Potret Pendidikan Laskar Pelangi Masa Kini

2013/04/24




Satu lagi potret miris kondisi pendidikan di Indonesia. Mts Al – Wardayani, didirikan oleh Warid dan Kamal yang merupakan pengelola sekaligus penanggung jawab sekolah. Terletak di desa Cijagung, Sukabumi, Jawa Barat, sekolah ini memiliki luas 105 m. Dua kelas dengan panjang 15 meter dan lebar 7 meter tiap kelasnya menjadi wadah belajar 22 anak-anak desa Cijagung.


Keprihatinan Warid terhadap kondisi pendidikan di desanya mencungkil harapan untuk merintis sekolah yang lebih dekat. Sikap tacuh masyarakat setempat terhadap pendidikan menjadikan hambatan terbesar. Selain itu peran pemerintah setempat yang tak turut andil menengok keadaan desanya menjadi tembok besar.


“Masyarakat Cijagung tidak mempersoalkan pendidikan, sehingga banyak masyarakat yang hanya bermodalkan ijazah SD atau MD (Madrasah Diniyah) untuk bekerja,” ujar Warid. Mereka lantas bekerja di perkebunan atau sekadar merantau ke Jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga. Lulusan sarjana pun masih bisa terhitung jari. Salah satunya Warid, lulusan sarjana pendidikan pertama di Cijagung pada tahun 2008.


Pembangunan

Awalnya, rencana pembangunan sekolah ini akan direalisasikan pada tahun 2009 dengan harapan belas kasih pemerintah. Hingga bambu dan kayu yang telah dikumpulkan membusuk, Pemerintah tak jua bergerak. Akhirnya, Warid dan Kamal tak mau lagi mengharapkan belas kasih pemerintah. Tahun 2012, sekolah ini resmi didirikan.


Lazimnya, pembangunan sekolah dilakukan pada siang hari. Namun tidak dengan sekolah ini, Al-Wadayani justru dibangun pada malam hari. Para pekerja yang berasal dari warga setempat memulainya pukul tujuh malam sampai jam dua belas malam. Upah pekerja tersebut hanya berupa nasi, ikan asin, dan rokok sebanyak lima bungkus per malam.  


Saat bulan Ramadan, para pekerja memulainya setelah tarawih. Mereka bekerja dengan giat. Seakan dengan penuh harapan terbangunnya Al-Wardayani.


Seperti sekolah pada umumnya, Masa Orientasi Siswa (MOS) juga dilaksanakan oleh Al-Wardayani. 25 orang menjadi murid pertamanya. Pada hari kedua, tak ada satupun yang datang. Mereka takut sanggup mengeluarkan uang untuk membeli barang bawaan MOS. Setelah diberi pemahaman, murid Al-Wardayani hanya tersisa 22 siswa, dan itu bertahan hingga sekarang.


Sekolah yang tak memungut bayaran sama sekali ini menggoreskan pekerjaan baru. Permasalahan gaji guru menjadi persoalan yang tak luput dari perhatian. Guru Al-Wardayani yang terdiri dari sembilan orang hanya dibayar sepuluh ribu perjam. Selama sebulan, paling tidak mereka hanya menerima upah sebesar 50.000 rupiah.


“Sebenarnya kami mendapat insentif sebesar 50.000 sebulan, tetapi kami hanya menerima sebesar 40.000 saja, itu pun dibayarkan enam bulan sekali,” cerita Warid.


Berbeda dengan Kamal, salah seorang perintis sekolah bersama dengan Warid. “Selama sebulan saya menerima 250.000 dari gaji di Madrasah Diniyah dan itu dibagi dengan enam guru. Terkadang saya mengalah dan tak menerima upah karena saya tidak mau mereka pulang kerja tanpa menghasilkan apa pun. Terkadang saya juga harus mengeluarkan dana talangan menggunakan uang pribadi dengan menjual beras untuk menutupi kekurangan,” lanjut Kamal


Pemerintah seakan tak menghiraukan keadaan setempat. Mereka bahkan tidak tahu kalau ada MTs. Al-Wardayani. Mereka yang tahu juga seperti berpura-pura tak tahu, termasuk Kepala Desa Cijagung.


Antusiasme Tinggi

Siswa Al-Wardayani memiliki antusiasme tinggi terhadap pendidikan. Mereka seakan tak mengenal hari libur. Mereka begitu bersemangat menyambut sekolah yang kelak akan mendidik mereka menjadi lebih baik. Sepulang sekolah, mereka masih mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sampai malam, termasuk hari libur sekalipun.


Di Al-Wardayani tak ada buku, apalagi koneksi internet. Untuk proses pengajaran, mereka harus meminjam buku melalui Mts. Al-Amin (induk sekolah) di daerah Cikadu, Sukabumi. Buku yang dipinjam pun hanya satu, dan itu untuk guru mengajar. Siswa hanya mencatat penjelasan guru saat mengajar. Walhasil, saat ulangan tiba, catatan mereka menjadi senjata utamanya.


Saat ini Warid dan warga sekolah lainnya sedang mencanangkan pengembangan sekolah agar mereka mendapatkan pengakuan dari masyarakat, terutama pemerintah. Salah satu caranya yaitu dengan membuat acara hiburan, yakni Saman. Acara yang rutin dilakukan dalam rangka kenaikan kelas juga syukuran atas pembangunan sekolah ini.


Meski hidup dengan serba pas-pasan, Warid dan Kamal tak merasa kekurangan. Mereka merasakan berkah meski tak memiliki usaha lain. Mereka hanya mengembalikan kepada Allah SWT untuk menutupi kekurangan sehari-hari.


“Ada kebahagiaan setelah didirikannya sekolah ini, yaitu saya merasa bersyukur karena sekolah ini sudah bisa berdiri dan menjadikan wadah belajar anak-anak. Tetapi ada kekurangan lain, yaitu saya masih harus berusaha untuk membuat izin operasional pembuatan yayasan,” cerita Warid. 

Share this Article on :

2 comments:

Anonim mengatakan...

MIRIS :'( kita yang udah dikasih fasilitas sedemikian mewah malah sering bolos, malu deh sama mereka yang punya antusiasme tinggi :')

Anonim mengatakan...

mana pemerintahnya nih ?? gak peka banget deh!

Posting Komentar

 
© Copyright KonBlok 2013 - 2014 | Design by KonBlok.