Jakarta,
Squadpost.com—Rambut gondrong dengan tampilan pakaian adat Jawa. Lantunan suara, syair-syair indah dan musik
tradisional Jawa dipadupadankan dengan
musik modern,
semakin memberikan
nuansa dan warna baru bagi dunia industri musik Indonesia. Itulah yang dikerjakan selama ini oleh Didi Kempot.
Di
tengah maraknya persaingan industri musik Indonesia dan budaya luar yang masuk
begitu cepat, Didi yang selalu ramah dan murah senyum ini selalu
mampu menghadirkan musik dengan gaya khasnya sendiri. Memadukan musik
tradisional dan modern tanpa menghilangkan budaya kedaerahannya.
Didi
Kempot dengan nama asli Didi Prasetyo,
lahir di Surakarta, 31 Desember 1966. Ia anak dari seorang pelawak
terkenal bernama Ranto Gudeldan, yang juga saudara kandung dari pelawak srimulat Mamiek
Prakoso. Kemandirian
melekat pada dirinya, walaupun
orangtua dan kakak kandungnya adalah seorang pelawak terkenal, hal itu tidak
membuat ia manja.
Didi selalu
berpikir bagaimana ia menghasilkan sesuatu dalam dirinya. Tentu dengan tidak bergantung pada
orangtuanya saat itu.
Maka,
hal pertama yang ia bisa lakukan
adalah dengan mengamen sebagai salah satu bakat seni yang ia warisi, selain juga demi melatih mentalnya.
Masa
Sulit
Semenjak duduk di kelas tiga Sekolah
Menengah Pertama, ia
sudah mengamen walaupun harus secara sembunyi-sembunyi dari
orangtua. Ayah Didi hanya menginginkan anaknya untuk fokus dan belajar
di sekolah.
Didi memulai perantauan dan kisah perjalanan hidupnya
ke Jakarta pada pertengahan
tahun 80-an.
Awal mula perantauanya di Jakarta tidak seperti apa yang ia
bayangkan.
Kehidupan keras Jakarta membuatnya harus bekerja lebih keras. Semata-mata hanya agar ia
mampu dan
bisa bertahan di Ibukota.
Berbekal
dari kebiasaan dan kesukaannya terhadap seni dan musik-musik tradisional Jawa, ia mulai mengamen seperti apa yang
dilakukannya saat ia sekolah di Solo.
Dari satu tempat ke tempat lain, dari satu mobil ke mobil yang
lain, begitulah ia menjalani kerasnya hidup di Ibukota.
Setiap
pagi hingga larut sore, Didi
menjalani aktivitasnya
mengamen di Ibukota.
Semua itu ia jalani dengan penuh keikhlasan sembari terus menciptakan
lagu-lagu yang ia buat sendiri dan terus ia pakai saat mengamen. Malahan, banyak dari
temen-temen pengamennya yang banyak menyanyikan lagu buatan Didi.
Hasil
dari mengamen ia gunakan untuk biaya kehidupan dan kebutuhan sehari-hari. Biaya kehidupan
di Jakarta yang begitu besar tidak berbanding dengan penghasilan ngamenya
sehari-hari. Terkadang, ia sering dibantu oleh
teman-teman pengamennya demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Gerbang
Kesuksesan
Suatu hari, rekan Didi datang menawarinya manggung
membawakan
lagu-lagu Jawa ke Suriname.
Tanpa pikir panjang tentang honor, Didi pun
menyanggupi tawaran itu.
Satu hal yang menarik baginya, ia belum pernah naik pesawat,
dan saat itu adalah
kali pertama dirinya
menaiki pesawat.
Pertunjukkan pertama Didi di Suriname meraih sukses. Selanjutnya, membuat Didi semakin
dikenal
oleh masyarakat Jawa
di Suriname. Maka sejak itulah hampir setiap tahun
Didi ke Suriname untuk mementaskan lagu-lagu gubahannya. Nah, selama rentang waktu pentas sekitar empat bulan, Didi terus mencipta lagu-lagu
baru.
Hingga
akhirnya kerja kerasnya pun berbuah di dapur rekaman.
Sampai sekarang sudah tercatat
16 Album yang dihasilkan Didi.
Lagu yang paling
terkenal di Suriname adalah "Layang Kangen" dan "Angin Paramaribo." Bahkan, lagu-lagu Didi sering
diputar di radio berbahasa Jawa di Suriname. Hal itu membuatnya pernah dinobatkan
sebagai artis teladan Pop Jawa. Selain itu, presiden Suriname pada waktu itu juga memberinya penghargaan bertajuk Gold Man.
Selain
membuat album di Suriname,
di dalam negeri pun Didi tak ketinggalan terus melahirkan karya-karya anyar.
Pada saat bersamaan, sudah tujuh album yang ia buat di Indonesia. Semua berbahasa Jawa.
Beberapa di antaranya yang
paling populer adalah "Cintaku
Sekonyong-Konyong
Koder" dan "Stasiun Balapan." Dari karya-karya inilah, sosok Didi Kempot dikenal masyarakat Indonesia dan warga Jawa Suriname, sebagai sebagai sosok seniman
yang mengangkat musik campursari sebagai budaya lokal Jawa menjadi kebanggaan nasional, bahkan
internasional.
Editor: Kahfi Dirga Cahya
2 comments:
Kisah perjalanan hidupnya begitu menginspiratif buat para seniman indonesia untuk melestarikan budaya lokal
Indonesia harus banyak muncul dedi kempot2 lain untuk melestarikan budaya lokal..
Posting Komentar