Tampilkan postingan dengan label Education. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Education. Tampilkan semua postingan

Review Website kompas.com

2014/02/20




Situs resmi berita www.Kompas.com memiliki rubrikasi yang lengkap, mulai dari berita Nasional, Internasional, Regional, Megapolitan, Bisnis, Olahraga, Sains, Travel, Oase, Edukasi, Infografis, Video dan More.

Di sisi kiri ada berita terkini, terpopuler dan terkomentari. Di bagian tengah ada headline beserta tampilan gambarnya, kemudian topik pilihan. Sedangkan di sisi kanan ada beberapa space untuk iklan. Di bagian bawah terdapat Kompas Foto, Kompas Video hingga saham dan valas. Untuk tampilan depan sebuah web. agaknya ini terlalu penuh, memang baik karena lengkap, tetapi jika dipandang dari segi estetika, kurang indah. 


Konten www.Kompas.com juga aktual, penting, bermanfaat dan update sehingga otomatis menjadi “SEO Friendly”. Karena kontennya menarik sehingga banyak yang me-like, men-share dan men-tweet di media sosial. Pembaca cenderung ingin berbagi informasi kepada khalayak luas. Kemudian tulisan-tulisannya merupakan asli oleh wartawan www.Kompas.com sendiri, shooting sendiri, bukan jiplakan atau copy-paste. Ya jadi konten yang digunakan website berita ini asli, berkualitas dan berguna bagi banyak orang dan tidak sama dengan website berita yang lain.

Untuk meta tag, meta descriptionnya lengkap sehingga mudah di cari oleh mesin pencari. Sesuai dengan berita-berita yang terkandung, tidak manipulasi dengan menggunakan kata kunci yang tidak sesuai. Untuk kecepatan website ini, cukup baik, tidak terlalu membuang waktu untuk buffering.




Menggali Inspirasi Hidup Ki Hajar Dewantara

2013/05/04


Pada tanggal 2 Mei 1889, Indonesia (dulu Hindia Belanda) dianugerahi seorang bayi laki-laki yang di kemudian hari dikenal sebagai Pahlawan Nasional dalam bidang pendidikan. Ia adalah Ki Hajar Dewantara.

Ki Hajar Dewantara yang lahir di Jogjakarta berperan besar atas kemajuan pendidikan bangsa Indonesia. Ia bukan hanya aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, juga sebagai seorang politisi dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia di zaman penjajahan Belanda.

Sosok Ki Hajar sangat kritis terhadap Pemerintah Hindia Belanda kala itu. Nalurinya sebagai bagian dari kaum pergerakan kemerdekaan sangat kuat dalam membela hak-hak dasar penduduk pribumi. Ia juga dikenal sebagai seorang penulis andal yang lantang menyindir dan mengritisi pemerintahan Hindia Belanda. Karena ia berjuang dengan melihat dan merasakan penderitaan bangsanya kala itu.

Berdasar itu pula ia mulai berpikir untuk berbuat sesuatu demi memperbaiki masyarakat pribumi, terutama di bidang pendidikan. Rasa kecintaannya terhadap bangsa dan penduduk pribumi ia wujudkan dalam bentuk pendidikan. Maka, 3 Juli 1922 ia mendirikan Taman Siswa di Jogjakarta. Saat pertama kali didirikan, Sekolah Taman Siswa ini diberi nama “National Onderwijs Institut Taman Siswa” yang merupakan realisasi gagasan Ki Hajar dan rekan-rekan seperjuangannya. Sekolah Taman Siswa ini sekarang berpusat di Balai Ibu Pawiyatan di Jalan Taman Siswa Jogjakarta.

Pada 1913, di Jogjakarta sedang ramai-ramainya isu tentang penarikan pajak dari Pemerintah Hindia Belanda untuk merayakan kemerdekaan mereka atas Perancis. Isu itu menyentuh telinga para aktivis pergerakan, tidak terkecuali Ki Hajar Dewantara. Kemudian ia menanggapinya dengan menulis sebuah opini tajam yang menusuk Pemerintah Hindia Belanda.  

"Seandainya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikit pun." 

Tulisan  yang berjudul Seandainya Aku Seorang Belanda ini dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Eduard Douwes Dekker (Multatuli). Pemerintah Hindia Belanda geram atas tulisan tersebut. Alhasil Ki Hajar Dewantara pun dihukum Gubernur Jenderal Idenburg dengan dibuang ke Pulau Bangka.

Sementara itu, Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo tidak luput dari hukuman. Mereka berdua menentang pengasingan dan pembuangan yang menimpa rekan seperjuangannya itu. Maka Douwes Dekker pun dibuang ke Kupang sedangkan Cipto Mangunkusumo ke Pulau Banda.

Implementasi Gagasan Ki Hajar Dewantara

Bagi Suryadi Suryaningrat, nama lain Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan senjata terbesar masyarakat pribumi untuk berpikir kritis terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, juga untuk melepaskan dari belenggu kolonial dan membangun harga diri bangsa.


Sebagai perintis pendidikan, Ki Hajar Dewantara memiliki pelbagai macam gagasan besar untuk dikembangkan. Sedari sistem pendidikan, guru, murid hingga tata sekolah tak luput dalam gagasan besar yang ia usung. Aplikasi konkretnya ia hadirkan lewat pembangunan Sekolah Taman Siswa itu.

Gagasan pertama dan keduanya mengajarkan tentang dasar kemerdekaan. Ini mencerminkan pendidikan yang berdasarkan keinginan murid. Setiap murid diberikan kebebasan dalam berpikir.

Tak pelak ini menjadi kontradiksi pada sistem pendidikan sekarang. Murid saat ini tidak diberikan ruang berpikir bebas. Semua dalam kungkungan kurikulum yang menggerogoti pikiran pelajar. 

Kurikulum 2013 menerapkan penambahan jam belajar bagi murid. Regulasi baru ini jelas akan menambah beban pikiran bagi pelajar. Waktu mereka kian terbatas, dan alhasil akan berdampak pada beban psikologisnya.

Selain itu, Ki Hajar Dewantara menurunkan gagasannya tentang peran guru dalam pengembangan anak didik. Guru dianggap sebagai pemimpin yang berada di belakang murid, tetapi memiliki kewajiban untuk memandu dan melegitimasi anak didik untuk mandiri. Inilah cikal bakal dari apa yang kelak kita kenal sebagai Tut Wuri Handayani.

Namun sekarang ini konsep Tut Wuri Handayani semakin kabur dari konteks aslinya. Anak didik, dan guru yang notabene sebagai corong dari pendidikan malah dijauhkan dari perumusan sistem pendidikan. Padahal, tanpa keduanya, sebuah sistem pendidikan takkan berjalan sempurna. Terlebih, hal ini termasuk ke dalam kemerdekaan hak asasi seseorang. Merdeka dalam berpikir.

Seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara seabad lalu, “Memperoleh Indonesia merdeka adalah kewajiban yang terluhur buat anak Negeri Indonesia."

Belajar Mendidik Manusia dari Finlandia


Lima tahun belakangan ini, Ujian Nasional (UN) sering dianggap sebagai momok menakutkan bagi sebagian pelajar yang duduk di semester akhir—baik kelas IX Sekolah Menengah Pertama, maupun kelas XII Sekolah Menengah Atas. Tentu hal ini menimbulkan kekisruhan antara pelajar dan Pemerintah. Karena kedua belah pihak memiliki opini dan persepsi masing-masing.


Pemerintah menganggap UN diperuntukkan meningkatkan mutu pendidikan antardaerah melalui Pusat Penilaian Pendidikan. Standar kelulusan yang berkisar 5,5 sering ditanggapi sebagai sesuatu yang sulit, sehingga menimbulkan rasa takut terhadap mental anak didik. Akibatnya, keinginan untuk mendapatkan nilai bagus pun menjadi patokan utama. Berbagai cara ditempuh. Sedari belajar tekun, sampai mencari jalan pintas seperti contekan.


Lima dari tujuh mahasiswa yang diwawancarai Squadpost, menyatakan bahwa UN tidaklah begitu penting. Mereka menganggap sistem pembelajaran yang masih kacau balau seperti saat ini dirasa tidak adil bagi pelajar. Alasannya, sekolah selama tiga tahun hanya dinilai dari selembar ijazah dan dalam waktu empat hari.


“Menurut gue, seharusnya sistematika penilaiannya kayak di perkuliahan yang setiap semester nilainya diakumulasi dan ditambah nilai praktikum, supaya enggak sia-sia dong belajar tiga tahun,” ungkap Nurul, mahasiswi semester dua Universitas  Jenderal Soedirman, Purwokerto.


Berbeda dengan Nurul, dua mahasiswi lain berpendapat bahwa UN itu penting. “Menurut gue sih penting, tapi cara masyarakat terutama siswa itu sendiri terlalu berlebihan menanggapinya. Akhirnya tujuan dari UN itu malah terbengkalai. “ Ujar Annisa, mahasiswi semester dua Universitas Gunadarma.

Selain itu, mahasiswi semester dua Universitas Padjajaran, Alita, menambahkan “Menurut gue UN penting. ‘Kan, buat nentuin kelulusan.”


Perdebatan tentang UN masih menggelayut di benak Pemerintah dan banyak orang di Indonesia. Sistem yang dianggap tepat justru memberatkan pelajar. Belum lagi bimbingan belajar di luar sekolah maupun di dalam sekolah. Ini semakin memperburuk mental anak didik. Belum lagi beban baru mereka untuk lolos dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) yang harus mempelajari seluruh pelajaran jurusan mereka di SMA.


Alhasil, pendidikan yang mereka tempuh selama tiga tahun di SMP atau SMA sekadar mencari ijazah. Padahal di dunia kerja, tidak semua perusahaan melihat nilai UN sebagai patokan. Ilmu yang dipelajari seharusnya bisa memberikan hasil ketika mereka lulus. Sehingga, tidak harus mencari jalan pintas seperti bocoran jawaban. Harapan baru agar UN dihapuskan atau mengubah sistem pendidikan negara ini semakin diperkuat dengan berbagai masalah yang terjadi kala UN berlangsung.


Patutnya kita perlu mencontoh Jepang yang tidak menilai siswa melalui angka. Orientasi para pendidik tentang nilai, diubah menjadi usaha apa yang sudah dilakukan anak didiknya untuk mendapatkan nilai terbaik. Dalam banyak hal, sistem pendidikan Jepang, juga Amerika, merujuk ke sistem pendidikan gaya Finlandia. Menyandang negara dengan pendidikan termaju di dunia, negara asal produsen telepon genggam keoshor sejagat itutidak mengenal UN dalam pendidikannya. Pemerintah Finlandia menetapkan nilai yang ditentukan lewat evaluasi personal guru. Pastinya tidak berbentuk angka dan peringkat juara. Asumsi dasarnya, setiap manusia memiliki keunikan masing-masing.


Sebagai negara multikultur, Indonesia tentu bukan hanya memiliki individu yang beragam, tapi juga masyarakat dan kulturnya. Berkaitan dengan pendidikan, keberagaman ini dapat terwujud jika Pemerintah dapat menghargai setiap perbedaan. Mendidik bukan berarti harus menggurui, tapi belajar bersama. Terlebih mendidik manusia, mahluk yang memiliki ciri khas masing-masing.  

Selubung Mitos Pencari Beasiswa Amerika

2013/05/02


Beasiswa luar negeri menjadi buruan hampir setiap orang--baik yang cinta dengan pendidikan atau pun mereka yang mendambakan kehidupan lebih baik. Atas nama beasiswa, mereka berlomba menginjakkan kaki di tanah seberang demi mengusung misi tertentu: mendongkrak taraf perekonomian yang lebih baik, atau sampai pada jejalan keliling negeri sasarannya.

Yusran Darmawan, salah seorang penulis buku Indonesia Jungkir Balik (2012), yang juga sedang menimba ilmu Pascasarjana di Communication and Development Program, Ohio University, Athens, United States, menuturkan peliknya menjadi mahasiswa beasiswa di luar negeri. Setelah berjibaku dengan tugas-tugasnya sebagai mahasiswa, ia juga harus tetap hidup dalam kondisi serbapas.

Mitos. Inilah kata yang tepat mengaitkan perihal beasiswa luar negeri dan seluk-likunya. Pada edisi "Mendidik Manusia" kali ini, Yusran akan mengisahkan empat mitos beasiswa di Amerika. Simak ceritanya!



"Mitos-Mitos Pencari Beasiswa Amerika"

SESEORANG tiba-tiba saja menyapa. Ia mengajak diskusi tentang sekolah di luar negeri. Ia bertanya banyak hal. Ia tidak membahas tentang tema-tema riset terbaru atau perkembangan dalam satu bidang. Ia bertanya, tentang apakah dirinya bisa mencari kerja tambahan di luar negeri? Apakah dirinya bisa membawa pulang banyak uang setelah belajar?

Gara-gara tulisan di blog (www.timur-angin.com), saya sering mendapat pertanyaan dari para pencari beasiswa. Banyak pertanyaan yang lucu dan ajaib. Anehnya, rata-rata meminta informasi tentang link atau jaringan tentang beasiswa. Dipikirnya, saya tahu banyak tentang jenis-jenis beasiswa. Yang juga aneh, seseorang di ujung Sumatera mengirimkan email tentang dirinya yang harus menanggung keluarganya sejak kecil, serta harapan agar bisa keluar negeri demi meningkatkan harkat dan martabat keluarga. What?

Berdasarkan banyak pertanyaan yang diajukan orang-orang, saya mencatat ada sejumlah kesamaan ataupun anggapan dari para pencari beasiswa tentang studi di luar negeri. Baiklah. Marilah kita mendiskusikannya satu per satu.

Pertama, banyak pencari beasiswa yang mengira bahwa belajar di luar negeri adalah jalan pintas untuk kaya-raya. Mereka pikir bahwa dengan keluar negeri, pasti akan membawa banyak uang, sehingga kelak akan beli rumah, tanah, mobil, atau apa saja. Anggapan ini tak selalu benar. Malah sering salah. Beberapa teman yang belajar di Australia setahu saya, pulang membawa banyak duit. Namun ini tak bisa digeneralisir. Untuk negara seperti Amerika Serikat (AS), anggapan ini jelas salah besar.

Jumlah beasiswa untuk satu orang terbilang pas-pasan. Berdasarkan observasi saya pada penerima beasiswa, jumlah yang diterima hanya pas untuk bertahan hdup selama sebulan. Separuh dari biaya bulanan, akan habis untuk biaya apartemen. Jika membawa keluarga, sebagaimana saya, maka jumlah pengeluaran pasti akan bertambah. Konsekuensinya adalah mesti hidup dengan biaya pas-pasan. Boro-boro mau jalan-jalan dan lihat keindahan negara bagian lain, untuk makan saja sering harus masak indomie. Simpanan? Hmm. Jika makan susah, apa masih bisa menabung?

Mungkin, ada juga yang berhasil menabung. Namun biasanya ini dilakukan mereka yang luar biasa ketat dalam hal anggaran. Mereka rela hidup sangat pas-pasan di negeri orang demi untuk membawa duit. Maafkan. Saya tidak dalam posisi demikian. Saya tak ingin memberikan makanan yang pas-pasan demi anak kecil saya hanya demi membawa uang ke tanah air.

Kedua, mitos tentang kerja sambilan. Banyak yang mengira bahwa di Amerika, pasti mudah mendapatkan kerja sambilan dengan gaji tinggi, kemudian hidup kaya. Benarkah? Lagi-lagi ini salah. Soal kerja sambilan selalu tergantung pada tinggal di kota mana. Tak semua tempat memilii banyak lowongan kerja. Kalaupun ada lowongan, biasanya akan diprioritaskan pada warga Amerika, bukan warga internasional. Ini yang sering menjadi dilema sehingga kerja sambilan jadi sulit. Di tengah kondisi pengangguran di Amerika yang mencapai angka 7 persen, akan sangat sulit menemukan lowongan yang tidak diserbu warga setempat yang menganggur.

Bagi mahasiswa internasional dan penerima beasiswa, hal yang juga jadi masalah adalah jenis visa J1 yang tidak membolehkan pemegangnya untuk mencari beasiswa. Jika ketahuan, maka sponsor beasiswa pasti akan memotong beasiswa. Sponsor beasiswa pasti tahu sebab semua pengeluaran dan pemasukan akan dicatat rekening, sekaligus laporan pajak. Mungkin bisa sembunyi-sembunyi, namun cara ini jelas berisiko. Nah, apakah masih sempat bekerja sambilan?

Ketiga adalah mitos tentang jalan-jalan. Banyak yang mengira bahwa ketika menjadi mahasiswa di Amerika, maka akan berkesempatan untuk keliling kota-kota besar yang dahulu hanya bisa dibayangkan. Benarkah? Menurut saya, anggapan ini tak selalu benar. Ada dua hal yang mesti diperhatikan setiap kali akan melakukan perjalanan. Pertama adalah waktu, dan kedua adalah uang.
Berdasarkan pengalaman saya, waktu luang adalah sesuatu yang amat mahal bagi seorang mahasiswa pasca-sarjana. Ketika kampus Ohio University menerapkan sistem quarter, mahasiswa tak punya banyak waktu luang. Biasanya, penerima beasiswa punya batas minimum kredit mata kuliah yang diambil.

Dengan sistem kuliah didesain dengan sangat ketat, maka hari-hari seorang mahasiswa pasca-sarjana adalah membaca buku, artikel, menulis paper review, menyiapkan presentasi di kelas, menyiapkan bahan diskusi, serta menulis paper akhir. Semester ini, waktu luang saya hanya ada di hari Sabtu dan Minggu. Itupun, ketika masuk hari Minggu, saya akan mulai deg-degan karena harus menyelesaikan tugas untuk seminggu berikutnya. Nah, jelas saya tak sempat memikirkan jalan-jalan.

Cara murah biasanya adalah melakukannya bersama teman-teman. Kita bisa menghemat sewa hotel serta biaya perjalanan. Cara ini bisa dilakukan. Namun, cara ini tak bisa dilakukan tiap saat. Dikarenakan semua orang sibuk, biasanya hanya bisa dlakukan saat libur jelang semester. Itupun waktu jalan-jalan hanya bisa empat atau lima hari. Jika lebih dari itu, saya memilih untuk tidak keluar kota. Saya membayangkan rasa lelah serta butuh waktu untuk memulihkan tenaga demi menghadapi kuliah.

Keempat adalah mitos bahwa kondisi di luar negeri akan lebih menyenangkan ketimbang di tanah air. Menurut saya, ini adalah hal yang keliru. Luar negeri tak selalu nyaman sebab kita harus beradaptasi dengan segala situasi. Ketika salju pertama turun, saya sangat senang dan tak bosan-bosan menyentuh salju. Saya suka heran-heran melihat ada butiran es halus yang turun dari langit. Namun setelah lewat dua minggu, musim salju mulai jadi mimpi buruk. Di tengah cuaca yang beku, harus bergegas menuju kampus lalu tinggal di perpustakaan demi tugas. Salju membuat mobilitas terganggu. Setiap keluar mesti memakai baju setebal astronot, lalu menahan dingin sembari mengoleskan krim di bibir. Salju jadi mimpi buruk. Biasanya, saat salju turun, saya lalu membayangkan betapa nyamannya di tanah air yang setiap saat musim panas.

Kita juga mesti adaptasi dengan makanan. Semua mahasiswa yang belajar di luar negeri punya ketergantungan dengan makanan beku. Jenis-jenis ikan, daging, atau ayam mesti dibekukan biar bisa diolah kapan saja. Saya termasuk pihak yang tidak cocok dengan jenis-jenis makanan di sini. Saya hanya cocok dengan ikan, itupun ikan di sini tak sesegar di tanah air. Lagian, ikannya hanyalah ikan air tawar.

Keempat adalah mitos hidup tenang karena semua terjamin. Pada uraian di atas, saya sudah menjelaskan semuanya. Saya juga khawatir dengan biaya kesehatan di Amerika. Anak saya pernah dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Sakitnya bukan termasuk sakit parah, hanya sedikit infeksi telinga. Dokter menyuruh membeli antibiotik yang murah. Anak saya hanya 10 menit di rumah sakit. Sebulan kemudian, datang tagihan untuk membayar 300 dollar untuk rumah sakit, dan 600 dollar untuk dokter. Jika ditotal, tagihannya adalah sebesar 900 dollar atau kira-kira sebesar sembilan juta rupiah. Padahal, di tanah air, sakit seperti itu hanya cukup dibawa ke Puskesmas, dan tak harus bayar.

***

Saya mencatat banyak mitos. Namun cukuplah empat argumentasi yang dibahas di atas. Setelah dua tahun di Amrika Serikat, saya berkesimpulan bahwa tinggal di luar negeri tak seindah yang diangankan para pencari beasiswa. Butuh daya tahan, kesabaran, serta ketekunan untuk menyelesaikan studi.

Yang tak kalah penting adalah mesti ada keikhlasan untuk menjalani semuanya sebagai ujian untuk pematangan jiwa. Tanpa melihatnya sebagai sesuatu yang mengayakan batin, maka semua tantangan itu bisa menjadi beban. Yang pasti, belajar di luar negeri sangat baik untuk melatih mental agar tahan banting menghadapi semua masalah. Melatih diri agar tidak cengeng menghadapi masalah. Sekian. Tabik!
Athens, Ohio, 27 April 2013


Belajar Kesetaraan dari Ahli Waris Raden Saleh

 Rustriningsih (Kanan), Wakil Gubernur Jawa Tengah membantu Rr Hartati (Kiri) menyelesaikan sebuah jahitan

Raden Saleh Syarif Bustaman. Pelukis legendaris Indonesia yang sohor di mancanegara, berhasil ditemukan jejak genetiknya oleh Squadpost di Semarang. Meski bukan dari garis keturunan langsung, tapi dari Raden Roro Hartati (61), kami berhasil menggali kebijaksanaan masa lalu yang ditanam oleh orangtuanya, yang kini seolah menjadi barang mahal dalam laku keseharian kita di Indonesia. Berikut ini adalah hasil obrolan ringan kami dengan beliau.

“Assalamu’alaikum. Budhe Suko, saya mau minta tolong ngecilin celana panjangnya Abid nih. Baru beli kok ternyata kebesaran," kata Rokhanah,  warga kampung Kepatihan, Semarang, kepada seorang tetangganya di kampung itu.

"Zaman sekarang ukuran celana jadi aneh. Hanya berdasar umur saja. Ya nanti segera saya garap, Jeng. Agak sore ya ngambilnya," jawab perempuan 61 tahun itu yang juga akrab disapa Bu Suko.

Ia kemudian kembali menemui tamunya, seorang perempuan yang sengaja datang bertandang. Bu Suko atau Rr Hartati, adalah satu-satunya ahli waris keluarga Raden Saleh Syarif Bustaman yang masih tinggal di Semarang.

Sedangkan perempuan yang bertamu adalah Rustriningsih, Wakil Gubernur Jawa Tengah, yang baru saja gagal mengikuti kontestasi pemilihan gubernur akibat oligarkhi partai.

Dua perempuan beda usia itu bercerita panjang lebar mengenai hidup masing-masing. Tak ada formalitas apalagi seremonial dalam perjamuan yang hanya menyediakan teh hangat dalam cangkir kecil itu.

"Kalau silsilah saya dengan Raden Saleh Syarif Bustaman itu, simpulnya ada di Eyang saya, RM Ngabehi Kertabasa Bustam. Jadi kalau dirunut, memang agak jauh, tapi kami satu garis darah dari Eyang Bustam," kata Hartati.

Untuk meyakinkan tamunya, Hartatik beberapa kali keluar-masuk mengambil gulungan kertas kuno yang warnanya sudah menguning dimakan usia. Gulungan berukuran besar, setara A4 itu adalah sambungan dari lembaran-lembaran kecil yang direkatkan dengan lem.

Ketika dibuka, ternyata berupa pohon silsilah. Jauh sebelum RM Ng Kertabasa Bustam yang menjadi puncak pohon silsilah itu. Dari pohon silsilah itu terlihat bahwa RM Ng Kertabasa Bustam memiliki sembilan anak yang mayoritas menjadi bupati di beberapa daerah di Jawa Tengah.

Salah satu anak yang tidak menjadi bupati adalah Raden Syarif Husain yang memperistri Syarifah Husain. Dari Raden Syarif Husain inilah lahir sosok Raden Saleh Syarif Bustaman (1811-1880), sosok pelukis yang namanya sejajar dengan Van Gogh dan Rembrand di Eropa. Raden Saleh adalah generasi keempat dari RM Ngabehi Kertabasa Bustam.

Adik kandung Raden Syarif Husein yang bernama RM Ngabehi Surodirjo yang akhirnya menurunkan  keluarga Rr Hartati. Pertalian darah Rr Hartati dengan  Raden Saleh Syarif Bustaman, berhulu dari kakek moyang yang sama, RM Ngabehi Kertabasa Bustam.

“Sejak kecil saya sudah tahu kalau Raden Saleh Syarif Bustaman itu masih terhitung kakek saya. Saya juga diceritakan kalau Eyang Raden Saleh itu dua kali berkunjung ke Eropa, dan sempat mendapat istri orang Belanda juga, namun tidak memiliki keturunan. Malah keponakannya yang mendapat suami orang Belanda yang memiliki keturunan. Salah satu keturunannya adalah Dr Dr Georg Hans  Hundeshagen yang sempat mengirimi surat dan menanyakan apakah benar saya adalah keturunan dari RM Ngabehi Kertabasa Bustam?” sambung Rr Hartati.

Menurut sejarahwan Semarang, Djawahir Muhammad, Raden Saleh dua kali berkunjung ke Eropa dan mengajak serta istri dan keponakannya. Karena tak memiliki keturunan, ia mengizinkan keponakannya itu menikah dengan seorang Belanda. Dari pernikahan keponakannya itu, kemudian sampailah kepada garis Hans Hundeshagen tersebut.

“Raden Saleh sendiri tak memiliki keturunan. Hans ini merupakan keturunan dari keponakan Raden Saleh. Hans mencari Bu Hartati karena beliau adalah keturunan RM Ngabehi Kertabasa Bustam yang berada di Semarang,” timpal Jawahir.

Hartati sendiri adalah anak tunggal Raden Moch Ahmad. Ia menjadi satu-satunya ahli waris yang ada di Semarang—meski bukan satu-satunya orang yang masih hidup dan memiliki pertalian darah dengan Raden Saleh.



“Saya ini anak tunggal dan tidak memiliki keturunan. Karena Raden Saleh dilahirkan di Semarang, wajar kalau keturunan jauhnya seperti Hans ini kemudian mencari keturunan Mbah Bustam yang ada di Semarang,” lanjut Hartati.

Tidak Ada Darah Biru

Meskipun masih memiliki talian darah dan gen dengan Raden Saleh, sejak kecil Hartati diajarkan hidup sederhana oleh ayahnya, yang memperlakukan Hartati seperti orang kebanyakan.

"Ayah saya pernah bilang, secara kasat mata darah biru itu tidak ada. Raden itu juga tidak ada. Raden atau pun bukan, jika tak kreatif, tak bekerja, sama saja tak bisa makan," kenang Hartati.

Itulah sebabnya, sejak kecil Hartati sudah membekali diri dengan keterampilan menjahit. Keterampilan itu pula yang sempat ia tularkan kepada anak-anak yang ingin belajar menjahit.

"Saya sempat membuka kursus menjahit. Biayanya seikhlasnya, bahkan ada pula yang tak mampu membayar. Tapi itu dulu saat saya masih muda," katanya.

Hal yang tak pernah berubah dari putaran zaman adalah perubahan itu sendiri. Seiring tumbuhnya industri garmen di Indonesia, maka omzetnya sebagai penjahit terus turun dan turun terus. Hartati pun membelokkan keterampilannya dengan menerima vermak pakaian saja.

Berbekal sebuah mesin jahit merk President buatan 1960 peninggalan suaminya, ia tetap merasa nyaman dengan pergaulan bersama tetangganya sebagai penjahit. Meskipun pendapatannya sangat minim, Rp 2000 - Rp 5000 sekali vermak. Itu pun belum tentu seminggu sekali mendapat order.

Dicurangi Staff Pemkot Semarang

Obrolan dengan Rustriningsih berlanjut, sambil sesekali mereka menyeruput teh dari cangkir berbeda model yang kini tak lagi hangat. Hartati sempat mendengar bahwa Raden Saleh Syarif Bustaman sempat mendapatkan penghargaan dan diakui sebagai salah satu pejuang nasional lewat karya seni. Penghargaan itu diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 lalu.

"Tapi sampai sekarang tak ada satu  pun orang pemerintahan yang datang ke sini sekadar melihat apakah benar saya memiliki pertalian darah dengan Raden Saleh," kata Hartati.

“Luarbiasa sekali. Padahal Bu Tatik ini adalah orang yang memiliki pertalian darah dengan pahlawan nasional kita, Raden Saleh. Meski hidupnya serba sederhana, namun beliau tetap mandiri, produktif, dan tak pernah mengeluh,” puji Rustriningsih.

Berdasarkan penelusuran Squadpost, penghargaan tersebut diserahkan Presiden SBY kepada wakil dari Pemerintah Kota Semarang. Saat itu yang berangkat ke Jakarta adalah Kasturi, seorang staff Dinas Pariwisata Pemerintah Kota Semarang.

Sesampai di Semarang, penghargaan itu diserahkan seluruhnya kepada Walikota Semarang, Soemarmo. Hartati tidak tahu, penghargaan itu berupa apa saja, karena berdasar informasi yang ia dengar, bukan hanya sekadar piagam. Mengetahui bahwa Soemarmo menyimpan penghargaan itu, Djawahir Muhammad yang juga budayawan Semarang, mencoba menyampaikan bahwa ada yang lebih berhak menyimpannya, yakni ahli warisnya. Namun Walikota bersikukuh tidak mau menyerahkan hingga ia ditangkap KPK karena korupsi, pada 2012 lalu.

"Saya akan coba menelusuri infomasi itu. Bu Tatik yang sabar saja. Seperti pesan almarhum Eyang Achmad, bahwa kita harus mandiri, kreatif, dan penuh ide," hibur Rustriningsih.

Selesai ngobrol, Rustriningsih menyempatkan diri membantu Hartati mengerjakan vermak celana untuk Abid. Baru kemudian ia minta izin pulang. Rustriningsih mengaku akan belajar banyak tentang kemandirian dan sikap menjaga harga diri dari keluarga pahlawan itu.

"Bu Hartati ini mengajarkan kepada kita tentang kesetaraan. Semua harus didasari cinta. Setidaknya sebagai ahli waris Raden Saleh, beliau tidak menyalahkan staff pemkot, karena bagi beliau, dengan cinta semua bisa berdiri sejajar dan memandang ke arah yang sama," imbuh Rustri. 

Berlaku Adil Sejak dalam Pikiran


Seorang  terpelajar harus juga belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan,” tulis Pramudya Anananta Tur dalam bukunya, Bumi Manusia. Tujuh tahun setelah kepergiannya, karya-karya Pram masih terjaga dan hidup. Banyak orang yang juga masih mendiskusikan karya-karyanya.

Seperti yang dilakukan sekumpulan mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Acara yang bertajuk Haul “Tujuh Tahun Kepergian Pramudya Ananta Tur” digelar pada 30 April 2013 di Hall Gedung Student Center, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Ini adalah acara kali kedua, setelah sebelumnya, 2009, pernah diadakan, tetapi dibubarkan oleh orang yang tidak senang acara tersebut.

Acara kali ini turut hadir beberapa nama beken, seperti Abdullah Wong (Budayawan), Martin Aleida (Sastrawan), Hamza Shal (Aktivis Budaya NU), Hilmar Farid (Sejarawan), Ade Faisal (Wartwan Gatra), A.J Susmana (JAKER), Jibal Windiaz (Komunitas Kretek), dan juga Tetralogiska band (cucu-cucu dari Pramudya)

Pram Di Mata Mereka
Mereka menjelaskan tentang Pram dari kacamata berbeda. Martin yang juga sebagai dosen di IKJ mengatakan, “Banyak jejak-jejak sejarah yang sudah hilang, kebesaran  rentetan gerakan kebangsaan, dan perjuangan rakyat, dapat dilihat kembali dalam novel-novel Pram.” Lain pula dengan Hamzah Sahal yang menyerukan para hadirin memanjatkan doa Al-Fatihah untuk Pram.

Sementara itu bagi Farid, Pram adalah orangtua yang selalu merasa muda. Jibal kretek yang saat itu mengenakan celana pendek, beserta sandal gunung mengekspresikan Pram lewat puisi berjudul Pram dan Kretek. Rokok kretek dan pram bagai dua sejoli yang saling mengikat.
Siapa sangka, Pram yang lahir di Blora, Februari 1925 lalu itu menjadi buah bibir di dunia kesusastraan Indonesia sampai sekarang. Karya-karyanya syarat akan makna kehidupan. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak langkah, Rumah Kaca, ini adalah kumpulan pemikiran, renungan, sekaligus pengalaman hidupnya.

Di masanya, hampir seluruh hidupnya dicurahkan untuk sastra. Pram sama sekali tidak memiliki niat untuk mencari hidup di dalam sastra. Baginya, menulis itu bukan hanya sekadar mengarang, tetapi juga menunjukkan kebenaran hidup melalui sastra. Sebab cuma itu senjata sekaligus harta yang menjadi pedang pula benteng—demi melawan ketidakadilan pemimpin di zamannya.

Sastra benar-benar mewarnai hidup Pram. Ia harus menggadaikan hari-harinya di dalam jeruji besi sebagai tahanan hanya karena karya sastranya. Pertama kali ia merasakan dinginnya hotel prodeo, yaitu saat Orde Lama. Memasuki Orde Baru, ternyata ia juga harus rela diasingkan lagi. Ia didakwa sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Rezim Orde baru sangat antipati terhadap Pram. Sampai-sampai harus membakar beberapa karya Pram, karena dianggap menyimpang dengan kepentingan politik penguasa saat itu.

Sastra Indonesia era Modern
Sudah menjadi rahasia umum, novel asing lebih laris ketimbang novel lokal. Selain pendapatan dari hasil penjualan yang laris-manis, mereka juga diuntungkan secara ranah budaya. Pembaca kita—khususnya pembaca muda, cenderung kaget menerima kedatangan budaya asing, salah satunya melalui novel.

Saat acara berlangsung, Abdullah Wong memaparkan, “Kita kurang promosi dalam memperkenalkan sastra lokal ketimbang sastra asing yang masuk. Kurangnya wacana (khazanah), menyeabkan guru-guru sastra belum bisa mereferensikan sastra di sekolah-sekolah, terutama di SMP dan SMU.

Permasalahan ini semakin bertambah pelik, karena penerbit-penerbit di Indonesia merasa bersemangat untuk menterjemahkan karya-karya asing. Mereka menganggap novel asing sudah lebih dulu popular. Sehingga ini lebih mudah memunculkan atau menarik animo pembaca. “Akhirnya, karya-karya klasik kita yang besar tidak begitu mendapat tempat,tandas Wong.
Wong juga mengatakan, “Sesungguhnya yang ingin di kehendaki dari dunia sastra adalah menemukan jatidiri bangsa. Karena sastra menjadi bagian penting untuk menemukan identitas manusia. Terutama Indonesia, yang berangkat dari kelokalannya.”

Sebenarnya orang-orang semacam Sukarno, Hatta, atau Syahrir adalah orang-orang yang terpukau dengan era-era kebarat-baratan ketika itu. Tapi, belakangan ada alur sastra dilain tempat yang terpukau lagi dengan khazanah lokal, seperti Sriwijaya, Majapahit, Borobudur dan lain-lain. Sayang, titik awalnya justru dengan tendensius, tidak dengan primoldialisme.

Perkataan seperti, Gue orang jawa nih. Orang jawa peradabannya lebih besar, atau “Orang sunda, merasa peradabannya lebih besar.” Hal itu justru semakin membuat chauvinisme masyarakat lebih meningkat. Sementara itu, karya sastra asing yang ada disini epistemiknya, masyarakatnya, atau katakanlah kesadaran lokalitasnya lebih menggigit. Salah satu contohnya, Harry Potter yang lebih terasa akan simbol-simbolnyayang  notabene berada di ranah lokal negaranya, Inggris. Kalau disini apa adanya, misal santet, teluh, atau pelet. Mestinya ada sastra yang bernilai seperti itu,” gagas Wong.

Novelis seperti Putu Wijaya dan Seno Gumira pernah membicarakan hal serupa, namun redup tertindas arus. Artinya para pendidik bangsa, guru-guru SMP, SMU atau bahkan dosen-dosen sastra tidak memberikan transmisi penjelasan semacam ini secara utuh bahwa karya sastra mestinya menjadi jembatan emas sekaligus jalan untuk menemukan atau mengetahui identitas kita, identitas kelokalan kita. 

Malas Adalah Perlawanan

2013/05/01

Malas adalah sifat yang sering dianggap negatif. Seorang pemalas telah dianggap sebagai seseorang yang tiada berguna. Secara konvensi, kemalasan adalah sesuatu hal yang layak dibuang ke tempat sampah. Dulu saya juga berpendapat demikian. Namun sekarang tidak lagi.

Beda perspektif, beda persepsi. Itulah yang akhir-akhir ini mengendap di dalam pikiran saya. Banyak hal dan kejadian di dunia ini yang jika dilihat dari satu sisi, akan sangat berbeda maknanya jika dilihat dari sisi yang lain. Seorang pejalan kaki akan menganggap piramida adalah bangunan berbentuk segi tiga, tapi bagi Superman yang sedang terbang di atas langit akan menganggap bahwa piramida adalah bangunan berbentuk segi empat. Beda perspektif, beda persepsi. Begitu pula dengan sifat malas, yang jika dilihat dari perspektif yang lain, akan mengalami suatu pembermaknaan yang baru.

Menurut saya, manusia tak perlu lagi menganggap negatif terhadap kemalasan, sebab pada dasarnya kita sangat membutuhkannya. Manusia butuh malas. Sejarah May Day adalah ingin mengurangi jam kerja yang tadinya 20 jam perhari berkurang sampai akhirnya menjadi 8 jam perhari. Semua itu terjadi karena manusia butuh malas. Dalam seminggu, setiap pekerja akan mendapat jatah libur satu atau dua hari, agar manusia mendapat jatah waktu untuk bermalas-malasan. Dan banyak lagi contoh lainnya, yang membuktikan bahwa manusia pada dasarnya memang butuh malas.

Barangkali kalian akan protes dan berteriak: “Itu mah bukan butuh malas, tapi butuh istirahat!” Oke. Kalian benar. Tapi, apa sih yang kita lakukan ketika kita sedang beristirahat? Bermalas-malasan, bukan? Kalian boleh tidak sepakat. Tidak apa-apa. Di sini saya hanya ingin memberikan perspektif baru dalam memandang kemalasan. Di tulisan ini saya hanya ingin mengatakan bahwa malas itu perlu.

Begitulah. Sudah semestinya kita ganti paradigma kita terhadap kemalasan, sebab malas bukanlah sesuatu hal yang melulu negatif.

Manusia adalah mahluk paradoksal. Di satu sisi kita butuh malas, di sisi yang lain kita butuh bertahan hidup. Tugas kita adalah harus bisa menyikapi kedua hal tersebut secara proporsional. Agar kita tidak terjebak menjadi manusia robot yang melulu kerja seperti mesin yang akhirnya akan membuat kita stres, dan agar kita juga tidak menjadi manusia benalu yang tidak pernah melakukan apa-apa. 

Penjaja Sandal Jadi Kepala Sekolah


Hembusan angin menyapu wajah kasar lelaki muda. Tepat di belakang ia berdiri, hamparan sawah hijau yang terhampar luas begitu memanjakan mata. Langit pun tak mau kalah menyambut suasana pagi ini. Matahari menampakkan  terik sinarnya yang tertuju langsung ke bangunan di sela-sela bebukitan. Berdiri sebuah bangunan dengan material bambu. 

Ukurannya tak lebih luas dari pertokoan di pusat perbelanjaan di ibu kota. Lantainya tanpa keramik, hanya berupa peluran semen. Atapnya dari asbes, tanpa ada langit-langit yang menghalangi. Jendelanya tanpa tutup, walhasil saat hujan turun, air akan cepat masuk ke dalam ruangan. Siapa sangka, bangunan ini adalah sekolah. Hanya ditandai beberapa elemen seperti tiang bendera, papan tulis, dan beberapa meja serta kursi kayu yang sudah terlihat usang.

Seorang pria berdiri tegap dengan tangan kiri menggenggam tiang penyangga bangunan, dan tangan kanannya memegang sebuah telepon genggam tua. Langkahnya cepat, menandakan semangat yang menggebu-gebu. Kulitnya yang sawo matang menunjukkan kegigihannya dalam menantang teriknya mentari. Tata bicaranya yang halus dibalut dengan logat Sunda pesisir, memperlihatkan keramahannya.

Pria itu bernama Warid, kelahiran Sukabumi, 16 Maret 1977.  Warid merupakan sosok yang cukup disegani di desanya. Bukan karena ia seorang yang memiliki ‘ilmu’ atau kekuasaan tanpa akal, tapi karena ia adalah warga desa di Cijagung, Sukabumi, yang memperoleh gelar sarjana pertama kali. Tak hanya itu, ia bersama saudaranya, Kamal, memelopori pendirian sekolah dan kebangkitan kesadaran pendidikan di desanya. Pendidikan yang berbasis kemanusiaan dan spiritualitas.

Warid yang lulusan dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Pelabuhan Ratu tahun 1997 ini, memulai debutnya dalam dunia pendidikan dengan mengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Cijagung kelas empat dan lima. Selama tiga tahun berkecimpung di dunia pendidikan membuat Warid muda bosan. Ia mulai mengikuti arus masyarakat desa, tren urbanisasi, mengadu nasib di ibu kota. Tentu dengan harapan bisa mencapai kehidupan yang lebih baik, ketimbang di desa.

Harapan tak sejalan kenyataan, hidup di Jakarta tak semudah yang dibayangkan Warid. Dengan modal ijazah MAN yang dibawanya, ternyata tak mampu mendatangkan harta yang ia harapkan. Akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pedagang sandal. Sebuah keputusan yang jauh dari apa yang diharapkan Warid saat di desa.

Kehidupan berdagang sandal pun tak mudah, ia harus berpindah-pindah lokasi mengikuti pemilk pabrik sandal yang mempekerjakannya. “Saya jualan sandal itu ngikut orang, bayar setoran tiap hari, mulai dari Rp 6.000,- sampai Rp 12.000,-. Mulai dari Jakarta, Medan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,” kenangnya pada Squadpost di pertengahan April lalu.

Pengalaman dalam bisnis sandal ini menggugah niatnya untuk memiliki usaha sendiri di bidang yang sama. Tahun 2001 ia memulai usahanya, dengan mempekerjakan belasan karyawan. Setelah beberapa lama menjadi pengusaha sandal, Tuhan berkehendak lain dengan Warid. “Dapat untung lumayan, Rp2.000,- sampai Rp4.000,- per pasang, tapi karyawan saya dulu banyak yang ‘gila’. Piutang saya di mereka sampai Rp. 37.428.500,- sementara saya sendiri punya utang di pabrik sandal sebanyak Rp.12.000.000. Hal ini membuat saya stres dan akhirnya gulung tikar,” ceritanya. Kegagalan merantau di ibu kota membuat Warid sadar kalau ia sudah mengikuti arus yang salah. 

Dari dalam dirinya muncul hasrat ingin pulang yang menggebu-gebu. Namun, konflik batin datang, ia malu akan dicap gagal mengadu nasib di ibu kota. Sebelum ia pulang ke desanya, ibunya memberikan saran. “Ibu bilang kalo mau pulang lunasi dulu utangnya, lalu kembalilah ke desa. Belajar sambil mengajar dan mengamalkan ilmu,” katanya. Dari situlah ia tersadar, hidupnya ternyata memang untuk pengabdian masyarakat. Mendidik manusia.

Warid tidak gagal dalam perantauannya. Di tempatnya mengadu nasib, ia justru mendapatkan pencerahan spritiualis .  “Saya pernah berpacaran dengan mahasiswi dari UNY (Universitas Negeri Yogyakarta. Malang, hubungan itu kandas di tengah jalan. Alasannya, saya kurang dewasa mulai dari perkataan, sikap, dan perilaku. Kemudian, saya mengambil langkah mendewasakan diri dengan mencari dan mengamalkan ilmu. Terutama pendekatan dengan orang yang banyak ilmu, tentu saja di bangku kuliah,” cerita Warid.

Lulus dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI, Sukabumi, tahun 2008, membuat Warid berniat memekarkan desanya dengan menjadi salah satu panitia proyek tersebut. Walaupun harus gagal karena alasan legalitas formal yang tertinggal. Ia tak putus sampai di situ, Warid mengajak segenap warga desa untuk membangun sekolah.

 Gayung pun disambut, warga desa mendukung penuh usaha Warid. Semua material hasil swadaya warga desa terkumpul, tinggal menunggu proses pembangunan. Namun, bantuan yang diharapkan dari Pemerintah setempat tak kunjung datang. Material yang sudah terkumpul rusak, mulai dimakan rayap, terkena hujan sampai hilang digondol maling.

Warid tak lagi menggantungkan harapan pada Pemerintah setempat. Dengan niat yang sama, ia memelopori pembangunan sekolah kembali. Kali ini dengan strategi yang berbeda, yaitu mengandalkan kemandirian warga desa Cijagung. 

Masyarakat di sana mulai bergotong-royong membangun fisik sekolah. Mulai membangun saat menjelang malam, dan berakhir saat tengah malam tiba. Berkat semangat juang dari warga, tepat pada 18 Juli 2012, berdirilah MTs Al-Wardayani. Warid langsung diputuskan sebagai Kepala sekolahnya. “Saya berharap Mts Al-Wardayani menjadi sekolah unggulan berstandar nasional. 

Unggul dalam IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) berbasis IMTAQ (Iman dan Taqwa). Pembentukan watak, kepribadian dan karakter bangsa yang kokoh. Menjadi cikal bakal kemajuan daerah yang terisolir, serta tidak ada warga desa yang putus sekolah. Tentu dengan mengedepankan pendidikan yang manusiawi serta spiritualitas sebagai acuannya,” harapnya. 

 
© Copyright KonBlok 2013 - 2014 | Design by KonBlok.