sempat ia tularkan kepada anak-anak yang ingin belajar menjahit.
"Saya sempat membuka kursus menjahit. Biayanya seikhlasnya, bahkan ada pula yang tak mampu membayar. Tapi itu dulu saat saya masih muda," katanya.
Hal yang tak pernah berubah dari putaran zaman adalah perubahan itu sendiri. Seiring tumbuhnya industri garmen di Indonesia, maka omzetnya sebagai penjahit terus turun dan turun terus. Hartati pun membelokkan keterampilannya dengan menerima vermak pakaian saja.
Berbekal sebuah mesin jahit merk President buatan 1960 peninggalan suaminya, ia tetap merasa nyaman dengan pergaulan bersama tetangganya sebagai penjahit. Meskipun pendapatannya sangat minim, Rp 2000 - Rp 5000 sekali vermak. Itu pun belum tentu seminggu sekali mendapat order.
Dicurangi Staff Pemkot Semarang
Obrolan dengan Rustriningsih berlanjut, sambil sesekali mereka menyeruput teh dari cangkir berbeda model yang kini tak lagi hangat. Hartati sempat mendengar bahwa Raden Saleh Syarif Bustaman sempat mendapatkan penghargaan dan diakui sebagai salah satu pejuang nasional lewat karya seni. Penghargaan itu diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 lalu.
"Tapi sampai sekarang tak ada satu pun orang pemerintahan yang datang ke sini sekadar melihat apakah benar saya memiliki pertalian darah dengan Raden Saleh," kata Hartati.
“Luarbiasa sekali. Padahal Bu Tatik ini adalah orang yang memiliki pertalian darah dengan pahlawan nasional kita, Raden Saleh. Meski hidupnya serba sederhana, namun beliau tetap mandiri, produktif, dan tak pernah mengeluh,” puji Rustriningsih.
Berdasarkan penelusuran Squadpost, penghargaan tersebut diserahkan Presiden SBY kepada wakil dari Pemerintah Kota Semarang. Saat itu yang berangkat ke Jakarta adalah Kasturi, seorang staff Dinas Pariwisata Pemerintah Kota Semarang.
Sesampai di Semarang, penghargaan itu diserahkan seluruhnya kepada Walikota Semarang, Soemarmo. Hartati tidak tahu, penghargaan itu berupa apa saja, karena berdasar informasi yang ia dengar, bukan hanya sekadar piagam. Mengetahui bahwa Soemarmo menyimpan penghargaan itu, Djawahir Muhammad yang juga budayawan Semarang, mencoba menyampaikan bahwa ada yang lebih berhak menyimpannya, yakni ahli warisnya. Namun Walikota bersikukuh tidak mau menyerahkan hingga ia ditangkap KPK karena korupsi, pada 2012 lalu.
"Saya akan coba menelusuri infomasi itu. Bu Tatik yang sabar saja. Seperti pesan almarhum Eyang Achmad, bahwa kita harus mandiri, kreatif, dan penuh ide," hibur Rustriningsih.
Selesai ngobrol, Rustriningsih menyempatkan diri membantu Hartati mengerjakan vermak celana untuk Abid. Baru kemudian ia minta izin pulang. Rustriningsih mengaku akan belajar banyak tentang kemandirian dan sikap menjaga harga diri dari keluarga pahlawan itu.
"Bu Hartati ini mengajarkan kepada kita tentang kesetaraan. Semua harus didasari cinta. Setidaknya sebagai ahli waris Raden Saleh, beliau tidak menyalahkan staff pemkot, karena bagi beliau, dengan cinta semua bisa berdiri sejajar dan memandang ke arah yang sama," imbuh Rustri.
0 comments:
Posting Komentar