Seorang
laki-laki tengah melihat lampu merah yang berhitung mundur. Berjalan kaki
menyusuri trotoar dengan dinding yang penuh gambar mural. Panas dan asap
kendaraan seakan memberi beban pada setiap langkah yang diambilnya. Wajah yang
terlihat menyesal, kelelahan dan sedikit senyum menggantung itu adalah milik
seorang mahasiswa semester empat di sebuah universitas ternama di Yogyakarta,
Indonesia.
“Dulu saya melihatnya
sebagai dunia yang sangat menarik. Penuh dengan kesempatan, pengetahuan dan
segala hal yang mengajak untuk berpikir keras. Namun sekarang, buat saya UGM tak
lebih dari ruang kelas, kantin, ruang tamu, ataupun orang-orang yang
mondar-mandir. Tak lebih dari sebuah gedung di salah satu sudut perempatan
di Yogyakarta,” ucapnya ketika sedang berbincang sejenak di sebuah
warung makan.
Laki-laki tersebut
merupakan salah seorang mahasiswa dari Universitas Gajah Mada. Universitas
pertama di Indonesia yang didirikan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada 19
Desember 1949. UGM Merupakan hasil dari penggabungan beberapa sekolah
tinggi di Indonesia pada masa setelah kemerdekaan.
“Saya beruntung bisa masuk
UGM. Universitas nomor satu di Indonesia ini, kelihatan besar dari luar, tapi
ternyata UGM itu tidak seperti apa yang dilihat orang. UGM itu sederhana.
Sebab, kebanyakan mahasiswanya ya seperti saya, dari keluarga kurang
mampu,” tandasnya.
Mahasiswa
Universitas Gajah Mada memang kebanyakan berasal dari daerah-daerah
berkembang di Indonesia. Hanya segelintir yang berasal dari
daerah maju seperti Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya
ataupun kota besar lainnya di Indonesia. Di samping itu, biaya kuliah
di UGM terbilang cukup murah dibanding universitas sepadan lainnya di
Indonesia, seperti UI dan ITB.
Sembari
menikmati minuman es teh di bawah teriknya Yogyakarta,
mahasiswa tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap universitas itu sama.
Tak ada yang lebih baik atau pun tak ada yang lebih buruk. Perbedaan
mencolok setiap universitas hanyalah fasilitas yang dimiliki,
kualitas dosen dan sistem pendidikannya. Selebihnya, semua kembali ke
mahasiswa yang kuliah di universitas tersebut. Sebaik apapun universitas,
jika mahasiswanya tidak dapat memaksimalkan setiap potensi yang ada, maka ia
tak akan berbeda dengan mahasiswa dari universitas yang biasa-biasa saja,
begitu pula sebaliknya.
“Jika suatu
universitas memiliki predikat sangat baik namun para mahasiswa di dalamnya
tidak serius, baik dan benar dalam kuliah, ya hanya akan menghasilkan
orang-orang seperti yang kita kenal di gedung perwakilan sana,”
tambahnya.
2 comments:
Memang, masa kuliah tak menjadi indah lagi seperti ekspetasi masa sma
...itu persis seperti ketika kita tahu betapa masa depan itu gelap. ternyata setelah sampai, semua nampak biasa saja
Posting Komentar