
Tahun 2013 seolah menjadi titik balik bagi klub Jerman. Di tanah Bavaria mereka berubah menjadi macan lapar. Tak tanggung-tanggung, Barcelona dilumat habis 4-0 oleh Bayern
pada Rabu 24/4/13. Petaka juga menimpa si ‘raja Champions,’ Los Galacticos—yang harus pulang dengan kepala tertunduk karena hanya bisa mengantongi satu gol.
Tiki-taka Barcelona hingga serangan kilat a la Real Madrid jelas tak lagi ampuh di Jerman. Di hadapan para raksasa Bavaria itu, Barca dan Madrid dipaksa bermain dengan tekanan tinggi. Hampir setiap pergerakan pemain mereka mampu diredam oleh armada Bayern dan Dortmund. Lantas, apa yang membuat skema bermain tim Spanyol rusak?
Antitesis Tiki-Taka
Tugas berat Muenchen dan Dortmund ialah menghapus mitos jago kandang yang kadung hinggap di kubu mereka. Nyaris tak ada klub Spanyol yang sanggup unjuk gigi bila mereka melawat ke Jerman ketika berhadapan dengan tim mana pun di kancah Bundesliga. Madrid sekali pun, pernah dipaksa bermain imbang 2-2 oleh Dortmund di sesi penyisihan Liga Champions. Padahal saat itu, Madrid bertugas selaku tuan rumah. Tapi itu catatan lain. Hal menarik yang bisa dicermati adalah, hancurnya taktik bermain klub Spanyol—yang digadang-gadang sebagai acuan banyak klub dunia sebagai tim kelas wahid.
Sejarah kebangkitan tim Spanyol dimulai sedari era Frank Rijkaard menukangi Barcelona pada 2003-2008. Tahun pertamanya di Barca, ia sudah menyumbang gelar Champions. Meski akhirnya didepak dari kursi manajer. Kepemimpinan Rijkaard itu dilanjutkan oleh Pep Guardiola. Di tangannya, Barca kian tak terbendung. Hanya dalam kurun waktu empat tahun, belasan gelar yang terdiri dari domestik dan internasional, mereka pindahkan ke lemari kaca kebanggaannya.
Tiki-Taka seolah menjadi momok bagi klub mana pun yang berhadapan dengan Barca. Bahkan tak sedikit pelatih yang dibuat pusing oleh gaya bermain anak-anak Catalan ini. Mou dan Fergie (MU) pun, sempat dibuat kalang kabut kala tim mereka dipapas Barcelona di Liga Champions. Tapi Mou agak sedikit beruntung dari Fergie. Bersama Inter Milan, Mou berhasil mengganggu konsentrasi Barca merebut gelar Champions pada 2010 silam. Meski menggunakan taktik bertahan dengan sistem grendel dan menuai banyak kritik dari para praktisi sepak bola, Mou telah menunjukkan kualitasnya sebagai The Special One. Klub mana pun yang ia asuh, pasti beroleh gelar di tingkat kompetisi mana pun.
Belajar dari Mou yang berhasil meredam Barca, mulai bermunculanlah beberapa klub yang sanggup mengimbangi gaya bermain tiki-taka itu. Hasilnya memang tak memuaskan. Namun setidaknya, lapangan sepakbola sudah menunjukkan gairahnya semula. Menariknya, Mou kemudian hijrah ke Madrid. Ia pun bertetangga dengan Barca. Dua tahun ia menukangi Los Blancos, Barcelona kian dibuat runyam dengan gaya bertahan dan menyerang cepat yang disusun oleh Mou.
Maka tak ayal dalam beberapa duel el-clasico Madrid sanggup mempecundangi Barca dengan torehan skor menakjubkan. Era berakhirnya tiki-taka pun makin dekat. Umpan pendek Barca dirusak oleh gaya bermain menekan yang diterapkan Mou di Madrid. Menyadari itu, Heynckes menggunakannya di Muenchen. Kali ini dengan tambahan tekanan tingkat tinggi. Tipe pemain segala gaya Barca seperti Xavi dan Iniesta, dikunci mati. Karena dua pemain itulah napas tiki-taka Barca yang bertugas menyuplai bola ke Messi dan Fabregas.
Gaya menyerang cepat Madrid pun kembali diadopsi Muenchen--juga dengan penekanan pada daya gedor yang mumpuni. Ribery dan Robben adalah dua jenderal yang dipercaya Heynckes untuk merobek sistem bertahan Barca yang terbukti efektif. Dari empat gol Muenchen, Robben sukses menyarangkan satu gol di jala Barcelona.
Menariknya, rumus yang diracik Mou untuk meredam Barca, malah berbuntut pada kekalahan timnya kala berhadapan dengan Dortmund. Karena gaya bermain Muenchen dan Dortmund cenderung sama: agresif, impresif, merusak. Kekuatan stamina dan kemampuan penguasaan bola yang mumpuni, membuat Madrid keteteran. Ramos selaku jenderal lapangan Madrid dan Ronaldo yang dipercaya di garda depan oleh Mou, dipaksa bermain naik-turun untuk menyerang dan bertahan dalam waktu bersamaan. Beruntung Ronaldo masih bisa menyumbang satu gol untuk Madrid. Sehingga tugas berat mereka agak sedikit terkurangi kala menjamu Dortmund di Bernabeu pekan depan. Meski untuk bisa menang 3-0 dari Dortmund jelas bukan perkara mudah bagi mereka.
Kabar baru dari Liga Champions ini adalah angin segar bagi para pecinta klub Jerman, khususnya Muenchen dan Dortmund. Ditambah, Pep selaku profesor yang sukses memola tiki-taka di Barca, Juni 2013 ini akan berlabuh di Muenchen. Ia seolah sudah mencium aroma kebangkitan tim Bavaria jauh lebih cepat dibanding pelatih lain. Sehingga keputusannya meninggalkan Barca, tak hanya isapan jempol belaka. Nampaknya Pep punya misi baru yang lebih menarik untuk dikerjakan, bila ia ada di Jerman. Hal itu bukan tak mungkin karena era tiki-taka sudah berada di senjakalanya. Mari kita buktikan.
Tugas berat Muenchen dan Dortmund ialah menghapus mitos jago kandang yang kadung hinggap di kubu mereka. Nyaris tak ada klub Spanyol yang sanggup unjuk gigi bila mereka melawat ke Jerman ketika berhadapan dengan tim mana pun di kancah Bundesliga. Madrid sekali pun, pernah dipaksa bermain imbang 2-2 oleh Dortmund di sesi penyisihan Liga Champions. Padahal saat itu, Madrid bertugas selaku tuan rumah. Tapi itu catatan lain. Hal menarik yang bisa dicermati adalah, hancurnya taktik bermain klub Spanyol—yang digadang-gadang sebagai acuan banyak klub dunia sebagai tim kelas wahid.
Sejarah kebangkitan tim Spanyol dimulai sedari era Frank Rijkaard menukangi Barcelona pada 2003-2008. Tahun pertamanya di Barca, ia sudah menyumbang gelar Champions. Meski akhirnya didepak dari kursi manajer. Kepemimpinan Rijkaard itu dilanjutkan oleh Pep Guardiola. Di tangannya, Barca kian tak terbendung. Hanya dalam kurun waktu empat tahun, belasan gelar yang terdiri dari domestik dan internasional, mereka pindahkan ke lemari kaca kebanggaannya.
Tiki-Taka seolah menjadi momok bagi klub mana pun yang berhadapan dengan Barca. Bahkan tak sedikit pelatih yang dibuat pusing oleh gaya bermain anak-anak Catalan ini. Mou dan Fergie (MU) pun, sempat dibuat kalang kabut kala tim mereka dipapas Barcelona di Liga Champions. Tapi Mou agak sedikit beruntung dari Fergie. Bersama Inter Milan, Mou berhasil mengganggu konsentrasi Barca merebut gelar Champions pada 2010 silam. Meski menggunakan taktik bertahan dengan sistem grendel dan menuai banyak kritik dari para praktisi sepak bola, Mou telah menunjukkan kualitasnya sebagai The Special One. Klub mana pun yang ia asuh, pasti beroleh gelar di tingkat kompetisi mana pun.
Belajar dari Mou yang berhasil meredam Barca, mulai bermunculanlah beberapa klub yang sanggup mengimbangi gaya bermain tiki-taka itu. Hasilnya memang tak memuaskan. Namun setidaknya, lapangan sepakbola sudah menunjukkan gairahnya semula. Menariknya, Mou kemudian hijrah ke Madrid. Ia pun bertetangga dengan Barca. Dua tahun ia menukangi Los Blancos, Barcelona kian dibuat runyam dengan gaya bertahan dan menyerang cepat yang disusun oleh Mou.
Maka tak ayal dalam beberapa duel el-clasico Madrid sanggup mempecundangi Barca dengan torehan skor menakjubkan. Era berakhirnya tiki-taka pun makin dekat. Umpan pendek Barca dirusak oleh gaya bermain menekan yang diterapkan Mou di Madrid. Menyadari itu, Heynckes menggunakannya di Muenchen. Kali ini dengan tambahan tekanan tingkat tinggi. Tipe pemain segala gaya Barca seperti Xavi dan Iniesta, dikunci mati. Karena dua pemain itulah napas tiki-taka Barca yang bertugas menyuplai bola ke Messi dan Fabregas.
Gaya menyerang cepat Madrid pun kembali diadopsi Muenchen--juga dengan penekanan pada daya gedor yang mumpuni. Ribery dan Robben adalah dua jenderal yang dipercaya Heynckes untuk merobek sistem bertahan Barca yang terbukti efektif. Dari empat gol Muenchen, Robben sukses menyarangkan satu gol di jala Barcelona.
Menariknya, rumus yang diracik Mou untuk meredam Barca, malah berbuntut pada kekalahan timnya kala berhadapan dengan Dortmund. Karena gaya bermain Muenchen dan Dortmund cenderung sama: agresif, impresif, merusak. Kekuatan stamina dan kemampuan penguasaan bola yang mumpuni, membuat Madrid keteteran. Ramos selaku jenderal lapangan Madrid dan Ronaldo yang dipercaya di garda depan oleh Mou, dipaksa bermain naik-turun untuk menyerang dan bertahan dalam waktu bersamaan. Beruntung Ronaldo masih bisa menyumbang satu gol untuk Madrid. Sehingga tugas berat mereka agak sedikit terkurangi kala menjamu Dortmund di Bernabeu pekan depan. Meski untuk bisa menang 3-0 dari Dortmund jelas bukan perkara mudah bagi mereka.
Kabar baru dari Liga Champions ini adalah angin segar bagi para pecinta klub Jerman, khususnya Muenchen dan Dortmund. Ditambah, Pep selaku profesor yang sukses memola tiki-taka di Barca, Juni 2013 ini akan berlabuh di Muenchen. Ia seolah sudah mencium aroma kebangkitan tim Bavaria jauh lebih cepat dibanding pelatih lain. Sehingga keputusannya meninggalkan Barca, tak hanya isapan jempol belaka. Nampaknya Pep punya misi baru yang lebih menarik untuk dikerjakan, bila ia ada di Jerman. Hal itu bukan tak mungkin karena era tiki-taka sudah berada di senjakalanya. Mari kita buktikan.
0 comments:
Posting Komentar