Tampilkan postingan dengan label Young Inspiration. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Young Inspiration. Tampilkan semua postingan

Adiv Si Raja Pisang Ijo

2013/05/12


Penulis: Diah Puspita Primandani Putri

Jakarta, Squadpost.com—Di saat anak muda pada umumnya sibuk berkutat dalam gelombang arus dunia mode dan tren terbaru, tidak halnya dengan pemuda yang satu ini. Bermodal tekad dan kreativitas ia berkecimpung dalam dunia bisnis yang penuh pertaruhan dan risiko. Kreativitasnya berkembang pesat, hingga pisang pun menjadi sasarannya.

Kini, membangun suatu usaha bukan lagi milik orang dewasa semata. Adiv Hazazi yang lahir pada 14 September 1992 ini telah membuktikan bahwa usia bukan hambatan utama memulai usaha. Ia telah berhasil mencicipi keuntungan di usaha kuliner yang dirintisnya. Meski umur usahanya masih delapan bulan, omzet yang ia raih telah mencapai angka Rp 12.000.000 – Rp 13.000.000 sebulan.

Jumat siang (11/06/2013), Squadpost berkesempatan untuk menyambangi tempat usaha Adiv  di kawasan Sungai Sambas, Jakarta Selatan. Adiv yang berpenampilan santai dengan meggunakan kaos bola berwarna putih serta celana model chino warna beige,  menyapa kami sambil menyunggingkan senyumnya.

Sejak kecil, anak pertama dari kedua bersaudara ini, bisa dibilang berada dalam keluarga berkecukupan secara finansial. Tapi, ia tak mau terus merongrong keuangan orangtuanya. Mental usahanya sudah tumbuh sejak ia duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama, karena terinspirasi setelah menonton acara kuliner yang mengangkat tema pengusaha sukses.

“Kayaknya keren deh jadi pengusaha di waktu muda. Bisa sukses dan masuk televisi,” ujar Adiv yang gemar naik gunung ini.

Meski ide untuk memulai usaha sudah bermunculan, Adiv belum begitu mengerti untuk melakukan apa. Sampai kemudian setelah lulus SMA, ia mengetahui usaha saudaranya di bidang pakaian dengan format pre-order via BBM (Blackberry Massenger) yang sudah mencapai omzet ratusan juta. Detik itulah semangatnya terpantik untuk memulai langkah.

The Beginning of Young Enterpreneur
“Sebenarnya, Adiv melihat produk yang dijual merupakan produk yang membuat orang benar-benar tertarik. Makanya Adiv memilih usaha yang memang banyak dicari orang,” jelasnya mengenai pilihan usahanya.

Adiv yang berdarah Minang dan Betawi ini dianugerahi kecermatan membaca peluang. Seperti pengakuannya, usaha yang kini dibangunnya berkat temannya yang lebih dulu memiliki usaha di bidang kuliner, pisang hijau. Sayang, temannya tidak melanjutkan usahanya. Alhasil, Adiv yang harus menjalaninya sendiri.

Padahal hampir setiap hari pisang hijau itu dicari orang, bahkan sampai ke kalangan selebriti, dan malah pernah diliput sebuah majalah di Ibukota. Melihat peluang usaha itu di masa depan, Adiv pun mengambil kursus pada temannya itu selama sebulan penuh. Setelah menghitung biaya pembelian gerobak dan beberapa peralatan lain untuk melengkapi usahanya, modal awal yang ia perlukan mencapai kisaran Rp 15.000.000.

“Waktu itu modal awal pinjam dari Tante. Karena saat itu nyokap sedang merenovasi rumah, jadi dananya habis buat itu. Tapi itu semua langsung Adiv ganti dalam waktu lima bulan,” ucapnya.

Setelah menguasai kemampuan membuat pisang hijau, Adiv mencoba membuka usaha perdananya saat Ramadhan di kawasan Cipete, “Mengakui punya usaha sih nggak malu. Cuma waktu awal sempat gengsi dorong-dorong gerobak. Tapi bodo amatlah, jalanin aja. Lagian ‘kan sudah keluar modal banyak. Mending kalau gengsi nggak usah dari awalnya,” jelas Adiv yang bercita-cita jadi astronot.

“Mungkin waktu pas puasa, jadinya ramai. Setelah itu sempat sepi selama sebulan. Makanya Adiv cari-cari tempat yang kira-kira banyak dikunjungi orang. Sampai akhirnya ketemu tempat yang sekarang ini,” ucapnya sumringah.


Mata Elang
Meski memilih usaha pisang hijau, Adiv menawarkan sesuatu yang baru. Jika biasanya pisang hijau disajikan dengan bubur sumsum, kali ini Adiv mengganti bubur sumsum menjadi saus fla dengan varian rasa: stroberi, cokelat, blueberry, vanili dan durian.

Harga seporsi yang dijajakan adalah Rp 8.000, “Ya, Adiv sih nggak mau mahal-mahal. Karena ini pangsa pasarnya anak muda,” jelasnya.

Selama lima bulan memutar roda usaha, kini modal awalnya telah kembali. Kini, Adiv sudah menambah empat gerobak lain yang merupakan hasil franchise dari teman-temannya. Cabang-cabangnya tersebar ke beberapa tempat di Jakarta, antara lain: Fatmawati, Pondok Labu, Depok (Gunadarma) dan Cipete. “Malah, rencananya saya mau nambah gerobak lagi nih,” ungkapnya.

Adiv mengaku pada Squadpost bahwa selama delapan bulan awal ia sempat keteteran mengurusi keuangan. Setelah tantenya ikut membantu, keuangannya pun mulai tertata kembali.

“Maklumlah anak muda, kadang uang yang masuk ke kantong suka terpakai sendiri.”

Berbekal semangat dan ketekunan, Adiv mengurusi usahanya dari A-Z secara otodidak. Ditambah dukungan dari orangtuanya yang terkadang sering memberi saran. Padahal untuk mengurusi bisnisnya ini, ia harus rela cuti kuliah di Jurusan Sastra Inggris, Gunadarma.

Pada saat sesi wawancara, pisang hijau yang ia beri nama Sang Jo ini laris manis diborong oleh para remaja. Konsep gerobak yang dapat dibawa dengan rancangan pisang berwarna hijau mengenakan kacamata dan topi khas anak muda, membuat daya tarik tersendiri bagi konsumennya, “Desain itu untuk menunjukkan kalau yang punya usaha adalah anak muda.”
“Selain enak banget dan harganya murah, pisang hijaunya juga beda. Aku paling suka rasa blueberry,” ucap Nadia, salah satu konsumen Sang Jo.


Target
Adiv memasang target dua tahun untuk dapat melebarkan sayap usahanya. Bahkan ia berkeinginan agar produknya bisa dikenal di luar negeri, “Tapi itu ‘kan masih jauh. Jadi jalanin saja yang sekarang,” jelasnya.

Meski sudah banyak dikenal orang, Adiv tetap meracik sendiri semua bahan-bahan pisang hijaunya. Terutama saus fla yang nikmat itu. Ia mengaku, saus fla itulah yang membuatnya semakin enak.

Tak banyak anak muda yang berani memulai usaha dari nol. Bahkan Adiv justru lebih memilih berjualan di gerobak, tinimbang memiliki tempat yang besar. Baginya lebih baik memiliki cabang banyak, daripada satu tempat besar.

Sekarang Adiv sudah mempekerjakan empat karyawan yang ia gaji Rp 500.000 dan Rp 750.000/bulan. Tiap gerobak yang mangkal di suatu tempat biasanya hanya membutuhkan izin kepala RT (Rukun Tetangga) setempat atau kepada orang yang menyewakan lahan kosong. Biaya yang ia keluarkan untuk itu berkisar Rp 150.000.

Sampai sekarang media promosi yang ia gunakan hanya melalui akun Twitter: @sangjoooo, dan dari mulut ke mulut para konsumen yang sudah mencicipi rasa pisang hijau racikannya. Selama delapan bulan berjalan, terhitung sudah 200 porsi ia terima dalam bentuk pesanan. Adiv juga sering ikut serta dalam acara-acara di sekolah atau kampus.

Di mata karyawannya, Adiv merupakan sosok yang baik dan ingin terjun langsung melayani pembeli, “Dia mau pegang pisau untuk memotong pisang, ngelayanin pembeli langsung,” ucap Sadewo, salah satu karyawan Adiv di Sang Jo.

Gerobak Sang Jo Adiv mulai menjajakan produknya sedari pukul 11.00 siang. Biasanya Adiv menyediakan 50 porsi perhari. Sistem pengambilan setorannya pun setiap sehari sekali.
Jika dihitung-hitung, keuntungannya pergerobak dapat mencapai Rp 4.000.000 sebulan. “Intinya, kalau mau usaha nggak usah mikir gagal atau nggak laku. Optimis saja,” pesan Adiv.

Obrolan kami pun ditutup dengan seporsi pisang hijau rasa vanila dan cokelat. Ternyata benar, saus fla yang adalah ‘kunci’ utama Sang Jo ini benar-benar lembut. Manisnya pas, ditambah toping oreo dan keju. Sangat cocok untuk anak muda yang menyukai makanan bercitarasa manis.



Alam Terkembang Dini Fitria

2013/05/10

Penulis: Kahfi Dirga Cahya & Dyah Puspita Primandani Putri



Jakarta, Squadpost.com— Rinai hujan masih tersisa saat seorang perempuan muda berparas cantik nan anggun datang menyambangi Squadpost di bilangan Selatan Jakarta, pada Selasa malam lalu (7/5). Menggunakan busana bernuansa oranye dengan blue jeans dibalut kerudung warna hitam, ia menyapa kami dengan seulas senyum manis, dilengkapi dua lesung di pipinya.

Obrolan hangat di tengah dinginnya malam bersama Dini Fitria ini diawali dengan cerita semasa kecilnya yang ia habiskan di Padang, tanah kelahirannya. Bagian demi bagian ia tuturkan dengan detil. Ditambah gaya bahasanya yang mudah dimengerti, semakin membuat Squadpost nyaman berlama-lama mengulik kehidupan pembawa acara Jazirah Islam di salah satu stasiun televisi swasta ini.

Terlahir sebagai anak terakhir dari lima bersaudara, sejak kecil Dini hidup di lingkungan yang menyukai dunia baca-tulis. Laiknya anak kecil pada umumnya, ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Namun, siapa sangka mahasiswi jebolan Universitas Andalas (UNAND), Padang, jurusan Teknik Pangan ini malah mendulang sukses di ranah pertelevisian.

Ayahnya yang seorang dosen dan suka menulis untuk surat kabar, semakin membuka kemudahan bagi Dini untuk melongok dunia sedari kecil. Saat masih duduk di Sekolah Dasar, ia sudah mulai menulis serta mengikuti lomba di berbagai surat kabar, bahkan tulisannya pun pernah dimuat majalah Si Kuncung saat itu.

Menjelang usia dua puluhan, Dini berkeinginan mengikuti jejak kakak-kakaknya yang sudah merantau. “Tadinya aku tuh mau kuliah di Jogjakarta. Alasannya sih karena Mama pernah tinggal di sana,” jelasnya. Setamat Sekolah Menengah Atas, ia mengikuti ujian di jurusan Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jogjakarta dan jurusan Psikologi Universitas Islam Indonesia. Keduanya lolos seleksi.

Namun takdir berkata lain. Nampaknya Dini memang harus bersabar untuk dapat melebarkan sayapnya ke tempat yang lebih jauh. Hingga akhirnya ia dinyatakan lolos UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Nasional) dan kuliah di UNAND.

“Aku kecewa ketika masuk UNAND. Begini toh teknik pangan. Oke deh, daripada aku menyesal banget, akhirnya aku menerima saja,” jelas Dini pada Squadpost. Ia sadar, ternyata tidak mudah menjalani kehidupan menjadi mahasiswi di bidang yang tidak dikehendaki.

Media pembalasan rasa yang tidak tersampaikan itu, ia salurkan pada dunia penyiaran. Kitaran tahun 2000-2005, Dini menjadi penyiar radio di 101 Arbes Fm, radio lokal Padang yang saat itu memang sedang populer. Sedari itu bakat menulisnya kembali bangkit. Ia menulis sebuah skenario drama radio bertajuk "Diary Kamu," dengan konsep the best true story. Kisah yang diberikan para penggemar Arbes, kemudian disariulang oleh Dini untuk dijadikan sebuah drama radio. Mulai sedari mengisi suara, mencari pemain, hingga narasi ia kerjakan sendiri.

Setamat kuliah 2004, Dini memang sudah berkeinginan keluar dari Padang. Menurut pengakuannya, merantau dalam keluarganya merupakan salah satu kebiasaan. Ia pun ingin merasakan bagaimana hidup di tanah orang dengan mandiri, “It’s time to choose my future,” ujarnya semangat.

Dengan membawa pakaian a la kadarnya serta modal kemampuan menulis dan ijazah sarjana teknik pangan, Dini mantap melangkah pergi jauh dari tanah asalnya menuju Jakarta. Tiba di Jakarta, 12 Januari 2005, ia menumpang tinggal di rumah kakak pertamanya yang sudah lebih dulu mukim di Jakarta. “Aku coba cari pekerjaan di Jakarta susah-susah gampang, rasanya aku mau pulang” kenangnya.


Gabung Bersama Keluarga Besar Trans Corp

Sempat ditolak, pada saat melamar kerja untuk posisi penyiar radio di bilangan Kuningan, Jakarta. Tak butuh waktu lama, dewi fortuna menghampirinya. Sekitar bulan Maret di tahun 2005, ia bergabung bersama TRANS TV. Saat itu, Dini mencoba melamar bagian reporter divisi news tapi malah ditempatkan di bagian production assistant.

“Pertama kali menjadi wartawan berat banget, harus kerja berangkat pagi, pulang malam. Terus pola hidup yang berubah dari kuliah ke kerja jadi pengaruh juga. Apalagi jadi wartawan itu enggak gampang, rasanya kepengin pulang saja ke Padang. Tapi pas melintasi pemadam kebakaran di Ciputat dan membaca motto mereka (Pantang Pulang Sebelum Padam), semangatku pun terpantik untuk 'pantang pulang sebelum menang,'” jelasnya.

Jelang dua tahun bekerja di TRANS TV, Dini pun bergabung di program Reportase dan Jelang Siang. Latarbelakang pendidikan yang tidak berbau broadcast, membuat ia kian menggebu mencari ilmu. Sebagai pembelajar yang baik, Dini mampu menyeimbangkan sinergi kerja para jurnalis yang memang sudah memiliki dasar ilmu komunikasi.

Pada 2006 setelah Trans Corp mengakuisisi Tv 7, yang kelak pada 2007 diubah menjadi TRANS7, Dini langsung masuk ke dalam daftar nama yang akan mengurusi TRANS7. Karena televisi baru, di dalam TRANS7 Dini dapat bereksplorasi lebih banyak. Ia diberikan kesempatan berkarya untuk membuat bermacam-macam program.

Program pertama saat memulai debutnya di TRANS7 sebagai reporter adalah Bolang (Bocah Petualang). Program ini mengangkat tema kehidupan anak di daerah. Setelah itu pada 2008-2009 ia pindah ke program Dunia Air dan Binatang (Dubi) sebagai asisten produser. Kemudian, Dini mengurusi program film pendek mengenai Cerita Kisah Anak Nusantara. Dalam program ini ia menyumbangkan bakat menulisnya untuk skenario-skenario yang ia buat dengan mengangkat cerita dari kebijaksanaan lokal.

Baru pada 2010 Dini menelurkan Jazirah Islam, program yang ia besut sendiri ide, konsep, dan temanya. Semua ia kerjakan sedari nol hingga sekarang mulai banyak digemari publik.

Jazirah Islam
"Aku mikir saat itu. Ramadhan selalu mengangkat acara yang berbau negeri-negeri Islam. Menurutku itu membosankan. Aku mau membuat sesuatu yang berbeda. Tentang minoritas Muslim di tengah mayoritas non-Muslim. Bagaimana mereka bisa bertahan hidup dengan masjid yang tidak ada suara azan, jilbab yang susah dicari,” ucapnya mengenai sejarah berdirinya Jazirah Islam.

Mengurus program yang berkenaan mengenai dunia Islam cukup berpengaruh bagi Dini. Terlebih dalam lingkup spiritualitasnya. Hal yang paling sentimentil selama mengurusi program Jazirah Islam, yaitu pada saat ia menjadi saksi bagaimana proses seorang non-Muslim berpindah agama menjadi Islam. “Waktu kemarin aku liputan di Amerika Latin dan bertemu dengan perkumpulan Muslim di Meksiko yang aura negaranya terkenal keras, aku memperagakan cara menggunakan jilbab. Saat aku pulang, seorang ibu non-Muslim memelukku dan berbisik bahwa ia ingin menjadi Muslim. Sontak aku merinding dan terharu,” kenangnya.

Pengalaman seperti itu tidak hanya satu-dua kali saja ia alami, bahkan hampir di banyak perjalanannya ia menemukan hal serupa. “Kalimat syahadat di sana tuh bagi mereka sangat syahdu. Kayaknya aku yang sudah diberi hidayah belum bisa memaksimalkannya. Shalat aja masih sering ditunda,” ungkapnya gamblang. Sejak menjadi jurnalis dan kemudian mengelola Jazirah Islam, total 16 negara yang sudah ia sambangi. Masing-masing terdiri dari negara Asia, Eropa dan Amerika Latin.

Konsisten
Delapan tahun sudah Dini tetap konsisten bekerja untuk Trans Corp tanpa pernah berniat pindah haluan ke stasiun televisi lain. Era di mana karyawan lebih banyak diikat secara kedinasan seperti saat ini, Dini sama sekali tidak tergiur dengan gaji yang berlipat-lipat ditawarkan perusahaan televisi lain. Baginya, iklim dalam dunia pertelevisian akan selalu berputar, lingkungan, orang sekitarnya.

“Sebagai karyawan Trans Corp, aku mendapat kesempatan besar untuk berkembang lagi. Sekarang aku banyak belajar dan bisa mengaplikasikannya dengan karya yang telah aku buat,” ungkapnya.

Saat masuk pada 2005, Trans Corp memang terkenal dengan sistem perekrutan karyawan ikatan dinas. Saat Squadpost menanyakan hal ini kepadanya, Dini yang kelahiran Padang 31 tahun lalu berpendapat, “Trans Corp selalu mengajari karyawannya tentang development broadcast. Namun, terkadang setelah mereka mendapatkan ilmunya, mereka keluar atau seringnya dibajak oleh televisi lain. Jujur, itu sangat merugikan. Jadi, menurut aku wajarlah Trans Corp membuat sistem seperti itu.”

Sistem ikatan dinas saat pertama kalinya ia masuk dengan sekarang, sangat jauh berbeda. Pada 2005 sistem itu hanya berlaku selama tiga bulan, kemudian enam bulan menjadi karyawan percobaan. Di waktu tersebut menjadi penentuan lulus atau tidak dalam bidang yang didalami. Setelah sembilan bulan kemudian, baru diangkat menjadi karyawan tetap. Sistem yang sekarang justru mengharuskan karyawan ikatan dinas menjalani masa kerja selama lima tahun. Jika selama masa itu, ia berhenti atau keluar, maka akan diberi sanksi.

Berkarya dan Aktif
Menjalani hidup sebagai perempuan muslim, sempat membuat hambatan saat Dini memulai karirnya di dunia pertelevisian. Tapi ia tak peduli hingga kini perjuangannya itu pun dapat ia buktikan. "Menurutku perlu banyak perempuan berkarya dan aktif,” imbuh Dini.

Menggapai sukses dalam berkarir jelas dibutuhkan semangat dan perjuangan. Bagaimana Dini yang merupakan anak bungsu harus berani mengambil keputusan merantau demi menggapai masa depannya. Hanya bermodal semangat, kini kiprahnya dalam dunia pertelevisian bisa dibilang sedang berada di titik puncak. Bahkan pada 2011 silam, ia pernah ditahbis sebagai "The Best Employee TRANS7.“ Semua butuh proses. Aku selalu menghargai proses, dan selalu belajar dari tiap liputan. Karena menjadi jurnalis bukan soal pintar dan hebat, melainkan bagaimana pada saat di lapangan kita dapat beradaptasi dengan cepat.”

Di ujung percakapan, Dini sempat memberikan beberapa masukan bagi kaum muda yang ingin bekerja di dunia kreatif. Menurutnya, jadikan setiap pengalaman adalah guru dan teruslah berkarya. “Kalau aku selalu bangga dengan apa yang sudah dilakukan. Aku berkarya dan melakukannya dari hati. Makanya, kenapa aku bisa sampai seperti sekarang, berkat kecintaanku pada tiap pekerjaan yang kukerjakan. Jadilah yang terbaik di peran kita masing-masing. Because nice to be important, but more important to be nice,” begitu pesan yang meluncur dari bibirnya yang kemerahan.


Penyunting: Reno Muhammad

Terbang Tinggi Bersama Anggun

2013/05/08


Penulis: Diah Puspita Primandani Putri
Jakarta, Squadpost.com—Pada usianya yang baru tujuh tahun, ia telah berani memulai karir menyanyi di panggung hiburan—meski hanya dibayar dengan imbalan sebungkus nasi saja. Kini, gadis kecil berdarah Jawa itu dikenal dengan nama Anggun Cipta Sasmi (39). Selama tiga dekade lebih karirnya, sukses menembus kacah internasional. Tak tangung-tanggung, semua karyanya mampu menembus industri  musik mancanegara dan album-albumnya diganjar penghargaan Gold dan Platinum di beberapa negara Eropa.

The Story Begins
Menginjak usia sembilan tahun, Anggun mulai menciptakan lagu-lagunya sendiri dan mulai merekam album anak-anak, Dunia Aku Punya (1986). Namun, album ini kurang meledak di pasaran. Meski gagal pada album pertama, semangat Anggun tak meredup. Justru, karir anak pertama Darto Singo dan Dien Herdiana ini malah meroket melalui single ‘Mimpi’ pada 1989.

Bahkan majalah Rolling Stone mendaulat bahwa lagu itu sebagai salah satu dari 150 lagu Indonesia Terbaik sepanjang masa pada edisi #56 terbitan Desember 2009. Kemudian disusul sederet lagu lain seperti ‘Tua-Tua Keladi’ dan ‘Takut,’ Anggun muda berhasil menggapai puncak popularitasnya. Karyanya pun mendapat apresiasi dalam sebuah penghargaan musik, yang menetapkan Anggun sebagai Artis Indonesia Terpopuler pada 1990-1991. 

Berturutan setelah itu, ia merilis kembali sebuah album Anak Putih Abu-Abu (1991), yang disusul Nocturno (1992). Semua album dan singlenya terjual laris manis di pasaran dan merajai tangga lagu di Indonesia. 

Transisi
Pada 1992, Anggun mulai bertemu dengan jodohnya saat ia sedang mengadakan tur konser di Banjarmasin. Pria berkebangsaan Perancis yang merupakan seorang insinyur, Michel Georgea, berhasil mencuri hati lady rocker ini. Di usia yang tergolong  muda, Anggun berani memutuskan untuk melangkah ke jenjang pernikahan di saat karirnya sedang di atas angin.

Meski begitu, ketenarannya tidak meredup. Bahkan ia menunjukkan keseriusannya lewat studio rekaman yang dibangunnya, PT Bali Cipta Record. Bersama studio ini Anggun turun langsung mengurusi pembuatan album terbarunya Anggun C. Sasmi... Lah!!! (1993), dengan single pertamanya, ‘Kembalilah Kasih (Kita Harus Bicara),’ yang kembali mencetak sukses. Bahkan video lagu  ini mampu menembus MTV Hongkong.

Berbekal mimpi menjadi penyanyi bertaraf internasional, Anggun mencoba peruntungan baru ke Eropa, dengan menjual perusahaan rekamannya untuk modal awal memulai karir di negara asing. Bersama suaminya Anggun pun bermukim di Britania, Inggris.

Di Eropa, Anggun harus membangun kembali karirnya dari nol. Selama setahun ia rajin mengirimi demo lagunya ke beberapa studio rekaman di Britania dan mendatangi beberapa klub untuk memperkenalkan dirinya sebagai penyanyi yang bersuara khas.

Menjalani hidup di negera orang memang tak mudah. Uang hasil penjualan perusahaan rekamannya yang masih tersisa, lambat laun habis sedikit demi sedikit demi memenuhi kebutuhan hidup. Ditambah, semua demo rekamannya sama sekali tidak mendapat tanggapan.

Fakta itu mengantarkannya pada satu kesimpulan: karirnya takkan sukses di Inggris. Anggun pun berniat pindah ke negara Eropa lainnya, Belanda. Namun mengingat tanah asal suaminya adalah Perancis, akhirnya mereka pun mukim di negeri ayam jantan itu.

Dua tahun menjalani kehidupan di Perancis, Anggun seolah dipertemukan oleh dewi fortunanya, yaitu seorang produser besar Perancis, Erick Benzi, yang juga  pernah menggarap album beberapa penyanyi kenamaan seperti Celine Dion, Jean Jacques Goldman, Johny Hallyday.

Tanpa teding aling-aling, ia ditawari untuk rekaman album. Erick Benzi mengaku terpikat dengan karakter suara Anggun yang memiliki jenis suara kontralto yang tebal serta teknik improvisasi vokal yang unik. Atas bantuan Erick, Anggun direkrut oleh Columbia Records di Perancis. Tak hanya itu, ia juga berhasil mendapat kontrak Sony Music Internasional untuk lima album, berkat keikutsertaannya pada audisi yang diadakan oleh Sony Music Internasional di Manila, Filipina.

Masa Emas
Anggun memulai debut pertamanya dengan merilis album berbahasa Perancis yang bertajuk Au nom de la lune. Ada sesuatu yang berbeda pada albumnya, yaitu perpindahan jalur musik rock yang selama bertahun-tahun ia geluti menjadi musik pop romantis dan sensual yang ditambah dengan sentuhan bunyi-bunyian instrumen tradisional Indonesia.

Single pertamanya ‘La neige au sahara’ tercatat sebagai salah satu lagu yang paling sering diputar di Perancis pada 1997. Album ini pun sukses mereguk penjualan lebih dari 150.000 kopi di Perancis dan Belgia, serta meraih penghargaan Diamon Expert Award. Keberhasilan ini menjadikan Anggun sebagai seorang artis Indonesia  yang meletakkan namanya sejajar dengan artis-artis Perancis lain.

Merujuk pada kesuksesan album itu, Anggun merilisnya kembali dalam versi Bahasa Inggris bertajuk Snow on The Sahara. Album ini resmi liris di 33 negara Eropa, Amerika, Asia, dan sukses menempati peringkat pertama di Italia, Spanyol, dan beberapa negara Asia. Di Amerika Serikat yang merupakan kiblat musik dunia, Snow on The Sahara rilis pada Mei 1998 oleh Epic Records.

Meski melejit di beberapa negara, Snow on The Sahara terhitung gagal di Amerika, karena hanya terjual 200.000 keping dan tidak mampu menembus tangga lagu Billboard.

Setelah sukses meraih mimpi menjadi penyanyi internasional, Anggun malah kehilangan keseimbangan hidupnya. Pada 1999 ia resmi bercerai dengan Michel Georga. Namun Anggun menunjukkan karakternya sebagai lady rocker. Kisah perceraiannya ini tak membuatnya terpuruk. Justru ia malah melahirkan album kedua, Desirs Contraires. Sayang album dengan single andalan ‘Un geste d’amour’ ini hanya mampu terjual 30.000 kopi di Perancis. 

Kiprahnya dalam dunia tarik suara memang tidak main-main. Terbukti dari sepanjang tahun 1997-sekarang, Anggun tetap eksis dan konsisten dalam dunia yang membuat namanya melejit bagai roket. Tiap tahun ia rutin mengeluarkan album. Terhitung sudah 17 album yang ia hasilkan selama meniti karir di Perancis.

Meski pindah kewarganegaraan, Anggun bukan termasuk kacang yang lupa kulitnya. Jiwanya tetap berada dan untuk di Indonesia. Pada 25 Mei 2006 silam, ia menggelar konser terbesarnya di Indonesia bertajuk ‘Konser Untuk Negeri’ yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center (JCC), dengan 5000 lembar tiket ludes terjual.

Masa emas itu masih terus ia rasakan, bahkan sampai 2012.  Ia merilis Echoes dengan single andalan ‘Echo (You and I)’ yang diluncurkan di Perancis. Demi mempromosikan lagu terbarunya, Anggun kembali mengadakan tur  konser ke beberapa kota di Perancis, Swiss, dan Kaledonia Baru, termasuk konser tunggal di Gedung Le Trianon, Paris, 13 Juni 2012. Di penghujung 2012 ia sempat diajak oleh Schiller untuk tur di 10 kota Jerman.

Titik Balik
Jika mengingat penampilan Anggun pada masa awal karirnya sebagai penyanyi rock, ia dikenal dengan penampilan yang tomboi dan khas yang menggunakan baret miring dan celana pendek, jaket paku-paku serta ikat pinggang besar, yang sempat menjadi tren pada awal 1990-an. 

Namun, sejak sukses menjadi penyanyi internasional, penampilannya kini berubah 180 derajat menjadi lebih feminin dan seksi, melalui penampilan khas perempuan Indonesia dengan rambut hitam panjang yang ia biarkan tergerai, dilengkapi warna kulitnya yang sawo matang.

Keindahan rambut hitamnya itu pernah mendapat apresiasi dari majalah Herworld sebagai inspirasi perempuan berambut lurus  panjang selama dekade 2000-an. Masih belum cukup. Anggun juga berada di peringkat 18 dalam daftar ‘100 Wanita Terseksi di Dunia’ versi majalah FHM Perancis.

Kecintaannya terhadap dunia musik dan menyanyi seolah sudah mendarah daging dalam tubuhnya. Meski banyak artis di posisinya yang mengambil kesempatan melebarkan sayapnya ke bidang lain, tapi bagi Anggun, musik adalah panggilan jiwanya. 

Kini, Anggun yang menjadi salah satu juri dalam ajang pencarian bakat X Factor Indonesia, sedang menggarap album Best of: Design of A Decade 2003-2013, dengan menampilkan 17 lagunya dalam kurun waktu satu dekade belakangan ini. Anggun pun terus melambung jauh, terbang tinggi.


Editor: Silviana Sapitri

Urat Kenangan Iwel dan Gugun Gondrong bersama Uje

2013/04/27



“Pada akhirnya.. Semua akan menemukan yg namanya titik jenuh.. Dan pada saat itu.. Kembali adalah yg terbaik.. Kembali pada siapa..??? Kpd "DIA" pastinya.. Bismi_KA Allohumma ahya wa amuut....” Demikian postingan terakhir Ustadz Jefri Al Buchori di akun Path miliknya yang seolah jadi penanda bahwa ia memang akan kembali Pulang meninggalkan dunia fana ini.

Kejadian yang merenggut nyawanya itu terjadi saat dini hari pada 26/04/2013, ketika motor yang dikendarainya menabrak pohon di Jl. Gedong Hijau 7, Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Maut menghampiri Uje dengan begitu cepat—dua pekan setelah ia merayakan umurnya yang ke-40. Kini, semua orang yang mencintai Uje merindukan dakwah damai yang diusung almarhum.

Tiga Sekawan
Kepergian Uje membuat semua orang yang kagum padanya geger. Tak terkecuali sahabat karibnya, Iwel Sastra. Bersama Gugun ‘Gondrong,’ mereka bertiga mengukir kisah. Pahit manis kehidupan telah dirasakan tiga sekawan ini.

Azan Shubuh belum berkumandangIwel masih lena dalam keheningan pagi. Sesaat setelahnya, Blackberry Messenggernya (BBMmulai dipenuhi Broadcast tentang berita meninggalnya Uje. “Semula saya berharap itu hanya "Hoax.Tapi kemudian saya sangat sedih setelah mengetahui bahwa berita itu benar,” tulis Iwel pada Squadpost melalui wawancara via surat elektronik.

Keheningan pagi Iwel runtuh seketika. Maut datang begitu tiba-tiba. Ia sangat menyesali tak sempat bertandang ke kediaman Uje setelah menerima pesan Uje yang mengabarkan bahwa ia tidak lagi menggunakan BBM dan nomor telepon genggam yang ia gunakan saat itu. Sebenarnya saya berkeinginan untuk berkunjung ke rumahnya.  Tapi entah kenapa keinginan itu tidak saya wujudkan saat itu,” sesal Iwel.

Kedekatan Iwel dengan Uje bemula di Musro Hotel Borobudur Jakarta pada 1993. Saat itu Iwel dan Gugun menjadi MC dalam acara Model Afternoon. Wajah Uje rupanya tidak asing bagi Iwel. Saat itu, Iwel sempat beberapa kali menonton Uje main sinetron di TVRI.

Gugun yang lebih dulu mengenal Iwel, memperkenalkannya pada Uje. Dari situ, ketiganya mulai menjadi tiga kawan perjuangan. Gugun langsung memboyong Uje dan Iwel ke rumahnya.

Maka rumah Gugun yang terletak di kawasan Mampang Prapatan pun menjadi markas mereka. “Uje jadi sering menginap, bahkan pernah berbulan-bulan tinggal sama kami dan tidak pulang ke rumah,” kenang Iwel. Sementara Iwel sudah lebih dulu mukim di rumah Gugun sedari 1993.

Kekerabatan tiga lajang ini semakin menjadi-jadi. Setiap waktu mereka selalu bersama. Makan, main, hingga tidur pun bertiga. “Pertemanan kami saat itu benar-benar sudah seperti saudara,” cerita Iwel. Antara Iwel dan Uje, keduanya termasuk memiliki hubungan yang cukup hangat. Lain hal antara Gugun dan Uje. Keduanya kerap berselisih kecil. “Biasanya karena masalah perempuan. Sering kali cewek yang ditaksir Gugun malah naksir Uje,” tulis Iwel.

Mimpi yang Terwujud
Ketiganya memiliki mimpi yang sama besar. Bersama menjadi orang yang berkecimpung dalam dunia hiburan. Gugun bercita-cita menjadi seorang pembawa acaraIwel ingin menjadi pelawak terkenal, sedang Uje menggantang mimpi menjadi aktor kawakan dan penyanyi. Berangkat dari mimpi-mimpi yang dibangun itu, mereka mulai meniti beberapa kesempatan dari tempat-tempat bermain.

Saat malam tiba, dugem (dunia gemerlap) adalah pilihan menarik bagi mereka untuk menghabiskan waktu. Hampir semua tempat dugem di Jakarta mereka masuki bertiga. Setiap malam, sepanjang malam. Tempat dugem jugalah yang menjadi gerbang pertama ketiga karib ini memasuki panggung hiburan. “Kami sebenarnya bukan hanya sekadar cari hiburan saja di tempat tersebut, tapi sekalian cari pekerjaan untuk jadi MC (master of ceremony). Jadilah saya dan Gugun sering jadi MC di tempat-tempat tersebut. Saat itu Radio DMC ada acara unggulan namanya DMC Discotheque dibawakan oleh DJ-Dj top saat itu. Kami kenal dengan banyak DJ, makanya akses bergaul malam kami sangat terbuka lebar,” kenang Iwel.

Masuknya mereka dalam dunia gemerlap ternyata memiliki konsekuensi tersendiri. Ketiganya memiliki kesepakatan, “hanya boleh mabuk minuman tapi tidak mabuk narkoba.” Mengingat pergaulan mereka saat itu membuka kesempatan lebar untuk mendapatkan barang-barang haram. “Kami bertiga pernah nyobain ganja dan ketika inex belum tren, kami bertiga udah nyobain duluan. Kesepakatan pada saat itu sekadar mencoba,” tulis Iwel.

Sayang, saat itu Uje melanggar sendiri perjanjian yang telah disepakati tiga sekawan ini. Uje terjun bebas dalam dunia narkoba. Ia menjadi asosial dengan teman-temannya, terutama Iwel dan Gugun. Uje mulai jarang menginap di rumah Gugun lagi. Tepat pada 1998, Iwel dan Gugun kehilangan kontak dengan Uje. “Pernah saya datangi ke rumah orangtuanya di kawasan Pangeran Jayakarta tapi tidak pernah bertemu,” cerita Iwel.


Uje Kembali
Sekian lama menghilang, tiba-tiba Uje menelepon Iwel untuk mengajak kopi darat. Iwel yang mengira Uje masih suka dugem, memilih salah satu sebuah klub di bilangan Blok M, Jakarta Selatan, sebagai tempat bertemu. Ternyata, Uje merasa risih dengan keramaian. Saat itu Uje mengatakan pada Iwel bahwa ia ingin sembuh dari ketergantungan obat-obatan. Sebagai teman, Iwel sangat senang mendengar niat Uje. “Sampai akhirnya saya menyarankan Uje untuk minta doa ibunya, agar dia bisa sembuh dari ketergantungan narkoba,” tulis Iwel. Setelah pertemuan itu, hubungan Iwel dan Uje merenggang lagi. Uje kembali raib entah ke mana.

Beberapa lama setelah itu, Uje kembali datang ke rumah Gugun. Namun kali ini dengan tampilan berbeda. Hidupnya telah berbalik 180 derajat. Tanpa alasan yang tak pernah didengar Iwel sebelumnya. Ia datang dengan mengenakan pakaian ghamis dan sudah berjenggot. Malah Uje menceramahi Iwel untuk bertobat. “Hal yang membuat saya bangga pada Uje adalah ketika saya pertama kali melihatnya menjadi khatib shalat Jumat. Uje bisa lepas dari ketergantungannya dan memilih dakwah sebagai jalan hidup,” kenang Iwel.

Ternyata, berkecimpungnya Uje di dunia dakwah bukan sekadar angin lalu. Ia mulai serius menyelami agama Islam. Kedekatan Iwel dan Uje selama lima tahun, membuat keduanya saling memahami. Perubahan yang ditunjukkan Uje benar-benar membuat Iwel pangling.

Saat dakwah pertama yang dijalankan Uje, Iwel masih sering menyambangi pengajiannya. Keduanya saling berbagi cerita dan saran. “Beberapa kali saya ke rumah Uje yang saat itu masih tinggal bersama ibunya. Kami pun sering diskusi mengenai strategi dakwah,” tulis Iwel. Namun, setelah Uje masuk dalam dunia pertelevisian, keduanya kembali berpisah jalan.

Namun, insting sebagai sahabat dan saudara sudah mendarah daging di antara mereka. Kemana pun kaki mereka melangkah, selalu saja ada alasan untuk saling mengingat. Iwel dan Uje kembali bertemu. Kali ini tidak sama sekali direncanakan. Agustus 2012 lalu, Uje dan Iwel bertatap muka secara tidak sengaja di kafe sebuah pusat perbelanjaan. “Ketika saya sedang menulis naskah buku di sebuah kafe di sebuah pusat perbelanjaan, Uje melintas dengan istrinya. Dia menghampiri saya. Saya tidak menduga Uje kemudian duduk dan mengajak saya berbincang,” kenang Iwel. Istri Uje, Pipik, duduk tak jauh dari mereka berdua. Uje dan Iwel berbincang banyak satu sama lain. Mulai dari kondisi Gugun yang saat itu sedang mengalami kondisi sakit parah, perkembangan karir Iwel sebagai komedian, sampai dengan pembubaran Uje Center yang baru dilakukan Uje.

Di luar dugaan, Uje sempat bertanya pada Iwel, bagaimana kalau seandainya ia berhenti ceramah. Sebagai sahabat yang cukup dekat, tentu Iwel memberikan saran terbaik. “Saya bilang jangan berhenti total, kalau dikurangi nggak apa demi kesehatan tubuh dan waktu untuk keluarga,” cerita Iwel.

Iwel yang sedang dalam proses pengerjaan bukunya berkali-kali menghubungi Uje untuk sekadar bercerita. Karena rencananya cerita tiga sekawan itu akan hadir dalam buku yang digarap Iwel ini.

“Kemudian Kamis Malam pukul 21.56 saya ngetwit:
1.      Buku #MotivAction ada kisah nyata 3 sahabat yang setiap malam dugem terus. Sampai akhirnya salah satu dari mrk terkena narkoba.
2.      Setelah yg kena narkoba ini sembuh, mendadak menjadi ustadz dan mulai bergabung dengan ormas Islam garis keras #MotivAction
3.      Sentuhan "Personal Branding" temannya, membuat ustadz urung jadi ustadz garis keras. Malah kemudian ngetop sbg ustdz gaul #MotivAction
4.      Cuplikan Sub Bab: kisah 3 sahabat yg sama-sama mengejar mimpi, akhirnya sama-sama terkenal dalam dunia yg berbeda #MotivAction,” tulis Iwel.

Sayang, Uje lebih dulu dipanggil Sang Pencipta. Iwel dan Gugun kehilangan karib terbaiknya. Sahabat susah, senang dan sedih. Ustadz gaul yang dirindukan umat Islam Indonesia itu, kini telah pergi. Selamanya. Selamat jalan, Ustadz Uje yang baik hati..

Khrisna Pabichara: Menjadi Penulis adalah Mimpi Saya



Pendatang baru di dunia fiksi sekaligus penulis novel laku keras Sepatu Dahlan, Khrisna Pabichara,  mengatakan bahwa menulis sudah menjadi obsesinya sejak kecil. “Jika ada mimpi, cita-cita, atau harapan terbesar dalam hidup saya pasti, ‘menulis’. Dulu, semasa di sekolah menengah, saya kerap membayangkan buku anggitan saya terpajang di toko buku,“ ujarnya. Butuh waktu kurang lebih sepuluh tahun untuk Khrisna dapat melihat karyanya terpajang di toko buku. Saat itu, buku pertamanya, 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang, terbit tahun 2007. Sejak saat itu, bukunya mulai berlahiran.

Ayah dari dua orang anak perempuan ini bukan tipikal orang yang mudah patah semangat. Karena mimpinya menjadi seorang penulis, ia memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahirannya, Makassar.  Ia memutuskan untuk merantau ke Pulau Jawa pada  1997 dengan harapan besar menjadi penulis. Tapi, kenyataan tak semanis harapan. Hingga akhir 2003, tak satu pun buku puisi karyanya diterbitkan.

“Rata-rata alasannya sama, kumpulan puisi tak laku di pasar buku,” ungkapnya.  Meski begitu, penolakan oleh penerbit tidak dengan mudah mematahkan semangatnya. Ia terus menulis, dengan harapan cita-citanya untuk menjadi penulis dapat terwujud.

Cinta Menulis
Sejak duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar, ia mulai menulis dan hobi membaca buku. Menginjak masa SMP, ia mulai mengikuti lomba menulis. Salah satunya lomba yang diadakan oleh FPPI Plan International 1987. Saat itu, ia menggondol pulang juara 1 dan mendapatkan hadiah buku beserta uang tunai.

Kecintaanya dengan menulis ia teruskan hingga ke bangku SMA. Karena ketekunan dan kepandaiannya, puisi pertamanya berhasil menembus Pedoman Rakyat, salah satu koran lokal di Makassar. Sejak saat itu, ia kerap mendapat pesanan menulis surat cinta dengan berbagai macam upah. “Lumayan untuk pelajar yang jauh dari orangtua,” ujar laki-laki berdarah Makassar itu.

Hingga saat ini, penulis yang kerap disapa Daeng Marewa telah melahirkan 16 buku fiksi dan non-fiksi. Non-fiksi di antaranya; 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang (Kolbu, 2007), Rahasia Melatih Daya Ingat (Kayla Pustaka, 2010), Kamus Nama Indah Islami (Zaman, 2010), dan 10 Rahasia Pembelajar Kreatif (Zaman, 2013). Adapun buku non-fiksi di antaranya; Di Matamu [Tak] Ada Luka (Kumpulan Puisi, 2004) —dicetak sendiri dalam jumlah terbatas, Mengawini Ibu (Kumpulan cerpen: Kayla Pustaka, 2010), Gadis Pakarena (Kumpulan cerpen: Dolphin, 2012), Sepatu Dahlan (Novel: Noura Books, 2012), dan Surat Dahlan (Novel: Noura Books, 2013). 

Sepatu Dahlan, adalah novel trilogi yang terinspirasi dari kisah masa kecil Menteri BUMN, Dahlan Iskan. Novel yang telah naik cetak sebanyak 11 kali hingga Januari 2013 ini merupakan prestasi yang membanggakan bagi Khrisna. Setelah sukses dengan Novelnya, rencananya Sepatu Dahlan akan diflmkan dalam waktu dekat. Saat ini, sudah sampai proses riset lokasi. Khrisna mengaku bahagia atas pembuatan film Sepatu Dahlan. Kehidupan masa kecil Dahlan Iskan  memang sangat menarik untuk diangkat ke layar lebar.  


Selain menulis, suami dari Mamas Aurora Maysitoh ini memiliki kesibukan lain, seperti kumpul-kumpul dengan teman sepermainan, menggelar Kelas Anggit Narasoma —kelas menulis gratis, di Bogor, bersama teman-temannya di Rumah Kata Bogor, promosi buku di berbagai kota dan aktif sebagai pembicara dalam acara menulis di berbagai tempat. Bagi sebagian orang, menulis mungkin bukan pekerjaan yang menjanjikan masa depan cerah. Namun, bagi penulis yang tekun sejak kecil seperti Khrisna menulis tentu menjanjikan kepuasan batiniah.  

“Mari membaca, ayo menulis!” tutup Khrisna. 

Wahyu Aditya, 32 Tahun Bernafas dengan Kreatif

2013/04/18



Pria kelahiran Malang, 4 Maret 1980 ini bernama Wahyu Aditya a.k.a Waditya. Pendiri HelloMotion Academi, HelloFest dan Distro KDRI, merupakan salah satu wirausaha muda yang sukses menggerakkan usaha di bidang animasi dan desain. Kiprahnya dimulai saat Aditya meraih juara pada perlombaan menggambar di kota kelahirannya selepas SMA.


Namun siapa sangka, saat remaja ia memiliki pengetahuan umum yang 'pas-pasan' sehingga ia menutupinya dengan pelajaran kesenian. Seperti yang dikutip dalam bukunya ‘Sila ke-6 Kreatif Sampai Mati’, "pendidikan kesenian bagi saya memiliki banyak manfaat, antara lain memberikan ruang seluasnya untuk mengemukakan pendapat.”


Bakat animasinya telah terlihat sejak ia duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Di saat teman-teman sekelasnya mempunyai kenakalan tingkat dewa hingga tidak dapat dikendalikan dan hampir dibenci seluruh kelas, Waditya mencoba berempati pada teman-temannya dengan mengubah image mereka dengan membuat karakter anak baik-baik lewat komik di majalah manual yang ia buat."


Dari citra bandel, mereka saya transform 360 derajat menjadi gerombolan anak yang suka menolong dan tidak sombong. Judul komik itu adalah 6 sekawan," ucap Waditya dalam buku sila ke-6 kreatif sampai mati.


Demi mengasah kemampuannya agar semakin tajam, Waditya melanjutan sekolah ke KVB institute of technology, Sydney, Australia dengan jurusan Interactive Multimedia dan berhasil menjadi lulusan terbaik. Untuk menyalurkan ilmu yang ia peroleh, Waditya mengaplikasikannya dalam film animasi berdurasi dua menit, Dapupu project. Melalui filmnya ini, ia mendapat juara pertama dalam pekan komik dan animasi yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.


Berawal dari semua pengalaman yang ia jalani sebagai pekerja animasi di Trans Tv, freelancer seniman digital. Maka, pada 2004 Waditya mendirikan perusahaan Hellomotion Academy.


Sukses dalam dunia animasi dan desain, Waditya nampaknya tak pernah bisa diam untuk melakukan sesuatu hal baru. Sebuah distro KDRI yang mengusung tema nusantara dengan desain yang tak kalah menarik. Namun, kesuksesan yang ia peroleh sekarang bukanlah suatu proses yang instan, meski sekolah di Australia tak menutup kemungkinan ilmu yang ia peroleh tidak bisa dipakai untuk beberapa pelajaran.


Sehingga ia terus belajar hal yang baru. Kini, di usia 32 tahun, ia telah sukses membangun usahanya, namun Waditya tetap tepo saliro, dengan membagikan ilmunya melalui hellofest dan menulis buku mengenai kreatif a la Waditya. 

Mantan Sales Promotion Girl Keliling Dunia



Perempuan satu ini bernama Sarah Widyanti Kusuma, perawakannya yang mungil dan senyum yang manis kerap kali membuat orang menduganya ia adalah Pramugari, padahal ia adalah pilot yang menerbangkan pesawat. 

Di usianya yang masih belia (21), Sarah telah menerbangkan pesawat jenis Boeing dengan mengantongi 2.200 jam terbang. Dengan rute domestik dan rute pendek ke luar negeri seperti Singapura, Bangkok dan Taiwan. Siswi, jebolan SMA 7 Tangerang ini, ternyata pernah menjadi Sales Promotion Girl dan mantan kontestan Indonesian Idol.



Sejak kecil Sarah memang sudah terbiasa dengan dunia penerbangan, ia sering sekali di ajak ke tempat kerja ayahnya yang saat itu sedang bertugas di Biak, Papua di bagian teknik penerbangan. Jika, ayahnya sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya, Sarah terkadang suka ikut-ikutan sibuk membetulkan sepedanya. Mental Sarah pun sudah dibentuk sejak ia berada dalam kandungan, bagaimana sang ibu berani berhadapan dengan binatang liar, seperti Biawak.



Masih segar dalam ingatannya, ketika ia hendak mendaftarkan diri ke STPI (Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia), Curug, jurusan Teknik Pesawat. Seketika ia tiba-tiba tertarik pada pilihan lain yaitu jurusan Penerbangan. Meski perempuan satu-satunya semasa pendidikan, Sarah tak pernah kenal kata “lenjeh” ia berusaha menyamai kemampuannya dengan teman laki-lakinya, seperti ketika sedang melakukan push up dan berlari.



Serangkaian tes Sarah lewati dengan mulus, seperti tes bakat dalam menerbangkan pesawat, saat itu ia dibawa terbang setinggi 3.000 kaki, pada ketinggian yang ditetapkan, instruktur mematikan pesawat dan sesaat membiarkan pesawat jatuh. Meski jantung terasa mau copot, ternyata ia lolos tes, sebagai hadiahnya ia mendapatkan beasiswa sebagai calon pilot selama dua tahun dua bulan. Setamat dari STPI, 2009, setahun kemudian, Sarah resmi menjadi Pilot termuda yang dimiliki oleh maskapai penerbangan Garuda Indonesia.



Meski mengemban tugas yang memiliki tanggung jawab besar dan di dominasi pria, Sarah tetaplah perempuan pada umumnya. Ia bertekad akan menjadi istri dan ibu yang baik. Kini, Sarah sedang bersekolah lagi selama dua bulan, untuk menyiapkan diri berimigran dari pesawat kecil ke tipe yang lebih besar, yakni Airbus. 

Seperti yang di kutip dalam kompas.com (06/01/203) |10.29  “Pesawat Airbus canggih banget. Sampai sekarang saya masih Wow! Untuk utak-atiknya harus belajar ekstra, sama kayak nerbangin komputer. Canggih banget.” Setelah semua tahapan belajar ini dilalui, jam terbang Sarah akan bertambah semakin banyak dengan menerbangkan Airbus ke beberapa negara seperti: Jepang, Korea, Australia, Belanda, Uni Emirat Arab dan Jeddah. 


Editor: Kahfi Dirga Cahya
 
© Copyright KonBlok 2013 - 2014 | Design by KonBlok.