Satu lagi
potret miris kondisi pendidikan di Indonesia. Mts Al – Wardayani, didirikan
oleh Warid dan Kamal yang merupakan pengelola sekaligus penanggung
jawab sekolah. Terletak di desa Cijagung, Sukabumi, Jawa Barat, sekolah ini
memiliki luas 105 m2 . Dua kelas dengan panjang 15 meter dan
lebar 7 meter tiap kelasnya menjadi wadah belajar 22 anak-anak desa
Cijagung.
Keprihatinan Warid
terhadap kondisi pendidikan di desanya mencungkil harapan untuk merintis
sekolah yang lebih dekat. Sikap tacuh masyarakat setempat terhadap pendidikan
menjadikan hambatan terbesar. Selain itu peran pemerintah setempat yang tak
turut andil menengok keadaan desanya menjadi tembok besar.
“Masyarakat
Cijagung tidak mempersoalkan pendidikan, sehingga banyak
masyarakat yang hanya bermodalkan ijazah SD atau MD (Madrasah Diniyah) untuk
bekerja,” ujar Warid. Mereka lantas bekerja di perkebunan atau sekadar merantau
ke Jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga. Lulusan sarjana pun masih
bisa terhitung jari. Salah satunya Warid, lulusan sarjana
pendidikan pertama di Cijagung pada tahun 2008.
Pembangunan
Lazimnya, pembangunan
sekolah dilakukan pada siang hari. Namun tidak dengan sekolah ini,
Al-Wadayani justru dibangun pada malam hari. Para pekerja yang berasal
dari warga setempat memulainya pukul tujuh malam sampai jam dua belas malam.
Upah pekerja tersebut hanya berupa nasi, ikan asin, dan rokok sebanyak lima
bungkus per malam.
Saat bulan Ramadan, para
pekerja memulainya setelah tarawih. Mereka bekerja dengan giat. Seakan dengan
penuh harapan terbangunnya Al-Wardayani.
Seperti sekolah pada
umumnya, Masa Orientasi Siswa (MOS) juga dilaksanakan oleh Al-Wardayani. 25
orang menjadi murid pertamanya. Pada hari kedua, tak ada satupun yang datang.
Mereka takut sanggup mengeluarkan uang untuk membeli barang bawaan MOS. Setelah
diberi pemahaman, murid Al-Wardayani hanya tersisa 22 siswa, dan itu bertahan
hingga sekarang.
Sekolah yang tak memungut
bayaran sama sekali ini menggoreskan pekerjaan
baru. Permasalahan gaji guru menjadi persoalan yang tak luput dari
perhatian. Guru Al-Wardayani yang terdiri dari sembilan orang hanya
dibayar sepuluh ribu perjam. Selama sebulan, paling tidak mereka hanya menerima
upah sebesar 50.000 rupiah.
“Sebenarnya kami mendapat
insentif sebesar 50.000 sebulan, tetapi kami hanya menerima sebesar 40.000
saja, itu pun dibayarkan enam bulan sekali,” cerita Warid.
Berbeda dengan Kamal,
salah seorang perintis sekolah bersama dengan Warid. “Selama sebulan saya
menerima 250.000 dari gaji di Madrasah Diniyah dan itu dibagi dengan
enam guru. Terkadang saya mengalah dan tak menerima upah karena saya tidak
mau mereka pulang kerja tanpa menghasilkan apa pun. Terkadang
saya juga harus mengeluarkan dana talangan menggunakan
uang pribadi dengan menjual beras untuk menutupi kekurangan,” lanjut Kamal
Pemerintah seakan tak
menghiraukan keadaan setempat. Mereka bahkan tidak tahu kalau ada MTs.
Al-Wardayani. Mereka yang tahu juga seperti berpura-pura tak
tahu, termasuk Kepala Desa Cijagung.
Antusiasme Tinggi
Di Al-Wardayani tak ada
buku, apalagi koneksi internet. Untuk proses pengajaran, mereka
harus meminjam buku melalui Mts. Al-Amin (induk sekolah) di daerah
Cikadu, Sukabumi. Buku yang dipinjam pun hanya satu, dan itu untuk
guru mengajar. Siswa hanya mencatat penjelasan guru saat mengajar. Walhasil,
saat ulangan tiba, catatan mereka menjadi senjata utamanya.
Saat ini Warid dan warga
sekolah lainnya sedang mencanangkan pengembangan sekolah agar mereka
mendapatkan pengakuan dari masyarakat, terutama pemerintah. Salah
satu caranya yaitu dengan membuat acara hiburan, yakni Saman. Acara
yang rutin dilakukan dalam rangka kenaikan kelas juga syukuran atas
pembangunan sekolah ini.
Meski hidup dengan serba
pas-pasan, Warid dan Kamal tak merasa kekurangan. Mereka merasakan berkah meski
tak memiliki usaha lain. Mereka hanya mengembalikan kepada Allah SWT untuk
menutupi kekurangan sehari-hari.
“Ada kebahagiaan setelah
didirikannya sekolah ini, yaitu saya merasa bersyukur karena sekolah ini sudah
bisa berdiri dan menjadikan wadah belajar anak-anak. Tetapi ada kekurangan
lain, yaitu saya masih harus berusaha untuk membuat izin operasional pembuatan
yayasan,” cerita Warid.
2 comments:
MIRIS :'( kita yang udah dikasih fasilitas sedemikian mewah malah sering bolos, malu deh sama mereka yang punya antusiasme tinggi :')
mana pemerintahnya nih ?? gak peka banget deh!
Posting Komentar