Belajar Mendidik Manusia dari Finlandia

2013/05/04


Lima tahun belakangan ini, Ujian Nasional (UN) sering dianggap sebagai momok menakutkan bagi sebagian pelajar yang duduk di semester akhir—baik kelas IX Sekolah Menengah Pertama, maupun kelas XII Sekolah Menengah Atas. Tentu hal ini menimbulkan kekisruhan antara pelajar dan Pemerintah. Karena kedua belah pihak memiliki opini dan persepsi masing-masing.


Pemerintah menganggap UN diperuntukkan meningkatkan mutu pendidikan antardaerah melalui Pusat Penilaian Pendidikan. Standar kelulusan yang berkisar 5,5 sering ditanggapi sebagai sesuatu yang sulit, sehingga menimbulkan rasa takut terhadap mental anak didik. Akibatnya, keinginan untuk mendapatkan nilai bagus pun menjadi patokan utama. Berbagai cara ditempuh. Sedari belajar tekun, sampai mencari jalan pintas seperti contekan.


Lima dari tujuh mahasiswa yang diwawancarai Squadpost, menyatakan bahwa UN tidaklah begitu penting. Mereka menganggap sistem pembelajaran yang masih kacau balau seperti saat ini dirasa tidak adil bagi pelajar. Alasannya, sekolah selama tiga tahun hanya dinilai dari selembar ijazah dan dalam waktu empat hari.


“Menurut gue, seharusnya sistematika penilaiannya kayak di perkuliahan yang setiap semester nilainya diakumulasi dan ditambah nilai praktikum, supaya enggak sia-sia dong belajar tiga tahun,” ungkap Nurul, mahasiswi semester dua Universitas  Jenderal Soedirman, Purwokerto.


Berbeda dengan Nurul, dua mahasiswi lain berpendapat bahwa UN itu penting. “Menurut gue sih penting, tapi cara masyarakat terutama siswa itu sendiri terlalu berlebihan menanggapinya. Akhirnya tujuan dari UN itu malah terbengkalai. “ Ujar Annisa, mahasiswi semester dua Universitas Gunadarma.

Selain itu, mahasiswi semester dua Universitas Padjajaran, Alita, menambahkan “Menurut gue UN penting. ‘Kan, buat nentuin kelulusan.”


Perdebatan tentang UN masih menggelayut di benak Pemerintah dan banyak orang di Indonesia. Sistem yang dianggap tepat justru memberatkan pelajar. Belum lagi bimbingan belajar di luar sekolah maupun di dalam sekolah. Ini semakin memperburuk mental anak didik. Belum lagi beban baru mereka untuk lolos dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) yang harus mempelajari seluruh pelajaran jurusan mereka di SMA.


Alhasil, pendidikan yang mereka tempuh selama tiga tahun di SMP atau SMA sekadar mencari ijazah. Padahal di dunia kerja, tidak semua perusahaan melihat nilai UN sebagai patokan. Ilmu yang dipelajari seharusnya bisa memberikan hasil ketika mereka lulus. Sehingga, tidak harus mencari jalan pintas seperti bocoran jawaban. Harapan baru agar UN dihapuskan atau mengubah sistem pendidikan negara ini semakin diperkuat dengan berbagai masalah yang terjadi kala UN berlangsung.


Patutnya kita perlu mencontoh Jepang yang tidak menilai siswa melalui angka. Orientasi para pendidik tentang nilai, diubah menjadi usaha apa yang sudah dilakukan anak didiknya untuk mendapatkan nilai terbaik. Dalam banyak hal, sistem pendidikan Jepang, juga Amerika, merujuk ke sistem pendidikan gaya Finlandia. Menyandang negara dengan pendidikan termaju di dunia, negara asal produsen telepon genggam keoshor sejagat itutidak mengenal UN dalam pendidikannya. Pemerintah Finlandia menetapkan nilai yang ditentukan lewat evaluasi personal guru. Pastinya tidak berbentuk angka dan peringkat juara. Asumsi dasarnya, setiap manusia memiliki keunikan masing-masing.


Sebagai negara multikultur, Indonesia tentu bukan hanya memiliki individu yang beragam, tapi juga masyarakat dan kulturnya. Berkaitan dengan pendidikan, keberagaman ini dapat terwujud jika Pemerintah dapat menghargai setiap perbedaan. Mendidik bukan berarti harus menggurui, tapi belajar bersama. Terlebih mendidik manusia, mahluk yang memiliki ciri khas masing-masing.  

Share this Article on :

1 comments:

Anonim mengatakan...

wah, semoga sistem pendidikan di Indonesia semakin membaik.

Posting Komentar

 
© Copyright KonBlok 2013 - 2014 | Design by KonBlok.