Tampilkan postingan dengan label Traveling. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Traveling. Tampilkan semua postingan

Menyibak Islam di Argentina

2013/05/12

Penulis: Dini Fitria
La Casa Rosada atau The Pink House di Argentina
Jakarta, Squadpost.com – Penunggang kuda bertopi lebar dengan pakaian panjang ke bawah terus memacu kudanya dengan gigih.  Tapak kudanya menjejak kekar di tanah tandus itu. Mereka berkelana dari satu tempat menuju tempat lainnya. Tangguh menantang aral.

Mereka adalah kaum Gaucho, Muslim Spanyol yang bermigrasi ke Argentina.

Ratu Isabel I dari Spanyol mengultimatum seluruh Muslim Spanyol setelah perang untuk segera memilih dua pilihan. Melepas Muslim menjadi Katholik atau keluar dari tanah Spanyol. Kaum Gaucho bersikukuh. Mereka tetap pada pendirian agamanya, dan memilih berpindah ke tanah Tango.

Menyusuri Minoritas Muslim
Mengenal minoritas Muslim di tengah mayoritas non-Muslim merupakan ketertarikan sendiri bagiku.  Terlebih Argentina yang penduduknya tak banyak menyatakan diri sebagai Muslim, seperti Tanah Airku, Indonesia. Negara dengan mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Pelahan aku menyusuri sekitaran kota. Bersikukuh meskipun rasa lelah terus menghinggapi karena baru saja tiba di negeri orang.

Aku terus bertanya dalam hati. Rasanya ingin memuntahkan ribuan tanya yang tersimpan dalam benak. Seakan kehausan di tengah gurun, mencari oase tentang keadaan agamaku di Argentina.

Aku meneruskan langkahku menuju Ibu Kota Argentina, Buenos Aires. Sebuah tempat peribadatan umat Muslim terbesar di Amerika Latin berdiri megah di tengah-tengah jantung kota, namanya Masjid Ray Fadh (Raja Fad). Masjid tersebut merupakan sumbangsih Raja Saudi dan negara Muslim lainnya.

Tak mau kehilangan kesempatan untuk mengadukan rasa syukur kepada Allah, aku menyerahkan diriku bersujud di masjid terbesar se-Amerika Latin tersebut.

Tak sampai di situ, aku memulai petualangan lagi dengan menggebu-gebu. Tasbih menyeru dalam hati. Aku takjub kala menginjakkan kaki di sebuah taman kota bernama Palermo Park. Di dalam Palermo Park itu terdapat yard (semacam pendopo) yang arsitekturnya bergaya Islam Spanyol.

Tepat di dalam yard, terdapat keramik yang berasal dari seni arsitektur Islam Abad Pertengahan yang juga banyak ditemukan di peninggalan sejarah Spanyol seperti di Mezquita Cathedral, di Cordoba, dan Alhambra di Granada. Di lantai yard terdapat tulisan kaligrafi la ghalib ilallah (tiada pemenang selain Allah). Sayang, keberadaannya semakin pudar. Salah satunya karena sering terinjak-injak dan ketidaktahuan masyarakat Argentina akan makna tulisan tersebut. Bagi mereka itu hanya seni belaka.

Masuknya sentuhan Islam Spanyol di Argentina ini sebenarnya dibawa oleh bangsa Spanyol  yang saat itu berada di bawah kekuasaan Ratu Isabel I dan Raja Ferdinand II. Pada 1492, Alhambra yang saat itu menjadi basis kerajaan Islam terakhir di dunia, diporak-porandakan Isabel dan Ferdinand. Mereka kemudian menghancurkan berbagai peninggalan Bangsa Muslim, kecuali buku-buku tentang pengobatan dan karya seni seperti keramik.

Atas kemenangannya, Spanyol kemudian berekspansi ke seantero dunia. Mereka membawa beberapa peninggalan Islam itu yang kemudian diletakkan di tanah baru. Argentina adalah salah satunya.

Muslim Gaucho
Gaucho tak pernah bisa dilepaskan dari keberadaan Islam di Argentina. Meskipun telah punah, Gaucho tetap memiliki tempat tersendiri bagi Muslim di Argentina.

Gaucho hidup di padang rumput sebagai penggembala sapi. Mereka gemar memelihara jenggot, juga senang menggunakan jubah. Kuda kerap menjadi tunggangan mereka. Sepintas, penampilan mereka itu mirip betul dengan koboi. Ya… koboi a la Argentina.

Banyak tradisi mereka yang diserap rakyat Argentina hingga sekarang. Salah satunya yaitu gaya minumnya. Alat untuk minum Gaucho bernama mate yang berisi serbuk herbal, dicampur air hangat, dan diminum secara bergantian sebagai simbol persaudaraan, juga persahabatan. Jika ditawarkan untuk meminumnya, maka kita harus menerima. Jika tidak, sama seperti menolak persaudaraan dan persahabatan.

Ada pun tradisi lain Gaucho, yakni cara makan daging yang mengalir di nadi masyarakat Argentina. Cara memasaknya, daging dipanggang menggunakan kayu. Kemudian disusun bertumpuk setelah diiris-iris. Sungguh menggugah selera.

Ternyata, tradisi itu juga dapat ditemukan di beberapa restoran di Brazil dan Meksiko. Mereka mengadaptasi cara mengolah daging panggang seperti yang diajarkan Gaucho dulu. Rasanya, lidah seperti menari-nari. Setelah menikmati daging itu,aku memasukkannya sebagai salah satu makanan favoritku.

Islam kini
Kedatangan Muslim ke tanah Argentina dimulai pada pertengahan Abad-19. Imigrasi pertama datang dari Syria sekira 1850 sampai 1860. Mereka mencari penghidupan yang lebih baik dibandingkan di bawah kekaisaran Ottoman yang pada saat itu cenderung otoriter.
Gelombang imigrasi berikutnya datang di antara tahun 1870 pada saat Perang Dunia I. Di antara rentang tahun 1919 dan 1926 para imigran itu datang lagi. Saat itu kekuatan negara Barat sedang getol-getolnya menancapkan pengaruh kolonialisasi di Timur Tengah, yang dulunya berada di bawah kekaisaran Ottoman.

Meskipun Islam sudah dapat diterima oleh mayoritas masyarakat Argentina, tapi keberadaan masjid, mushala, dan perempuan berjilbab masih sulit ditemukan.

Salah satu keunikan yang aku temukan yaitu ketika selesai shalat berjamaah. Beberapa perempuan melepas jilbabnya, dan yang lain tidak. Pilihan itu berdasarkan kesiapan mereka sendiri.

Bagi kebanyakan orang Argentina, agama bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan, terlebih menjadi masalah. Mungkin karena Muslim di Argentina pernah mengalami masa yang sulit.

Gambaran tentang Islam sendiri jauh dari predikat baik. Mereka menganggap bahwa Islam masih erat keterkaitannya dengan teroris—yang sering melakukan pengeboman dan merusak kenyamanan. Hal ini dipengaruhi oleh media yang masih memberitakan Islam secara tidak seimbang. Meskipun begitu, pada akhirnya terbantahkan karena banyak imigran Muslim yang sebagian besar dari Suriah (Syria) dan Lebanon berperilaku sopan, lembut, dan baik.

Salah seorang temanku, Leticia, wartawan Argentina, sempat mengatakan hal serupa.

“Di mata saya, Islam itu sangat buruk sekali. Tapi setelah membaca dan melihat ulang, saya sadar, ternyata Islam tidak seperti itu,” ujarnya.

Untunglah, kini mereka sadar bahwa Islam itu hangat dan lembut, serta menyadari kekeliruannya tentang kejelekan Islam.

Masyarakat di Argentina tak berbeda dengan Asia. Mereka hangat dan dekat. Parasku yang memang Indonesian face sempat membuat mereka bingung karena tak seperti orang Spanyol, Amerika, dan negara sekitarnya. Mereka tak tahu di mana Indonesia. Justru mereka lebih mengenal Malaysia.

Aku terhenyak, “Ternyata Indonesia jauh dari pikiran orang-orang luar negeri.”

Dibalik itu semua, hatiku terketuk dan kembali mendapat pelajaran baru. Aku sangat terkesan mengingat bagaimana Islam mampu menyebarkan ajarannya hampir ke antero dunia.

Argentina, begitu menggugah hati. Meskipun Muslim di sana minoritas, masyarakatnya tetap menghargai keberagaman yang ada. Muslim tetap hidup berdampingan tanpa harus sesak napas karena stigma negatif.

Penyunting | Kahfi Dirga Cahya

Masjid Sisa Penyerangan JP Coen di Jayakarta

2013/05/05


Penulis: Diah Puspita Primandani Putri
Jakarta, Squadpost.com—Pada abad ke-17 M, Jan Pieterszoon Coen yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, sibuk menggempur basis pertahanan Pangeran Jayakarta di masjid kesultanannya di Kalibesar Timur, yang kini lebih dikenal sebagai Jayakarta, Jakarta. Demi mengecoh perhatian JP Coen, sang Pangeran bergerak menuju selatan dan tiba di Jatinegara Kaum.


Rombongan Pangeran yang merupakan cicit dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Wali Songo terakhir di Jawa Barat [1479-1568]) memutuskan untuk mukim di sini pada 1620.


Seperti kebiasaan Nabi Muhammad dan apa yang dicontohkan para tetuanya terdahulu, ia pun berinisiatif mendirikan Masjid Salafiyyah—yang saat ini menjadi salah satu masjid tertua di Jakarta.


Semula, masjid ini digunakan untuk menggalang kekuatan sekaligus markas pasukan, yang dibantu oleh sesepuh Kerajaan Banten, Pangeran Wijaya Kusuma dalam penyerang terhadap VOC. Maka tak heran, bangunan masjid ini banyak di dominasi dengan bunga wijaya kusuma yang mencirikan harum semerbak dan mekar bunga itu di bawah bulan purnama. 

Pangeran Wijaya Kusuma juga memiliki peran yang sangat penting dalam membantu pangeran Jayakarta, ketika bala tentara Mataram melakukan penyergapan Batavia pada 1628-1629 M, sehingga Jatinegara sebagai garda depan.


Masjid yang berukuran 12x12 meter ini di kelilingi oleh pohon Kresek yang cukup rindang dan beberapa makam keturunan pendiri masjid yang di lihat dari nasab keturunan Rasullah SAW.


Meski telah mengalami delapan kali renovasi dan beberapa tambahan bangunan baru. Tetapi, ada bagian lama yang masih dipertahankan, yaitu empat tiang utama yang menjadi penyanggah masjid dan sebuah kaligrafi Arab berbentuk sarang tawon di dalam plafon menara masjid.



Editor: Kahfi Dirga Cahya

Sentuhan Sukarno di Masjid Jamik Bengkulu



Tak di sangka, menjelang tengah malam di Solo. Sukarno yang baru saja melakukan rapat umum mengenai Perang Pasifik yang akan meletus pada 1929, langsung menginap dirumah Suyudi—salah satu anggota PNI di Jogjakarta. 

Menjelang subuh dini hari, ketika langit masih gelap dan embun masih basah, para pemimpin revolusioner itu telah dikepung oleh Inspektur Belanda dan setengah lusin Polisi Pribumi. Kemudian mereka di bawa ke penjara Banceuy, Bandung.


Pemberontakan yang di lakukan Sukarno memang selalu membuat geram Gubernur Jenderal Belanda saat itu, De Jonge. Setiap aksinya selalu mendapat perhatian khusus. Maka tak heran, mulut besar Sukarno yang kerap membuat orasi di lapangan terbuka selalu dipadati masyarakat. 

Tak pelak, aksi frontal Sukarno kerap berujung duka padanya. Berkali-kali ia dimasukkan ke dalam penjara tanpa pengadilan.


Pada 1930, saat Sukarno dalam pengasingan di Ende, Flores, bersama keluarganya, beliau mengalami sakit parah. Ternyata kabar sakitnya Sukarno sampai ke Jakarta, membuat Mochammad Hoesni Thamrin melakukan protes kepada pemerintahan Belanda untuk memindahkan Sukarno ke tempat yang lebih sehat. Akhirnya, Gubernur Jenderal Belanda memutuskan memindahkan Sukarno sekeluarga ke Bengkulu pada 1938.


Di tanah asal tanaman Raflesia Arnoldi ini, terlihat jajaran Bukit Barisan yang bergunung-gunung. Dulu, kota Bengkulu terdiri dari para pedagang dengan perkebunan kecil yang menyertainya.


Sebagai daerah yang dikenal sebagai benteng Islam, tepat di Jantung kota Bengkulu terdapat bangunan masjid yang berdiri dengan kokoh nan indah. Sebuah masjid yang dikelilingi pepohonan rindang, yakni Masjid Jamik Bengkulu.


Bangunan masjid yang berukuran 14,65 x 14,65 meter ini, banyak dipengaruhi oleh corak Jawa dan Sumatera—tak lepas dari campur tangan Mantan Presiden RI 1, Sukarno.


Pada mulanya Masjid Jamik ini berbentuk sederhana dengan berbahan dasar kayu, dan beratap daun rumbia yang terletak di Kelurahan Bajak, kitaran lokasi makam panglima perang laskar Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah Prawiradirja. Sekitar abad 18-an masjid ini di pindahkan ke lokasi sekarang, yakni di Jalan Soeprapto.


Sukarno, merasa begitu miris saat melihat Masjid Jamik tidak terpelihara dengan baik. Rupanya, animo masyarakat sekitar juga berkata demikian, ditambah mereka mendambakan sebuah masjid yang megah. 

Maka, Sukarno merancang beberapa bagian untuk menambahkan bangunan masjid ini agar terlihat baik, tentu dengan tidak mengubah keseluruhan stuktur masjid.


Tak dapat dipungkiri, Sukarno merupakan salah satu arsitek terbaik bangsa ini. Hasil karyanya terlihat jelas pada perbaikan struktur bangunan di Masjid Jamik.


Tiang-tiang masjid yang indah. Atap masjid bersusun tiga, mencirikan: Iman, Islam dan Ihsan, dan sebuah tembok putih yang berdiri kokoh. Tak luput, beberapa bagian masjid nampak seperti pilar-pilar dengan ukiran ayat-ayat suci yang berbentuk sulur-sulur di bagian atasnya dan dicat berwarna kuning mas gading.


Merunut dari sejarah berdirinya Masjid Jamik Bengkulu, usianya telah lebih dari ratusan tahun. Kini, Masjid Jamik telah menjadi salah satu Cagar Budaya di Bengkulu.

Tjoe Soe Kong, Saksi Bisu Letusan Krakatau

2013/04/29


Pada 1883, pasca meletusnya Gunung Krakatau, tsunami merajalela dan meluluhlantakkan seluruh daerah yang dilaluinya. Tak terkecuali, salah satu kelenteng di bagian utara Tangerang atau sekitar 50 kilometer barat Jakarta, Tjo Soe Kong. Meski diterpa bencana alam yang dahsyat, klenteng ini mampu lolos dari maut. Kemujuran klenteng ini diabadikan dalam lagu 'Gambang Kramat' yang dimainkan oleh pemain Gambang Kromong sampai sekarang. Tidak diketahui secara pasti berapa umur klenteng ini, namun diperkirakan usianya sudah lebih dari dua abad.

Klenteng yang menjadi salah satu kekayaan wisata Provinsi Bantenyang dilestarikan sebagai cagar budaya ini dikenal pula sebagai Klenteng Tanjung Kait atau Klenteng Qing Shui Zhu Sui. Asal mula klenteng ini tak lepas dari jasa seorang tabib yang hidup di Zaman Dinasti Song bernama Tjo Soe Kong yang berasal dari Cuanciu, Provinsi Hokkian. Ia kerap kali membantu masyarakat sekitar tanpa menerima imbalan barang secuil pun.

Sehingga, ketika Tjo Soe Kong meninggal dunia, masyarakat sekitar yang berkerja sebagai petani tebu Tionghoa yang bermukim di Mauk, Tangerang, berinisiatif mendirikan sebuah klenteng  yang saat itu masih berupa gubuk. Sejak saat itu, klenteng Tjo Soe Kong menjadi permulaan pusat komunitas masyarakat Tionghoa di Mauk, Tangerang.

Menjadi bagian penting dalam situs klenteng di Jakarta dan sekitarnya, selain Kongco Tjo Soe Kong ada pula di sebelahnya terdapat pemujaan Kongco Hok Tek Ceng Sin. Di tempat ini begitu banyak dilakukan perayaan dan sembahyang. Bahkan, para petani percaya bahwa dia sebagai dewa pelindung. Lain pula dengan kaum pedagang, yang menganggapnya sebagai roh suci yang memberikan rezeki dan keselamatan.

Perayaan-perayaan yang sering diselenggarakan biasanya berupa pertunjukkan wayang Po Te Hi. Perayaan ini berfungsi sebagai hiburan, pendidikan, dan kritik sosial. Banyak pula masyarakat Tionghoa yang menjadikannya sebagai sarana ritual untuk mengadukan nasib kepada para dewa tentang kegagalan hidup yang dijalani. Kemudian, ada Tari Naga yang diyakini menjadi bagian budaya pertanian dan panen. Konon, masyarakat Tionghoa percaya naga membawa keberuntungan. Terakhir, Tarian Barongsai, dengan piawai para penari barongsai ini melakukan aksinya di atas bara api tanpa merasakan perih pada telapak kaki mereka. Diiringi pula dengan keterampilan musik memukul genderang yang memukau, sehingga aksi ini sering kali mengundang decak kagum pada sesiapa saja yang menontonnya. 

Keberadaan klenteng di Tangerang dapat dikatakan sudah mendarah daging dalam laku keseharian masyarakat Tangerang, yang jelas  tidak dapat menampik peran serta etnis Tionghoa dalam struktur sosial kemasyarakatannya. Lebih dari itu, kultur masyarakat Tangerang juga terbentuk oleh etnis Tionghoa yang mukim di Tangerang sejak peristiwa berdarah Chinezenmoord—yang menjadi sejarah kelam berdirinya Batavia pada abad ke-18. Kecelakaan sejarah itu memang tak dapat dihapus dalam memori kolektif masyarakat Tionghoa. Tapi, belajar dari persitiwa yang menggiris hati itu, kita jadi tahu dengan dan untuk apa bangsa-negara Indonesia berdiri saat ini.

Warna-Warni Masjid ‘Keramat’ Kerinci

2013/04/27


Siang itu matahari persis berada sejajar di atas kepala. Menandakan bahwa waktu menunjukkan sholat Zuhur. Adzan yang dikumandangkan oleh muazin masjid sangat syahdu terdengar di tengah teriknya matahari. Letak masjid itu di Desa Kota Tuo, Pulau Tengah, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.

Memasuki halaman masjid nampak asri. Di beranda masjid terdapat pemandangan indah berupa pintu unik dengan hiasan keramik berpola gambar bunga aneka warna. Beberapa meter kemudian terdapat sejumlah beduk antik berbahan kayu berukir indah. Konon, beduk ini memunyai makna berbeda-beda. 

Tabuh pertama dan kedua masing-masing sebagai pertanda shalat lima waktu. Satunya lagi sebagai tabuh pertanda masuknya bulan hijrah dan masyarakat yang meninggal dunia. Lalu, tabuh ketiga yang disebut Tabuh Larangan terletak di lapangan masjid yang dibunyikan hanya sewaktu peristiwa genting bagi penduduk.

Secara kasat mata, masjid ini terlihat tidak begitu spesial. Struktur bangunan pun tak semegah masjid Istiqlal, Jakarta. Masjid yang berukuran 28x28 meter ini bernama Masjid Keramat Kerinci, merupakan masjid tertua di Kabupaten Kerinci yang dibangun pada abad ke-18. Awal mula masjid ini dibangun karena kedatangan seorang Syaikh dari Mataram pada tahun 1697. Ia memberikan inspirasi kepada pemuka masyarakat untuk mendirikan masjid yang megah seperti masjid Demak.

“Dinamai Masjid Keramat, karena masjid ini dalam riwayatnya selalu terhindar dari bencana yang terjadi di desa ini. Seperti kebakaran hebat pada kejadian aksi makar kompeni tahun 1903 dan disambut perlawanan sengit rakyat desa pulau tengah yang fanatik Islam,” ucap para tetua desa Kota Tuo, pada Squadpost.

Memasuki masjid bagian dalam, aneka warna cerah dan ukiran di tiap sudut masjid akan terlihat. Masjid ini memunyai 25 tiang penyanggah, antara lain 20 buah tiang pinggir, lima buah tiang yang ada di dalam ruangan termasuk satu tiang sokoguru setinggi 14,5 meter di tengah ruangan masjid yang melambangkan Nabi Muhammad Saw.

Sisanya, empat tiang setinggi tujuh meter melambangkan empat orang sahabat nabi. Pada bagian atas dinding masjid terdapat lukisan dalam bentuk Kaligrafi Al-Quran yang ditulis oleh KH. Usman dan Muhammad Surah. Meskipun tulisan ini sudah berumur puluhan tahun, masih nampak jelas terlihat.

Bangunan masjid ini mengalami perbaikan  pada zaman pemerintah kolonial Belanda. Tembok yang semula terbuat dari kayu kini sudah diganti permanen. Atap masjid yang diganti dengan atap kayu atau lapaih/lapis dari sebelumnya yang beratapkan ijuk. Meski telah mengalami perbaikan, bentuk arsitektur Masjid Keramat Kerinci ini tetap dipertahankan. 

Atap yang berbentuk limas sebagai lambang masyarakat Kerinci yang berketuhanan. Kemudian lantai yang terbuat dari papan tebal, di bawahnya terdapat ruangan sedalam satu meter. Pada saat zaman penjajahan dipergunakan masyarakat Kerinci untuk perlindungan penduduk yang tidak berdaya. 

Sungai Citarik, Memesona di balik Arus Deras

2013/04/23




Beberapa batu terpatri alami di tengah sungai. Warnanya abu-abu dan  bertekstur kasar lagi tajam. Batu itu sempurna menghalau air sungai hingga membentuk gelombang dan riak kecil. Sungai yang melewati desa Cikadu ini, hilirnya di pantai Pelabuhan Ratu, Sukabumi.

Citarik menawarkan seribu pesona. Airnya yang mengalir deras membuat banyak perusahaan berlomba-lomba membangun tempat wisata air. Salah diantaranya yaitu Arus Liar. Wisata air yang ditawarkan yaitu seperti arung jeram. Kederasan sungai Citarik ini tidak menampikkan keasrian Citarik dari kejauhan secara kasat mata.

Bagi warga sekitaran Cikadu yang dilewati sungai ini, keberadaan sungai ini menjadi penting untuk berbagai kegiatan. Beberapa diantaranya dijadikan untuk sumber air bagi sawah di sekitaran sungai. Selain itu, derasnya air sungai ini juga dimanfaatkan untuk mencuci baju. Kondisi ini dapat dilihat saat pagi hari di Sungai Citarik.

Sama seperti sungai lainnya, sungai Citarik juga tidak lepas dari hantaman mitos belaka. Beberapa kilometer dari aliran sungai Citarik di Cikadu, terdapat area yang alirannya begitu tenang di sungai Citarik. Banyak orang yang menganggap itu adalah tempat istirahat para dewa.

Bagi beberapa orang sungai Citarik juga digunakan untuk mandi. Baik warga sekitar ataupun wisatawan. Bagi warga sekitar mandi di sungai Citarik adalah ritual sehari-hari. Sedangkan bagi wisatawan, sungai Citarik begitu memesona dengan arusnya yang sangat deras. “Sungai ini keren, saya bisa bermain air sepuasnya,” ujar Andi, salah seorang wisatawan yang mandi di sungai Citarik.

“Di area itu pernah ada orang mancing, kemudian ia tenggelam. Selang beberapa saat orang itu muncul lagi dalam keadaan hidup, tapi sekarat, dengan ikan mas yang besar di sampingnya. Mitosnya orang yang melihat ikan mas itu langsung sakit. Akhirnya, ikan mas itu dibuang. Setelah itu si pemancing itu sadar kembali, begitu juga orang-orang yang sakit tersebut,” cerita Deden, salah seorang yang pernah tinggal di Cikadu.

Citarik begitu memesona dengan bebatuan yang menghalau derasnya air. Sementara itu, gemericik aliran sungai tetap menggugah telinga untuk menyelami alam pikiran. Menyatu lebih jauh dengan raga. 

Mengintip Keindahan Air Terjun Iguazu

2013/04/18



Taman nasional Air terjun Iguazu berada di perbatasan antara negara bagian Parana di Brasil dan provinsi Misiones di Argentina, tepatnya di kota Foz Do.  Meski kota ini tidak terlalu luas, namun memiliki sebuah warisan alam yang dapat dijadikan magnet untuk mendatangkan wisatawan tiap tahun, yaitu air terjun


Untuk mencapainya kita harus melintasi jalan utama yang sunyi dan dikelilingi pepohonan, saking sunyinya gemuruh air sudah bisa didengar walaupun lokasinya masih jauh. Sesampainya di tempat pemberhentian  kita akan melintasi jalan panjang yang sudah di semen dan dilengkapi pagar untuk melindungi wisatawan.


Di tengah perjalanan yang sedikit mendaki itu, wisatawan akan dihibur oleh segerombolan aquais yang menyerupai sigung. Hewan ini kerap kali menghampiri pengunjung jika mereka memegang makanan. Bulunya yang tebal membuat sesiapa saja yang melihatnya akan menyukai.



Kelelahan akibat perjalanan, akan terbalas dengan keindahan air terjun yang memilik tinggi maksimum 75 meter dengan jarak lebar terjauh 2,7 kilometer. Ada satu keunikan yang akan ditemui, yakni terdapatnya air terjun serupa yang tersusun dua dengan arus yang cukup deras. Meski terlihat biasa saja laiknya air terjun pada umumnya, namun kita dapat menikmati nuansa luar biasa bilamana kita berhasil mencapai Garganta Del Dablo atau kerongkongan iblis. Warga sekitar menamainya demikian karena pada titik tersebut merupakan tempat jatuhnya air dengan kekuatan sangat besar ke dalam ceruk yang sangat dalam.


Tiba di Garganta Del Diablo kita akan di suguhkan pemandangan luar biasa, bagaimana suara air yang menderu-deru memekakan telinga seperti hempasan raksasa air yang jatuh, dan siap-siap pakaian kita akan basah karena air yang begitu deras. Maka tak heran semua keindahan yang dimiliki air terjun Iguazu, membuat  UNESCO memasukannya menjadi salah satu keajaiban yang dimiliki dunia. 

 
© Copyright KonBlok 2013 - 2014 | Design by KonBlok.