Lima
tahun belakangan ini, Ujian Nasional (UN) sering dianggap sebagai momok
menakutkan bagi sebagian pelajar yang duduk di semester akhir—baik kelas IX Sekolah
Menengah Pertama, maupun kelas XII Sekolah Menengah Atas.
Tentu hal ini menimbulkan kekisruhan antara pelajar dan Pemerintah. Karena kedua
belah pihak memiliki opini dan persepsi masing-masing.
Pemerintah menganggap UN
diperuntukkan meningkatkan mutu pendidikan antardaerah melalui Pusat Penilaian
Pendidikan. Standar kelulusan yang berkisar 5,5 sering ditanggapi
sebagai sesuatu yang sulit, sehingga menimbulkan rasa takut terhadap mental
anak didik. Akibatnya, keinginan untuk mendapatkan nilai bagus pun menjadi
patokan utama. Berbagai cara ditempuh. Sedari belajar tekun, sampai mencari
jalan pintas seperti contekan.
Lima dari tujuh mahasiswa yang
diwawancarai Squadpost, menyatakan bahwa UN tidaklah begitu penting. Mereka
menganggap sistem pembelajaran yang masih kacau balau seperti saat ini
dirasa tidak adil bagi pelajar. Alasannya, sekolah selama tiga tahun hanya
dinilai dari selembar ijazah dan dalam waktu empat hari.
“Menurut gue,
seharusnya sistematika penilaiannya kayak di perkuliahan yang
setiap semester nilainya diakumulasi dan ditambah nilai praktikum, supaya
enggak sia-sia dong belajar tiga tahun,” ungkap
Nurul, mahasiswi semester dua Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Berbeda dengan Nurul, dua
mahasiswi lain berpendapat bahwa UN itu penting. “Menurut gue sih
penting, tapi cara masyarakat terutama siswa itu sendiri terlalu berlebihan
menanggapinya. Akhirnya tujuan dari UN itu malah terbengkalai. “ Ujar Annisa,
mahasiswi semester dua Universitas Gunadarma.
Selain itu, mahasiswi
semester dua Universitas Padjajaran, Alita, menambahkan “Menurut gue UN penting. ‘Kan, buat nentuin kelulusan.”
Perdebatan tentang UN
masih menggelayut di benak Pemerintah dan banyak orang di Indonesia.
Sistem yang dianggap tepat justru memberatkan pelajar. Belum lagi bimbingan
belajar di luar sekolah maupun di dalam sekolah. Ini semakin memperburuk
mental anak didik. Belum lagi beban baru mereka untuk lolos
dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) yang harus mempelajari
seluruh pelajaran jurusan mereka di SMA.
Alhasil, pendidikan yang
mereka tempuh selama tiga tahun di SMP atau SMA sekadar mencari ijazah. Padahal
di dunia kerja, tidak semua perusahaan melihat nilai UN sebagai
patokan. Ilmu yang dipelajari seharusnya bisa memberikan hasil ketika mereka
lulus. Sehingga, tidak harus mencari jalan pintas seperti bocoran
jawaban. Harapan baru agar UN dihapuskan atau mengubah sistem pendidikan negara
ini semakin diperkuat dengan berbagai masalah yang terjadi kala UN berlangsung.
Patutnya kita perlu
mencontoh Jepang yang tidak menilai siswa melalui angka. Orientasi para
pendidik tentang nilai, diubah menjadi usaha apa yang sudah dilakukan anak
didiknya untuk mendapatkan nilai terbaik. Dalam banyak hal, sistem
pendidikan Jepang, juga Amerika, merujuk ke sistem pendidikan gaya Finlandia.
Menyandang negara dengan pendidikan termaju di dunia, negara asal produsen
telepon genggam keoshor sejagat itu, tidak mengenal UN dalam
pendidikannya. Pemerintah Finlandia menetapkan nilai yang ditentukan lewat
evaluasi personal guru. Pastinya tidak berbentuk angka dan peringkat juara.
Asumsi dasarnya, setiap manusia memiliki keunikan masing-masing.
Sebagai negara multikultur,
Indonesia tentu bukan hanya memiliki individu yang beragam, tapi juga
masyarakat dan kulturnya. Berkaitan dengan pendidikan, keberagaman ini dapat
terwujud jika Pemerintah dapat menghargai setiap perbedaan. Mendidik bukan
berarti harus menggurui, tapi belajar bersama. Terlebih mendidik manusia,
mahluk yang memiliki ciri khas masing-masing.
1 comments:
wah, semoga sistem pendidikan di Indonesia semakin membaik.
Posting Komentar