Hembusan angin menyapu wajah kasar lelaki muda. Tepat di belakang ia berdiri, hamparan sawah hijau yang terhampar luas begitu memanjakan mata. Langit pun tak mau kalah menyambut suasana pagi ini. Matahari menampakkan terik sinarnya yang tertuju langsung ke bangunan di sela-sela bebukitan. Berdiri sebuah bangunan dengan material bambu.
Ukurannya tak lebih luas dari pertokoan di pusat perbelanjaan di ibu kota. Lantainya tanpa keramik, hanya berupa peluran semen. Atapnya dari asbes, tanpa ada langit-langit yang menghalangi. Jendelanya tanpa tutup, walhasil saat hujan turun, air akan cepat masuk ke dalam ruangan. Siapa sangka, bangunan ini adalah sekolah. Hanya ditandai beberapa elemen seperti tiang bendera, papan tulis, dan beberapa meja serta kursi kayu yang sudah terlihat usang.
Seorang pria berdiri tegap dengan tangan kiri menggenggam tiang
penyangga bangunan, dan tangan kanannya memegang sebuah
telepon genggam tua. Langkahnya cepat, menandakan semangat yang menggebu-gebu. Kulitnya
yang sawo matang menunjukkan kegigihannya dalam menantang teriknya mentari. Tata
bicaranya yang halus dibalut dengan logat Sunda pesisir, memperlihatkan keramahannya.
Pria itu bernama Warid, kelahiran Sukabumi, 16 Maret 1977. Warid merupakan sosok yang cukup disegani di
desanya. Bukan karena ia seorang yang memiliki ‘ilmu’ atau kekuasaan tanpa
akal, tapi karena ia adalah warga desa di Cijagung, Sukabumi, yang memperoleh
gelar sarjana pertama kali. Tak hanya itu, ia bersama saudaranya, Kamal, memelopori pendirian sekolah dan kebangkitan kesadaran
pendidikan di desanya. Pendidikan yang berbasis kemanusiaan dan spiritualitas.
Warid yang lulusan dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Pelabuhan Ratu tahun
1997 ini, memulai debutnya dalam dunia pendidikan dengan mengajar di Madrasah
Ibtidaiyah (MI) Cijagung kelas empat dan lima. Selama tiga tahun berkecimpung di
dunia pendidikan membuat Warid muda bosan. Ia mulai mengikuti arus masyarakat
desa, tren urbanisasi, mengadu nasib di ibu kota. Tentu dengan harapan bisa mencapai
kehidupan yang lebih baik, ketimbang di desa.
Harapan tak sejalan kenyataan, hidup di Jakarta tak semudah yang
dibayangkan Warid. Dengan modal ijazah MAN yang dibawanya, ternyata tak mampu
mendatangkan harta yang ia harapkan. Akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pedagang
sandal. Sebuah keputusan yang jauh dari apa yang diharapkan Warid saat di desa.
Kehidupan berdagang sandal pun tak mudah, ia harus berpindah-pindah
lokasi mengikuti pemilk pabrik sandal yang mempekerjakannya. “Saya jualan
sandal itu ngikut orang, bayar setoran tiap hari, mulai dari Rp 6.000,- sampai
Rp 12.000,-. Mulai dari Jakarta, Medan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,” kenangnya pada Squadpost di pertengahan April lalu.
Pengalaman dalam bisnis sandal ini menggugah niatnya untuk memiliki usaha
sendiri di bidang yang sama. Tahun 2001 ia memulai usahanya, dengan
mempekerjakan belasan karyawan. Setelah beberapa lama menjadi pengusaha sandal,
Tuhan berkehendak lain dengan Warid. “Dapat untung lumayan, Rp2.000,- sampai
Rp4.000,- per pasang, tapi karyawan saya dulu banyak yang ‘gila’. Piutang saya
di mereka sampai Rp. 37.428.500,- sementara saya sendiri punya utang di pabrik
sandal sebanyak Rp.12.000.000. Hal ini membuat saya stres dan akhirnya gulung
tikar,” ceritanya. Kegagalan merantau di ibu kota membuat Warid sadar kalau ia sudah mengikuti
arus yang salah.
Dari dalam dirinya muncul hasrat ingin pulang yang menggebu-gebu.
Namun, konflik batin datang, ia malu akan dicap gagal mengadu nasib di ibu kota.
Sebelum ia pulang ke desanya, ibunya memberikan saran. “Ibu bilang kalo mau pulang lunasi dulu utangnya,
lalu kembalilah ke desa. Belajar sambil mengajar dan mengamalkan ilmu,” katanya. Dari situlah ia
tersadar, hidupnya ternyata memang untuk pengabdian masyarakat. Mendidik
manusia.
Warid tidak gagal dalam perantauannya. Di tempatnya mengadu nasib, ia justru mendapatkan pencerahan spritiualis . “Saya pernah berpacaran
dengan mahasiswi dari UNY (Universitas Negeri Yogyakarta. Malang, hubungan itu
kandas di tengah jalan. Alasannya, saya kurang dewasa
mulai dari perkataan, sikap, dan perilaku. Kemudian, saya
mengambil langkah mendewasakan diri dengan mencari dan mengamalkan ilmu. Terutama
pendekatan dengan orang yang banyak ilmu, tentu saja di bangku kuliah,” cerita Warid.
Lulus dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI,
Sukabumi, tahun 2008, membuat Warid berniat memekarkan desanya dengan menjadi salah
satu panitia proyek tersebut. Walaupun harus gagal karena alasan legalitas
formal yang tertinggal. Ia tak putus sampai di situ, Warid mengajak segenap
warga desa untuk membangun sekolah.
Gayung pun disambut, warga desa mendukung penuh usaha Warid. Semua material hasil swadaya warga desa terkumpul, tinggal menunggu proses pembangunan. Namun, bantuan yang diharapkan dari Pemerintah setempat tak kunjung datang. Material yang sudah terkumpul rusak, mulai dimakan rayap, terkena hujan sampai hilang digondol maling.
Gayung pun disambut, warga desa mendukung penuh usaha Warid. Semua material hasil swadaya warga desa terkumpul, tinggal menunggu proses pembangunan. Namun, bantuan yang diharapkan dari Pemerintah setempat tak kunjung datang. Material yang sudah terkumpul rusak, mulai dimakan rayap, terkena hujan sampai hilang digondol maling.
Warid tak lagi menggantungkan harapan pada Pemerintah setempat. Dengan niat
yang sama, ia memelopori pembangunan sekolah kembali. Kali ini dengan strategi
yang berbeda, yaitu mengandalkan kemandirian warga desa Cijagung.
Masyarakat di sana mulai bergotong-royong membangun fisik sekolah. Mulai membangun saat menjelang malam, dan berakhir saat tengah malam tiba. Berkat semangat juang dari warga, tepat pada 18 Juli 2012, berdirilah MTs Al-Wardayani. Warid langsung diputuskan sebagai Kepala sekolahnya. “Saya berharap Mts Al-Wardayani menjadi sekolah unggulan berstandar nasional.
Unggul dalam IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) berbasis IMTAQ (Iman dan Taqwa). Pembentukan watak, kepribadian dan karakter bangsa yang kokoh. Menjadi cikal bakal kemajuan daerah yang terisolir, serta tidak ada warga desa yang putus sekolah. Tentu dengan mengedepankan pendidikan yang manusiawi serta spiritualitas sebagai acuannya,” harapnya.
Masyarakat di sana mulai bergotong-royong membangun fisik sekolah. Mulai membangun saat menjelang malam, dan berakhir saat tengah malam tiba. Berkat semangat juang dari warga, tepat pada 18 Juli 2012, berdirilah MTs Al-Wardayani. Warid langsung diputuskan sebagai Kepala sekolahnya. “Saya berharap Mts Al-Wardayani menjadi sekolah unggulan berstandar nasional.
Unggul dalam IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) berbasis IMTAQ (Iman dan Taqwa). Pembentukan watak, kepribadian dan karakter bangsa yang kokoh. Menjadi cikal bakal kemajuan daerah yang terisolir, serta tidak ada warga desa yang putus sekolah. Tentu dengan mengedepankan pendidikan yang manusiawi serta spiritualitas sebagai acuannya,” harapnya.
2 comments:
makin banyak orang seperti Pak Warid dan Pak Kamal, bangsa kita pasti lebih cepat maju & sejahtera
kita harus mencetetak nih guru-guru kaya gitu
Posting Komentar